Hentikan Cara-cara Koboi dalam Membentuk Undang-undang
DPR seharusnya taat asas dalam membentuk undang-undang. Bukan cara-cara koboi yang digunakan, seperti terlihat dalam pembentukan Pansus RUU Ibu Kota Negara. Apalagi, DPR sudah ”ditegur” MK melalui putusan UU Cipta Kerja.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR dinilai tidak belajar dari kesalahan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja saat memproses pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara atau RUU IKN. Pembentukan Panitia Khusus RUU IKN yang menyalahi Tata Tertib DPR dituntut untuk dibatalkan, bukan justru merevisi tata tertib untuk melegalkan keputusan pembentukan panitia khusus.
”Kita penting mendorong supaya keputusan DPR membentuk Pansus RUU IKN ini harus dibatalkan, juga revisi terbatas tatib untuk membenarkan kesalahan yang mereka lakukan saat membentuk pansus itu harus dibatalkan juga. Kembali semua seperti semula dan mulai dengan prosedur yang benar, melakukan revisi dulu untuk mengubah jumlah standar anggota panitia khusus sesuai yang diinginkan oleh DPR, baru membentuk pansus RUU IKN,” tutur peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, di Jakarta, Senin (13/12/2021).
Menurut Lucius, dengan melakukan hal itu, DPR akan terlihat besar karena punya kerendahan hati untuk mengakui kesalahan dan mengubah atau mengoreksi kesalahan tersebut.
Hal ini disampaikan Lucius saat memberi komentar akhir pada diskusi daring bertajuk ”Demi Ibu Kota Negara: Rusak Sistem Negara”. Hadir pada diskusi tersebut, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, Manager Riset Seknas FITRA Badiul Hadi, Direktur IBC Roy Salam, dan pembicara dari Nara Integrita, Fahmy Badoh.
Pada 7 Desember 2021, DPR telah memutuskan pembentukan Pansus RUU IKN dengan jumlah anggota sebanyak 56 orang. ”Dan itu kemudian dikatakan melanggar apa yang sudah diatur dalam Tata Tertib DPR Pasal 104 yang menyebutkan bahwa (anggota) pansus itu maksimal berjumlah 30 orang,” ujarnya.
Menurut Lucius, keanehan semakin bertambah ketika, setelah paripurna, DPR kemudian melakukan revisi terbatas terhadap tata tertib. Tata tertib yang direvisi terbatas tersebut memberikan legitimasi atas hasil paripurna sebelumnya yang telah menetapkan Pansus RUU IKN dengan jumlah anggota pansus 56 orang.
Kalau kemudian mereka dengan mudah mengabaikan apa yang sudah mereka atur dalam peraturan ataupun dalam UU, saya kira sulit untuk kemudian percaya bahwa DPR ini masih konsisten dengan tugasnya sebagai pembentuk RUU.
”Oleh DPR mungkin ini terlihat sederhana, tetapi sebenarnya ini fatal, sesuatu yang saya kira kemudian membuat legitimasi DPR sesungguhnya runtuh karena kita tahu sendiri DPR adalah lembaga pembentuk peraturan, lembaga pembentuk UU. Kalau kemudian mereka dengan mudah mengabaikan apa yang sudah mereka atur dalam peraturan ataupun dalam UU, saya kira sulit untuk kemudian percaya bahwa DPR ini masih konsisten dengan tugasnya sebagai pembentuk UU,” papar Lucius.
Menurut Lucius, kebijakan tidak boleh dilakukan dengan cara-cara koboi.
