Ancaman Isu SARA yang Masih Berpotensi Muncul pada 2024
Kesadaran semua pihak untuk tidak menggunakan isu SARA dalam kampanye akan membuat penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 lebih berkualitas. Namun, ancaman itu diprediksi masih berpotensi muncul pada 2024.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
Penggunaan isu suku, ras, agama, dan antargolongan dalam Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah 2024 masih berpotensi muncul dalam kampanye. Kondisi ini dipicu sejumlah faktor, antara lain literasi digital masyarakat yang masih rendah, sekaligus juga persaingan ketat dalam kontestasi yang membuat setiap peserta pemilu ataupun kandidat melakukan segala cara untuk memenangi pemilihan.
Dalam webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan Seri 6 bertajuk ”Modus Operandi dan Solusi Kampanye SARA dalam Pemilu dan Pemilihan”, Selasa (12/10/2021), Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggarisbawahi perlunya pendidikan pemilih dan sosialisasi yang masif, baik kepada peserta pemilu maupun pemilih, untuk berhati-hati terhadap isu SARA dalam kampanye.
Kesadaran semua pihak untuk tidak menggunakan isu SARA dalam kampanye akan membuat penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 lebih berkualitas dan jauh dari risiko pembelahan yang tajam sebagaimana pernah terjadi pada Pemilu 2019.
Mantan anggota KPU (2004-2007), Valina Singka Subekti, mengatakan, telah terjadi perubahan dalam desain pemilu sejak 2004, yakni dari proporsional dengan daftar tertutup yang ditentukan oleh partai politik (parpol) menjadi proporsional daftar terbuka. Kondisi ini mengubah mekanisme pemilihan dari yang semula memilih tanda gambar parpol menjadi memilih calon anggota legislatif caleg.
Perubahan ini berkonsekuensi terhadap kompetisi antarcalon yang lebih sengit, tidak hanya calon antarpartai, tetapi juga calon dari partai yang sama. Dengan persaingan ketat itu, lanjut Valina, segala upaya akan dilakukan untuk mencapai kemenangan, termasuk dengan menggunakan isu SARA demi meraih suara dan simpati pemilih.
”Isu atau sentimen SARA ini menjadi sesuatu yang efektif untuk meraih simpati dan dukungan elektoral dari masyarakat. Penggunaan isu ini meluas pada 2009, yakni ketika penetapan suara terbanyak sudah sepenuhnya dengan suara terbanyak,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.
Terkait hal ini, Valina merekomendasikan pembuat kebijakan untuk menilik kembali desain atau sistem proporsional terbuka ini melalui perubahan regulasi. Artinya, dampak buruk dari sistem itu mesti pula dilihat, termasuk dengan munculnya politik SARA agar tak merugikan prinsip-prinsip pemilu demokratik.
Tingginya ambang batas pencalonan presiden dan ambang batas parlemen di satu sisi juga memicu pembelahan, atau kian sulitnya seseorang mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Parpol juga sangat terbatas untuk mengajukan capres dan cawapres karena syarat ambang batas pencalonan presiden yang sangat tinggi, yakni 20 persen kursi atau 25 persen suara.
Kondisi ini membuat fenomena dalam Pilres 2019 berpotensi terulang, yakni saat hanya ada dua pasangan capres-cawapres. Dengan hanya ada dua pasangan, masyarakat menjadi terbelah dan polarisasi tidak terhindarkan.
”Akibat polarisasi ini, rasa sakit di antara masyarakat itu masih dirasakan dan tidak bagus untuk kohesivitas kita sebagai bangsa. Kalau dibiarkan ini bisa merusak persatuan dan kesatuan kita,” tuturnya.
Untuk menghindari hal ini terjadi, menurut Valina, seharusnya ada perubahan legislasi terkait dengan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wapres. Pasal 7 Huruf a Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak mensyaratkan adanya presidential threshold. Ketentuan itu hanya diatur di dalam UU Pemilu.
