Menanti Partisipasi Publik yang Lebih Bermakna dalam Kerja Legislasi DPR
Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji formil UU Cipta Kerja mengamanatkan ruang-ruang bagi publik untuk memberikan masukan dalam pembentukan UU perlu dibuka dengan lebih bermakna. Bisakah amanat itu dijalankan?
Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, menunjukkan adanya problem dalam pembentukan UU di Tanah Air. Salah satu hal yang disoroti MK dalam putusan uji formil UU Cipta Kerja ialah mengenai pelibatan atau partisipasi publik yang dinilai belum ditaati pembentuk UU.
Putusan MK mengenai UU Cipta Kerja itu menjadi putusan tengara atau landmark sepanjang 2021, sekaligus merupakan putusan baru yang harus direspons secara berbeda oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah selaku pembentuk UU. Ini adalah pertama kalinya MK mengabulkan permohonan uji formil terhadap UU.
MK memberikan waktu dua tahun bagi pembentuk UU untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Jika dalam waktu dua tahun tidak ada perbaikan terhadap UU Cipta Kerja, UU itu akan dinyatakan inkonstitusional permanen.
Berkaitan dengan putusan MK itu, kewenangan untuk memperbaiki UU dikembalikan kepada pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR. Konstitusi mengatur setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Namun, konstitusi di Pasal 20 menegaskan, DPR adalah lembaga yang memegang kekuasaan membentuk UU.
Baca Juga: MK Menyatakan UU Cipta Kerja Cacat Formil
Bertolak dari amanat konstitusi kepada DPR sebagai lembaga yang memegang kekuasaan membentuk UU, wajar jika harapan akan perbaikan terhadap proses legislasi itu terutama dialamatkan kepada DPR. Ini tidak terbatas pada perbaikan UU Cipta Kerja semata karena masih banyak RUU lainnya yang masih berproses di gedung parlemen. Tidak berlebihan pula kiranya jika kinerja legislasi menjadi tolok ukur penting untuk melihat kinerja DPR sepanjang 2021.
Ketua DPR Puan Maharani, Jumat (31/12/2021), mengatakan, dari aspek legislasi, DPR telah menyelesaikan enam RUU menjadi UU pada masa persidangan II 2021/2022. ”DPR RI dalam upaya menyempurnakan pelaksanaan fungsi legislasi, akan memperkuat tata kelola pembentukan undang undang, yaitu taat pada landasan hukum, tertib prosedur, terbuka, dan mendengarkan aspirasi rakyat,” kata Puan Maharani.
Enam RUU yang dimaksud Puan itu termasuk juga dengan RUU yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka. RUU daftar kumulatif terbuka itu, termasuk pengesahan perjanjian internasional tertentu; akibat adanya putusan MK; anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN); pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; dan penetapan/pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Dari catatan Kompas sepanjang 2021, DPR baru menuntaskan lima RUU dari 37 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Lima UU itu ialah UU Otonomi Khusus Papua, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU Kejaksaan, UU Jalan, dan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selain itu, ada tiga UU kumulatif terbuka yang disahkan pada 2021, yakni yang terkait dengan pembentukan pengadilan di daerah. Total, hingga penutupan masa sidang II-2021/2022, ada delapan UU yang disahkan DPR.
Jika dibandingkan dengan 37 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2021, delapan RUU yang disahkan menjadi UU itu masih jauh dari target. Situasi ini tidak jauh berbeda dengan capaian legislasi DPR, tahun sebelumnya. Pada 2020, DPR menyelesaikan tiga RUU menjadi UU, tetapi ini belum termasuk UU di daftar kumulatif terbuka.
Catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan, dari tahun ke tahun capaian legislasi belum memuaskan. Pada 2015 DPR hanya mengesahkan tiga RUU dari 40 RUU dalam prolegnas prioritas tahunan; 2016 mengesahkan sepuluh RUU dari target 50 RUU; 2017 mengesahkan enam RUU dari 62 RUU; 2018 mengesahkan lima RUU dari 50 RUU; 2019 mengesahkan 14 RUU dari 55 RUU; dan 2020 mengesahkan tiga RUU dari target 37 RUU.
Baca Juga: Pandemi Seharusnya Tak Lagi Jadi Kendala, tetapi Kinerja Legislasi DPR Masih Buruk
Badan Legislasi (Baleg) DPR sebenarnya telah melakukan upaya rasionalisasi dalam penentuan prolegnas prioritas tahunan, misalnya dengan membatasi satu komisi dengan satu usulan UU. Setelah UU usulan komisi itu tuntas, barulah komisi bersangkutan mengajukan usulan UU baru.
Kedua, ada kesepakatan membatasi pembahasan RUU dalam tiga periode masa sidang. Jika tidak juga tuntas dalam tiga kali pembahasan, ada dua pilihan yang diberikan, yaitu RUU dikeluarkan dari prolegnas prioritas tahunan, atau RUU itu dibahas oleh alat kelengkapan dewan (AKD) yang lain.
Namun, pada praktiknya kesepakatan itu tidaklah berjalan sebagaimana diharapkan. Sebagai contohnya, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) telah dibahas Komisi I bersama dengan pemerintah selama enam kali masa sidang, dan telah diperpanjang tiga kali pembahasannya.
