MK memberikan waktu kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun. Jika tak berhasil menyelesaikan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional.
Oleh
Susana Rita
·6 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ilustrasi. Hakim konstitusi membacakan putusan terhadap sejumlah perkara di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (24/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menyatakan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan sehingga dinyatakan cacat formil. Akan tetapi mengingat besarnya tujuan yang ingin dicapai melalui pembentukan UU Cipta Kerja tersebut, serta sudah banyaknya peraturan pelaksana yang diterbitkan dan diimplementasikan, MK menolerir keberadaan UU tersebut dan menyatakannya inkonstitusional bersyarat.
MK memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja paling lama dalam waktu 2 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, MK juga menyatakan, segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas harus ditangguhkan. Pemerintah juga tidak dibenarkan untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
“Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan petitum putusan uji formil UU Cipta Kerja dalam sidang terbuka, Kamis (25/11/2021).
MK memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja paling lama dalam waktu 2 tahun.
Meski diwarnai dissenting opinion atau pendapat berbeda dari empat hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Daniel P Yusmic Foekh, dan Manahan P Sitompul, MK mengabulkan permohonan dari Migrant Care, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Alam Minangkabau, serta sejumlah warga negara seperti Hakimi Irawan Bangkid Pamungkas, Ali Sujito, dan Muhtar Said. Permohonan mereka deregister dengan nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Para pemohon tersebut mendalilkan, pembentukan UU Cipta Kerja yang menerapkan konsep omnibus law yang terdiri dari 11 klaster dan merupakan penggabungan dari 78 undang-undang, tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sehingga cacat formil/cacat prosedur. Teknik penyusunannya pun bertentangan dengan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, pemohon juga menilai UU Cipta Kerja mengandung ketidakjelasan apakah dimaksudkan sebagai UU baru, UU perubahan atau UU Pencabutan.
Sebelum mempertimbangkan dalil-dalik pemohon, MK menegaskan sikapnya tentang proses pembentukan sebuah undang-undang. Hakim konstitusi Saldi Isra menyatakan, setiap pembentukan peraturan perundang-undang harus menggunakan tata cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang sudah ditentukan. Ini berlaku baik dalam penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang-undang. Hal tersebut sudah termaktub di dalam Pasal 44 dan 64 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
MK juga menegaskan kembali asas-asas yang harus dipenuhi di dalam pembentukan undang-undang, termasuk di antaranya asas kejelasan rumusan dan asas keterbukaan. Pelanggaran terhadap salah satu dari asas-asas tersebut, sudah cukup bagi MK untuk menyatakan proses pembentukan sebuah UU cacat formil.
MK kemudian mempertimbangkan dalil pemohon yang menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan apakah UU tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan. Terhadap dalil tersebut, MK mengelaborasi tentang cara dan standar baku pembentukan undang-undang dengan mengacu pada UU No 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, ditemukan bahwa UU No 11/2020 tidak merumuskan ketentuan pencabutan UU secara utuh sesusi dengan sistematika yang ditentukan di dalam lampiran UU No 12/2011 tentang Cipta Kerja. Pencabutan norma/pasal diletakkan di dalam bagian pasal-pasal dari ketentuan UU yang mengalami perubahan. Misalnya, pada Bagian Ke-enam UU Cipta Kerja mengandung pencabutan UU Gangguan (Hinderordonantie). Begitu pula dengan penamaan undang-undang yang menggunakan nama baru, yaitu UU Cipta Kerja.
“Oleh karenanya Mahkamah dapat memahami apa yang menjadi inti persoalan para pemohon, yakni adanya ketidakjelasan apakah UU aquo merupakan UU baru atau UU perubahan,”kata hakim konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan.
Lebih lanjut Enny mengatakan, UU 12/1011 telah menentukan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan (asas formil) sebagai sebuah keharusan. Namun, ternyata asas-asas itu tidak digunakan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang digunakan oleh UU 11/2020.
Oleh karenanya Mahkamah dapat memahami apa yang menjadi inti persoalan para pemohon, yakni adanya ketidakjelasan apakah UU aquo merupakan UU baru atau UU perubahan.
MK juga mengomentari tentang Penjelasan Umum UU No 11/2011 yang menyebutkan bahwa perubahan UU tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu per satu UU seperti yang selama ini dilakukan. Sebab, hal itu sangat tidak efektif dan tidak efisien serta membutuhkan waktu yang lama.
Menurut MK, persoalan lamanya waktu dalam membentuk UU tidak dapat dijadikan dasar pembenar untuk menyimpangi UU 1945 yang telah memerintahkan tata cara pembentukan UU Tidak terselesaikannya sejumlah RUU yang sudah direncanakan sejak lama seperti RUU Ketenagakerjaan yang sudah masuk prolegnas sejak 2005, tidak dapat menjadi alasan untuk mengambil jalan pintas pembentukan UU dengan mengabaikan tata cara pembentukan yang sudah diatur di UU PPP.
“Keharusan untuk patuh pada ketentutan teknis atau tata cara bukan berarti Mahkamah tidak mementingkan aspek substansi yang telah disusun dalam norma UU 11/2020, karena pada prinsipnya dalam pembentukan UU antara teknis dan substansi (formil dan materiil) tidak dapat dipisahkan satu sama lain,” Enny mengungkapkan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat menyerahkan tanggapan pemerintah terkait hasil pembahasan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat paripurna DPR di Jakarta, Senin (5/10/2020).
Selain itu, MK juga banyak menemukan adanya banyak perubahan antara materi RUU yang disetujui bersama pemeritnah dan DPR, dengan materi yang disahkan dan diundangkan menjadi UU. Terdapat delapan perubahan yang dapat ditemukan MK misalnya terkait UU Migas, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, dan lainnya. Hal ini tak sesuai dengan asas-asas yang diatur dalam Pasal 5 UU No 12/2011 terkait asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
MK juga menggarisbawahi terlanggarnya asas keterbukaan dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja. Dalam persidangan terungkap fakta bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masayarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksaksanakan pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, namun pertemuan tersebut belum membahas naskah akademik dan materi perubahan di dalam RUU Cipta Kerja.
Akibatnya, masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan UU apa saja yang akan digabungkan dalam UU Cipta Kerja itu. Terlebih lagi naskah akademik dan RUU Cipta Kerja itu tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat 4 UU No 12/2011, pembentuk UU diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberi masukan secara lisan dan atau tertulis.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti baku dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Dalam persidangan terungkap fakta bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masayarakat secara maksimal.
MK pun kemudian memberi waktu dua tahun bagi pemerintah dan DPR untuk memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja. Jika dalam waktu dua tahun tidak dilakukan, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Jika dalam waktu dua tahun pembentuk undang-undang tak berhasil menyelesaikan perbaikan yang diminta MK, maka seluruh ketentun yang dicabut oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali untuk menghindari kekosongan hukum.