Selepas 33 tahun, Insiden Memali kembali menjadi perdebatan di Malaysia. Sejumlah politisi saling serang karena kejadian puluhan tahun lalu di Kedah, Malaysia, itu.
Warga Malaysia teringat peristiwa itu gara-gara orasi kampanye pemimpin koalisi oposisi Pakatan Harapan, Mahathir Mohammad. Ia menyebut 14 orang yang tewas dalam kejadian itu meninggal sia-sia.
Belakangan, Mahathir meminta maaf. Para petinggi PAS, partai oposisi, yang kader-kadernya menjadi korban dalam peristiwa itu, menerima permintaan maaf Mahathir.
Namun, ingatan orang akan peristiwa pada 19 November 1985 ini menguat. Menurut versi pemerintah, seperti disampaikan dalam laporan Menteri Dalam Negeri Musa Hitam kepada parlemen 26 Februari 1986, insiden itu bermula dari upaya penangkapan Ibrahim Mahmod alias Ibrahim Libya. Pemerintah bertahun-tahun memantau gerak-gerik lulusan Libya itu.
Mantan pegawai bidang agama Kantor PM Malaysia ini disebut menyebarkan kebencian berdasarkan agama. Dalam banyak catatan orasinya, Ibrahim menuding pemilih dan pengurus UMNO, partai utama koalisi penguasa Barisan Nasional sebagai kafir. Maka, melawan UMNO adalah perintah agama.
Hasutan itu membuat dia dicari polisi. Namun, dirinya selalu bisa menghindari penangkapan. Bahkan, ia bisa mengumpulkan banyak pengikut. Sebagian di antaranya menjadi korban dalam peristiwa Memali.
Sudah Lama
”Malaysia sudah lama dilanda perpecahan karena SARA. Ada orang memanfaatkan SARA untuk kepentingan politik,” ujar Kepala Analis Sosial Penang Institute Wong Chin Huat.
Pada masa kampanye pemilu 2018, penggunaan isu SARA kembali terjadi. ”Media massa terlibat,” ujar Chin Huat.
Sejumlah koran di Malaysia menyebut partai tertentu tidak peduli pada Islam dan kepentingan Melayu. Partai tertentu disebut merencanakan menjalankan agenda komunis dan sosialis jika menang pemilu.
Ada orang memanfaatkan SARA untuk kepentingan politik.
Kotbah dan ceramah juga diwarnai pesan untuk tak memilih anggota parlemen yang dinilai tak memiliki kepedulian. Meski tidak menyebut nama, penceramah secara tersirat menyatakan calon anggota dari agama berbeda jangan dipilih.
Mantan PM Malaysia Abdullah Badawi mengungkapkan kekhawatiran ada gesekan karena isu SARA. Ia mendesak warga Malaysia untuk menyingkirkan perbedaan berdasarkan SARA. ”Harmoni bukan kewajiban. Itu adalah kebutuhan,” tulisnya dalam surat terbuka, pekan lalu.
Para penduduk urban berusia kurang dari 40 tahun gelisah dengan penggunaan SARA untuk kepentingan politik. ”Saya tak bisa memilih harus terlahir dari etnis apa. Namun, saya bisa memilih menjadi apa setelah berusia 20-an tahun seperti sekarang,” kata Ibrahim Rasyad (27), pekerja di Kuala Lumpur.
Sehari-hari saya bertemu dan berurusan dengan banyak orang. Tak pernah bertanya apa agama atau etnis sebelum memulai urusan.
Bagi penduduk urban seperti dia, kampanye SARA tak mempan. ”Sehari-hari saya bertemu dan berurusan dengan banyak orang. Tak pernah bertanya apa agama atau etnis sebelum memulai urusan,” ujarnya.
Noor Arlin, warga kawasan Gombak di Selangor, menyatakan, sudah bukan waktunya lagi menggunakan SARA untuk kepentingan politik. Apalagi, sebenarnya sekarang orang Malaysia sudah saling bercampur baur. "Saya bisa mengaku Melayu karena keluarga besar saya Melayu. Saya juga bisa mengaku Tionghoa karena dari keluarga ibu memang ada garis Tionghoa. Apakah saya asli pribumi Malaysia? Tentu saja saya pribumi Malaysia," tuturnya.
Noor dan Ibrahim menyatakan, masalahnya adalah isu SARA masih terus dipakai di banyak tempat di Malaysia.
"Pemilu hanya lima tahun sekali, bertetangga dan berurusan setiap hari. Buat apa bermusuhan, dengan alasan agama, untuk hal yang terjadi lima tahun sekali?" ujang Pang Swan, pemuda yang tinggal di pinggiran Kuala Lumpur.