Baca Juga: Pembahasan RUU PDP Kembali Diperpanjang, Pemerintah-DPR Diminta Turunkan Ego
Opsi pembahasan RUU PDP dilakukan oleh AKD lain juga tidak dipilih. Opsi mengeluarkan RUU itu dari prolegnas prioritas tahunan juga dihindari karena pentingnya RUU itu segera dibahas dalam menyikapi pencurian data yang marak. Akhirnya, RUU itu pun sampai sekarang belum tuntas karena adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR mengenai otoritas perlindungan data.
Ubah proses kerja
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pihaknya ke depannya ingin agar beban prolegnas prioritas tahunan itu tidak terlalu banyak. Maksimal 30 RUU setiap tahun. Bahkan, kalau bisa jumlah itu lebih kecil. Dengan demikian, daftar RUU itu tidak membebani kinerja DPR, sebab selama ini yang dinilai salah satunya ialah produktivitas legislasi DPR.
Upaya untuk memperkecil jumlah prolegnas prioritas tahunan itu rupanya tidak konsisten dengan kebijakan yang diambil. Sebagai contohnya, dalam evaluasi Prolegnas Prioritas 2021, ada penambahan empat RUU dari yang awalnya 33 RUU. Penambahan RUU itu tidak dapat dielakkan, menurut Supratman, karena ada usulan dari pemerintah maupun dari anggota DPR.
Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, melihat inkonsistensi antara niatan dengan tindakan pembentuk UU ini antara lain menunjukkan pembentuk UU tidak mampu menyusun prioritas legislasi dengan baik. Setiap tahun beban prolegnas ditambah, sementara kapasitas untuk menyelesaikan RUU itu minim.
Di sisi lain, kerap ada kontroversi terkait dengan pelibatan publik dalam legislasi yang dibahas dan akhirnya disahkan, seperti UU Minerba, UU MK, UU KPK, dan UU Cipta Kerja. Artinya, ada problem legislasi sejak dari perencanaan hingga proses pembahasannya.
Idealnya, pembentukan UU dilakukan berbasis pada kebutuhan hukum masyarakat, dan disesuaikan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN). Dengan pertimbangan itu, perencanaan legislasi diharapkan lebih fokus, dan tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan lain.
Di sisi lain, kontroversi terkait dengan pembahasan sejumlah UU pada umumnya bermuara pada ketidakpuasan publik atas minimnya pelibatan mereka dalam pembahasan legislasi. Secara formil, perwakilan publik mungkin diundang di dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU). Namun, apakah masukan mereka didengar dan dipertimbangkan, itu hal lain lagi.
Menurut Fajri, ruang-ruang bagi publik untuk memberikan masukan perlu dibuka dengan lebih bermakna, yang tidak hanya terbatas pada kehendak DPR seperti dalam hal penyelenggaraan RDPU. Bahkan, tata cara dalam penyerapan dan implementasi partisipasi publik tersebut perlu diatur secara tegas dalam regulasi yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
”Dalam hal partisipasi publik, DPR bersama pemerintah perlu segera menyesuaikan tata cara pelaksanaan partisipasi publik untuk memberi masukan dalam pembentukan undang-undang, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Penyesuaian tersebut perlu dilakukan terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta peraturan-peraturan pelaksanaan di lingkungan DPR dan pemerintah,” kata Fajri.
Partisipasi yang bermakna
Bagaimana sebenarnya partisipasi publik yang bermakna itu? Jika merujuk putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, MK menghendaki partisipasi publik harus dilakukan secara bermakna (meaningful participation). Dengan begitu tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi publik diperuntukan terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian dan mengawal pembahasan sebuah RUU tertentu.
Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
MK juga menegaskan partisipasi publik yang bermakna itu harus dilakukan di semua tahapan pembentukan UU, yakni mulai dari pengajuan RUU, hingga pembahasan bersama antara DPR dan presiden, atau pembahasan bersama antara DPR, presiden, dan DPD. Putusan MK menegaskan partisipasi publik yang selama ini kerap tidak menjadi prioritas oleh pembentuk undang-undang justru memiliki peran yang vital.
Selama ini, menurut Fajri, DPR bersama pemerintah acap kali memberikan penafsiran yang amat terbatas terhadap partisipasi publik, yakni hanya sebatas RDPU; kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Ke depannya, senapas dengan tekad Ketua DPR Puan Maharani untuk memperkuat tata kelola pembentukan UU, yakni dengan taat pada landasan hukum, tertib prosedur, terbuka, dan mendengarkan aspirasi rakyat, DPR diharapkan menerapkan partisipasi publik yang bermakna.
DPR juga diharapkan lebih fokus dan mempertimbangkan kebutuhan hukum masyarakat dalam menyusun perencanaan legislasi. Salah satunya, yang kini ditunggu-tunggu oleh publik ialah pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), serta RUU PDP. Kerja-kerja wakil rakyat, termasuk dalam pembuatan legislasi, haruslah mencerminkan peran perwakilan mereka atas kepentingan rakyat. Bisakah?