Pemerintah dan DPR Janji Mempercepat Pembahasan RUU TPKS
Pemerintah dan DPR sepakat untuk mempercepat penyelesaian RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kalangan masyarakat sipil berharap pernyataan pembentuk undang-undang itu juga diikuti langkah konkret.
Oleh
Rini Kustiasih/Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR sudah memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya regulasi untuk memberikan perlindungan bagi warga negara dari kekerasan seksual yang kini semakin merebak. Pemerintah dan DPR sepakat untuk segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Rabu (5/1/2022), menegaskan, pemerintah siap membahas RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bersama DPR. Karena itu, pemerintah mengharapkan DPR segera menyelesaikan pembahasan draf RUU TPKS yang merupakan inisiatif lembaga legislatif.
”RUU TPKS ini adalah usul inisiatif dari DPR dan masih ada ganjalan di DPR sehingga belum dibawa ke rapat paripurna. Mengingat urgensi RUU itu, kami harapkan dalam masa sidang yang akan datang sudah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dan dikirim ke Presiden. Dengan demikian, Presiden juga bisa segera mengeluarkan surpres menunjuk menteri yang mewakili pemerintah untuk membahas RUU tersebut bersama DPR,” tutur Yasonna.
Sebelumnya, saat memberikan pernyataan pers secara virtual di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (4/1/2022), Presiden Joko Widodo meminta jajarannya untuk segera menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) meski draf RUU TPKS belum selesai disusun oleh DPR. Pembahasan diharapkan bisa segera berjalan begitu DPR mengusulkan RUU TPKS kepada pemerintah. Selain itu, pembahasan tingkat dua oleh DPR dan pemerintah juga bisa selesai lebih cepat karena langsung masuk ke substansi masalah. Percepatan pembahasan itu penting untuk untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
”Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual perlu menjadi perhatian kita bersama, utamanya kekerasan seksual pada perempuan, yang mendesak harus segera ditangani,” kata Presiden (Kompas, 5/1/2022).
RUU TPKS urung disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan II DPR Tahun Sidang 2021-2022, 16 Desember lalu. Akibatnya, draf RUU TPKS yang telah disetujui di Baleg belum dapat diusulkan kepada Presiden untuk ditindaklanjuti.
Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN Djoko Pudjirahardjo menjelaskan, RUU TPKS masih dalam proses pembahasan tingkat I di DPR. Karena belum selesai dibahas pada 2021, RUU itu dimasukkan kembali dalam daftar Prolegnas Prioritas 2022.
”Pimpinan DPR juga sudah memberi perhatian dan mendorong agar RUU ini bisa segera diselesaikan dan disahkan. Dari sisi komitmen, keinginan Presiden sudah mendapat perhatian dari pimpinan DPR sehingga kedua belah pihak sudah satu pemahaman,” ucapnya.
DPR siap kebut
Secara terpisah, Ketua DPR Puan Maharani, melalui keterangan tertulisnya mengatakan, DPR menyambut baik respons positif Presiden yang mendorong percepatan pengesahan RUU TPKS. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memastikan RUU TPKS akan segera disahkan sebagai inisiatif DPR.
”Baleg DPR sudah merampungkan pembahasan RUU TPKS. Pengesahan RUU TPKS sebagai inisiatif DPR akan dilakukan dalam rapat paripurna setelah reses untuk kemudian kami kirimkan kepada pemerintah sehingga dapat ditindaklanjuti pada pembahasan tingkat II,” tuturnya.
DPR bertekad mempercepat pembahasan RUU TPKS bersama pemerintah. ”Kami berharap adanya pembahasan yang progresif dari perwakilan pemerintah bersama DPR, agar pengesahan RUU TPKS bisa kita kebut sesuai dengan mekanisme yang berlaku,” kata Puan.
Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya menambahkan, langkah terdekat yang akan dilakukan ialah membawa draf RUU tersebut ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai inisiatif DPR. ”Ketika ini sudah sah, maka apa yang telah ditegaskan oleh Presiden menjadi gayung yang bersambut. Tim dari DPR siap menyambut tim dari Kemenkumham, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta gugus tugas pemerintah untuk merumuskan langkah-langkah percepatan terkait hal ini,” tuturnya.
