Di abad ke-17, pada era Kesultanan Mataram, Pulau Nusakambangan dikenal sebagai tempat pembuangan orang-orang ”mbalelo”. Pada 1880, oleh Pemerintah Kolonial Belanda, pulau itu mulai dijadikan penjara alam.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Bangunan calon lembaga pemasyarakatan bagi terpidana kasus terorisme itu menjulang dua lantai, diselimuti pohon-pohon yang tinggi menjulang. Sinyal telepon genggam pun tak ada. Pertengahan Desember 2021, sejumlah pekerja masih tampak sibuk menyelesaikan proyek bangunan yang sudah harus dioperasikan tahun depan untuk menampung 250-an tahanan.
Lapas Ngaseman, nama bangunan itu, berada 8,4 kilometer dari Pelabuhan Sodong, satu-satunya akses masuk ke Pulau Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah. Jalan menuju lokasi tersebut berkelok-kelok, tetapi sudah berbahan beton dan sebagian sudah beraspal mulus.
Fisik Nusakambangan kini sudah cukup banyak berubah, seiring dengan bertambahnya lembaga pemasyarakatan di pulau itu. Pada saat yang sama dengan pembangunan Lapas Ngaseman, juga tengah dibangun Lapas Narkotika Gladakan dan Lapas Minimum Nirbaya. Saat ini di Nusakambangan sudah ada delapan lapas yang menampung 2.349 narapidana. Tiga lapas di antaranya masuk kategori supermaksimum yang dihuni oleh para narapidana risiko tinggi.
Tiga lapas yang kini sedang dalam proses pembangunan dipersiapkan untuk mengikuti perkembangan teknologi terkini. Lapas tersebut dibalut dengan konsep smart prison. Ada dua komponen penjara pintar yang dikembangkan.
Pertama, smart building meliputi pusat kendali, sistem manajemen pintu, akses kontrol, serta sistem deteksi dini kebakaran dan bencana. Kedua, smart system yang mencakup smart CCTV, kecerdasan buatan, serta aplikasi penilaian perilaku narapidana yang akan digunakan sebagai rujukan untuk pemberian hak warga binaan, seperti remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat.
Pembangunan tiga lapas terakhir itu menghabiskan Rp 131 miliar, belum termasuk biaya peralatan di dalamnya. ”Jadi, mahal. Mahal sekali,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, saat melihat proses pembangunan ketiga lapas itu, pertengahan Desember lalu.
Oleh karena itu, dari sisi kebijakan, ia menekankan penambahan lapas bukan solusi utama menghadapi jumlah tahanan yang melebihi kapasitas lapas. Akar persoalan dari regulasi haruslah diatasi, salah satunya dengan revisi Undang-Undang Narkotika agar pemakai narkoba diarahkan menjalani rehabilitasi dibandingkan ditahan.
Tetap ”angker”
Di satu sisi, Nusakambangan berubah dengan semakin banyaknya lembaga pemasyarakatan berikut infrastruktur penunjang, sekaligus menjadi lebih modern. Di sisi lain, Nusakambangan tetap terkesan ”angker”, seperti imajinasi orang-orang yang mengenalnya selama beberapa abad sebagai tempat ”pembuangan”, penjara terpencil, jauh dari mana-mana. Pulau Nusakambangan berada di pantai selatan Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Maka itu, ombaknya begitu tinggi dan arus bawah lautnya kencang.
Perjalanan dari Pelabuhan Wijayapura di Cilacap untuk menuju Pelabuhan Sodong di Nusakambangan butuh waktu sekitar 15 menit saja. Namun, orang-orang yang hendak menyeberang harus berhitung betul soal cuaca.
Pembuangan
Nusakambangan sudah dikenal sejak lama. Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi menuturkan, pada abad ke-17, pada era Kesultanan Mataram, Pulau Nusakambangan dikenal sebagai tempat pembuangan orang-orang yang mbalelo. Namun, pulau itu juga diyakini sebagai tempat untuk mencari bunga Wijayakusuma. Saat itu, bunga tersebut sangat dicari sebagai sumber kekuatan yang bersifat magis.
Kemudian, pada 1880, oleh pemerintah kolonial Belanda, pulau tersebut mulai dijadikan penjara alam yang juga sudah mulai dikenal angker. Ini seperti yang disampaikan M Unggul Wibowo dalam Nusakambangan: Dari Poelaoe Boei Menuju Pulau Wisata (2001), yang menyebutkan, keberhasilan Belanda dalam mengawasi dan mengamankan napi saat itu dipakai sebagai dasar penetapan pulau penampungan bagi orang hukuman atau penal colony.
Pembangunan penjara mulai digalakkan dari tahun ke tahun di pulau seluas 21 ribu hektar itu. Secara berurutan, Permisan (1908), Nirbaya dan Karanganyar (1912), Batu dan Gliger (1925), Besi (1927), Karang Tengah dan Limus Buntu (1935), Kembangkuning (1950), Pasir Putih dan Lapas Terbuka (2007), serta Lapas Narkotika (2008). Sebagian penjara itu kini tak digunakan lagi, seperti Gliger, Limus Buntu, dan Kembangkuning.
Selain udara yang sangat panas, Pulau Nusakambangan juga semakin sulit air. ”Sekarang ini saya merasa air sudah mulai kurang. Sudah mulai susah. Beberapa kali kami kekurangan air untuk sehari-hari, untuk mandi, cuci, tiba-tiba air mati. Nah, ini berarti masalah yang serius, apalagi di sini ada narapidana,” tutur Kepala Lapas Khusus Kelas IIA Karanganyar I Putu Murdiana.
Pembalakan liar hutan-hutan di Pulau Nusakambangan ditengarai menjadi penyebabnya. Maka itu, Koordinator Kepala Lapas Se-Nusakambangan dan Cilacap Jalu Yuswa Panjang menuturkan, pihaknya terus menjalin komunikasi dengan aparat setempat agar ikut mengawasi pembalakan liar di Pulau Nusakambangan. Kini, fenomena itu sudah jauh berkurang.
”Setelah ada pemetaan dengan drone, ada wilayah-wilayah hutan yang kelihatan bolong. Itu yang menjadi titik sasaran patroli,” katanya.