Dalam situasi persaingan ketat dan polarisasi yang membelah itu, kehadiran media sosial diakui Valina menjadi katalisator lainnya bagi terjadinya politik yang banal, termasuk dengan diseminasi kampanye menggunakan SARA yang berujung pada ujaran kebencian, berita bohong atau hoaks, dan narasi yang melecehkan, menghina, ataupun memfitnah pihak lain yang berkontestasi.
Pemilih di satu sisi mudah sekali menelan informasi mentah-mentah dari media sosial (medsos). Masyarakat yang tidak gemar membaca, atau illiterate society, menurut Valina, berkontribusi bagi mudahnya berita bohong dan isu SARA itu berakumulasi dalam relung-relung pemikiran masyarakat.
”Ini bad news bagi penyelenggara pemilu. Sebab, dengan begitu, hoaks ditelan mentah-mentah dan itu menjadi pintu masuk bagi isu-isu primordial yang beredar,” katanya.
Instrumentalisasi SARA
Pengajar FISIP Universitas Airlangga, Kris Nugroho, mengatakan, penggunaan isu SARA menjadi tantangan untuk mengembangkan pemilu yang betul-betul inklusif. Isu SARA diakui sebagai cara yang paling mudah untuk menggerakkan sentimen pemilih. Ada dua hal yang memperkuat isu SARA dalam kampanye. Pertama, kontestasi ketat yang saling menihilkan atau zero sum game, antarkandidat, yang membuat mereka memilih isu SARA untuk menjatuhkan kandidat lainnya.
Kedua, kelembagaan parpol yang lemah membuat parpol tidak mampu memerankan diri sebagai kekuatan mobilisasi massa atau pemilih. ”Parpol tidak berdaya dan orang melihat kekuatan SARA itu sebagai cara untuk menarik dukungan publik,” ujarnya.
Kris mengatakan, untuk mencegah hal itu terulang di masa depan, penyelenggara pemilu mesti melakukan pendidikan politik kepada peserta dan pemilih. Norma-norma di dalam UU Pemilu yang melarang dan memberikan sanksi pada penggunaan isu SARA juga mesti ditegakkan dengan konsisten.
”Solusi jangka panjangnya ialah dengan memperkuat kelembagaan partai sebagai sarana mobilisasi massa. Mesin parpol harus kuat dari akar sampai ke atas dan membentuk kader yang siap membela program partai. Juru kampanye juga harus dididik melalui sekolah partai sehingga mereka konsisten memperjuangkan program partai,” tuturnya.
Ketua KPU Ilham Saputra mengatakan, selaku penyelenggara pemilu, pihaknya tidak menginginkan adanya penggunaan isu SARA dalam kampanye. Isu tersebut akan mengancam kualitas pemilu karena kampanye yang disampaikan bukan mengenai visi-misi, program, dan menunjukkan kapabilitas seorang calon, melainkan menjadi ajang bagi ujaran kebencian dan dinamika soal SARA.
”KPU punya semacam tugas atau kewajiban, setidaknya, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kampanye itu salah dan tidak boleh dilakukan,” ujarnya.
Namun, dalam mengatasi isu SARA ini, Ilham mengatakan, pihaknya tidak bisa bekerja sendiri. KPU harus menggandeng berbagai pihak dalam melakukan pendidikan dan sosialisasi pemilih. KPU antara lain harus mendengarkan kampus, media massa, dan para ahli, serta kementerian dan lembaga dalam mengatasi persoalan isu SARA ini.
Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Bambang Gunawan menambahkan, pihaknya berperan untuk melakukan monitoring, pemutakhiran, dan pengedalian hoaks, serta mengakselerasi penegakan hukum terhadap konten-konten negatif selama pemilu dan pilkada.
Sebagai gambaran, dalam Pilkada 2020, ada ancaman isu SARA, ujaran kebencian, dan berita hoaks di berbagai media, termasuk media digital. Kominfo menemukan 47 isu hoaks yang tersebar di 602 sebaran konten pada platform digital sepanjang Pilkada 2020.
”Kami terus melakukan patroli siber untuk menghadapi konten negatif di medsos selama pemilu ataupun pilkada,” kata Bambang.