”Kita tidak anti terhadap segala yang berbau pembangunan, program, atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. (Hal) yang kita kritisi adalah kebijakan-kebijakan itu tidak boleh dilakukan dengan cara-cara koboi; jalan dulu, aturan nyusul atau bikin salah dulu aturan dibenarkan, dibenahi setelahnya. Ini cara-cara koboi yang saya kira tidak pantas untuk sebuah negara, apalagi negara hukum seperti Indonesia. Segala sesuatu mesti dilakukan berdasarkan hukum, berdasarkan aturan yang ada,” tuturnya.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, DPR baru saja diingatkan oleh Mahkamah Konstitusi agar berhati-hati dalam konteks pembuatan regulasi dengan dikabulkannya permohonan judicial review oleh masyarakat terkait dengan penyusunan UU Cipta Kerja. ”Ternyata, kaitan dengan kasus ini, efek dari putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak ada terhadap upaya DPR untuk membenahi secara menyeluruh proses pembuatan regulasi di internal DPR sendiri,” ujarnya.
Ray menuturkan, dalam konteks berbangsa dan bernegara, hal yang penting bukan hanya soal hasil, melainkan juga soal tata cara. Makanya, di Mahkamah Konstitusi itu ada dua mekanisme sengketa. Pertama, sengketa terkait hasil yang disebut uji materiil. Dan, kedua, sengketa tata cara yang disebut dengan uji formil.
”Dalam pemilu, (pertama) sengketa hasil penetapan pemilu. Dan, yang kedua, sengketa proses pelaksanaan pemilu. Jadi, dua-dua itu tidak bisa diabaikan. Dua-dua itu tetap penting. Hasil tentu penting, seperti apa hasilnya. Namun, proses pembuatan hasil itu juga amat sangat penting, tidak bisa diabaikan,” kata Ray.
Demokrasi mengatur hal-hal substantif, seperti hak asasi manusia, toleransi, pluralisme, dan kesempatan yang sama terhadap seluruh warga negara. ”Akan tetapi, dia (demokrasi) juga mengatur tata cara agar yang substantif itu tidak hilang. Jangan kita berbicara soal pentingnya penegakan hukum, pentingnya penghormatan HAM, pentingnya pemberantasan korupsi, tetapi caranya justru melanggar HAM, melanggar pembentukan satu pemerintahan yang baik dan benar,” ujar Ray.
Di dalam demokrasi, Ray melanjutkan, prosedur dan substansi harus betul-betul taat asas.
”Jadi, bukan hanya taat aturan, melainkan taat asas. (Hal ini) karena asas itu mengandung ethics berbangsa dan bernegara, pun, juga mengandung aturan yang tertulis. Aturan tak tertulis, yang merupakan, dasarnya, adalah ethics dari sebuah negara. Dan aturan tertulis yang kita sebut entah itu konstitusi, undang-undang, atau aturan lain seterusnya,” katanya.
Ray menuturkan, UU IKN mungkin penting, tetapi jangan karena arti penting tersebut lalu merusak tata negara, sistem, atau tata cara bernegara.
”Jadi, kita sudah tidak boleh lagi demi ambisi pembangunan lalu mengubah tatanan berbangsa dan bernegara. Selama 32 tahun pengalaman kita buruk dengan kondisi yang seperti itu, yang kemudian kita lalui dengan cara reformasi, yang salah satu amanat reformasi sebetulnya (adalah) memastikan pembangunan tidak boleh menghancurkan sistem berbangsa dan bernegara,” paparnya.
Hal ini karena tujuan pembangunan tidak semata bersifat fisik. Tujuan berbangsa dan bernegara adalah mengatur hidup yang layak, beretika, sesuai dengan aturan yang disepakati bersama.
”Tujuan dari Indonesia merdeka itu enggak hanya sekadar membangun manusianya tok, makan, minum, infrastruktur, itu manusia. Tapi juga harus membangun kemanusiaannya, kebebasan, hak asasi manusia, kepastian hukum, ketaatan pada ethics, ketaatan pada regulasi, itu adalah pembangunan kemanusiaan. Sesuai apa yang disebutkan dalam lagu ’Indonesia Raya’, bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Jadi, bukan hanya raga, jiwanya juga harus dibangun,” tutur Ray.