Lebih jauh Willy mengatakan, langkah percepatan ini dibutuhkan agar proses perumusannya menjadi UU tidak memakan waktu terlalu lama. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot di level panja, koordinasi antara Kemenkumham dan Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dengan tim di DPR diharapkan bisa lebih cepat.
Hal ini mengingat dorongan dari Presiden untuk membahas substansi demi menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi korban kekerasan seksual. ”Terlebih saat ini kita berada di situasi darurat kekerasan seksual. Pemerintah tentunya menyadari hal ini,” ujarnya.
Lindungi korban
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berharap pembahasan RUU TPKS di DPR fokus pada keberpihakan dan komitmen untuk melindungi korban. Dengan begitu substansi regulasi yang dibahas bisa sesuai dengan harapan masyarakat.
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini saat dihubungi, Rabu, mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi secara politik seharusnya juga dijadikan dasar bagi Kementerian PPPA dan Kemenkumham untuk memperkuat kualitas pelayanan penanganan korban kekerasan seksual. ”Sebab perspektif dan tindakan kan biasanya berbeda. Harus ada mekanisme dan penguatan kapasitas yang bisa dilakukan secara rutin, reguler, oleh Kementerian PPPA terhadap lembaga layanan yang dikelola masyarakat atau pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, menurut Theresia, pernyataan Presiden semestinya bisa menjadi peringatan bagi DPR dan partai politik yang ingin menunda penuntasan RUU TPKS agar berubah sikap. Melihat komitmen Presiden, semestinya fraksi-fraksi partai politik di DPR juga mendukung RUU TPKS.
Terkait dengan imbauan Presiden agar masyarakat sipil mengawal legislasi, Theresia mengatakan, pembahasan di DPR harus dibuka seluas-luasnya. Seluruh dokumen usulan dari masyarakat sipil dan pemerintah sudah diserahkan ke DPR. Aspirasi, terutama yang dapat mendorong kekerasan seksual dihapuskan, diharapkan diatur dalam pasal-pasal RUU TPKS.
Pernyataan Presiden Jokowi secara politik seharusnya juga dijadikan dasar bagi Kementerian PPPA dan Kemenkumham untuk memperkuat kualitas pelayanan penanganan korban kekerasan seksual.
Misalnya, ketentuan mengenai adanya consent atau persetujuan dalam hubungan seksual. Hal ini semestinya dilihat sebagai bagian dari konsep hukum dan tidak seharusnya dicampuradukkan dengan konsep moral. Konsep persetujuan sebagai suatu konsep hukum dimaksudkan untuk membuktikan adanya niat jahat dalam sebuah hubungan.
”Bahwa ada dinamika politik di DPR itu benar. Hukum itu, kan, produk politik, dari kepala orang yang berbeda-beda. Namun, satu pemahaman sama yang harus dibangun adalah bahwa pembahasan regulasi ini harus menggunakan perspektif korban,” terang Theresia.
Dihubungi secara terpisah, konsultan jender dan hak asasi manusia (HAM) Tunggal Pawestri mengatakan, pernyataan Presiden penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah bukti konkret dari ucapan tersebut. Kelompok perempuan sudah sejak beberapa tahun lalu meminta Presiden mendorong percepatan pembahasan RUU TPKS sehingga pernyataan itu seharusnya juga disampaikan sejak lama.
”Presiden Joko Widodo datang dari partai besar yang ketua DPR-nya dari partai yang sama. Kalau mau RUU TPKS ini menjadi legacy, pemerintah harus memastikan semua pasal yang memberikan jaminan perlindungan bagi korban harus masuk dalam DIM pemerintah,” kata Tunggal.
Menurut Tunggal, jangan sampai pembahasan di DPR tidak inklusif dalam menyerap aspirasi publik. Pasal-pasal yang memberikan jaminan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual harus tetap diatur dalam RUU TPKS. Salah satunya aturan tentang konsep persetujuan dalam hubungan seksual. Tim pemerintah diharapkan mau mendengar masukan kelompok perempuan yang selama ini membantu korban kekerasan seksual.
”Sejak dulu, masyarakat sipil tidak hanya mengawal, tetapi juga berjuang turun ke jalan, memberikan masukan, menuntut, dan lain-lain. Sekarang, tantangan terberatnya adalah melawan mispersepsi mengenai RUU ini yang kencang digaungkan oleh kelompok tertentu,” kata Tunggal.