Calon Hakim Agung yang Istimewa Tak Disetujui, yang Diduga Bermasalah Justru Disetujui
Dalam rapat yang digelar tertutup, Komisi III DPR menyetujui 7 dari 11 calon hakim agung. Dari ketujuh calon, salah satunya diduga bermasalah. Adapun yang mendapatkan penilaian istimewa dari KY justru tak disetujui.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Ketua Komisi III DPR Herman Herry menerima berkas pandangan dari kelompok Fraksi Demokrat di Komisi III terkait dengan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung, Selasa (21/9/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III DPR menyetujui tujuh dari sebelas calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Salah satu di antaranya yang dilaporkan bermasalah oleh Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan. Adapun calon yang dinilai istimewa oleh Komisi Yudisial justru tak disetujui.
Rapat pleno Komisi III DPR dengan agenda pengambilan keputusan seusai uji kelayakan dan kepatutan digelar secara tertutup selama sekitar 30 menit, di ruang rapat Komisi III DPR, Gedung DPR, Jakarta Selasa (21/9/2021). Rapat dipimpin Ketua Komisi III DPR Herman Herry dan dihadiri 21 anggota Komisi III secara langsung. Selain itu, ada pula anggota Komisi III yang mengikuti secara daring.
Herman Herry seusai rapat mengatakan, dari tujuh calon hakim agung yang disetujui, lima di antaranya calon hakim agung kamar pidana. Mereka adalah Dwiarso Budi Santiarto (saat ini menjabat Kepala Badan Pengawasan/Bawas MA), Jupriyadi (hakim tinggi pengawas pada Bawas MA), Prim Haryadi (Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA), Suharto (Panitera Muda Pidana Khusus MA), dan Yohanes Priyana (hakim tinggi Pengadilan Tinggi/PT Kupang).
Adapun dua calon lainnya, calon hakim agung kamar perdata Haswandi (Panitera Muda Perdata Khusus MA) dan satu-satunya calon hakim agung kamar militer, yakni Brigadir Jenderal Tama Ulinta Br Tarigan (Wakil Kepala Pengadilan Militer Utama).
Suasana uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung oleh Komisi III DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/9/2021).
”Nama-nama tersebut adalah yang telah disetujui dalam rapat pleno Komisi III dengan pengambilan keputusan musyawarah mufakat,” ujar Herman.
Untuk empat calon hakim agung lainnya yang tak disetujui adalah Aviantara (Inspektur Wilayah I Bawas MA), Subiharta (hakim tinggi PT Bandung), dan Suradi (hakim tinggi pengawas pada Bawas MA). Ketiganya calon hakim agung kamar pidana. Satu lainnya yang tak disetujui, calon hakim agung kamar perdata, Ennid Hasanuddin (hakim tinggi PT Banten).
Herman menyebutkan, ketujuh nama yang disetujui disepakati oleh seluruh fraksi, berjumlah sembilan fraksi, di Komisi III. Mereka dianggap yang terbaik dari 11 calon yang lolos seleksi di Komisi Yudisial (KY).
Dalam memberikan persetujuan, lanjut Herman, Komisi III menilai makalah yang disusun setiap calon dan jawaban calon saat wawancara saat uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III pada Jumat (17/9) dan Senin (20/9). Selain itu, Komisi III mempertimbangkan pula hasil tes oleh KY dan masukan dari masyarakat. Meski demikian, ia tak memungkiri ada unsur subyektivitas yang digunakan anggota Komisi III dalam memberikan penilaian.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Layar monitor di ruangan menayangkan calon hakim agung Aviantara saat mengikuti uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung oleh Komisi III DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/9/2021).
Ditanyakan soal calon hakim agung yang sebelumnya disebutkan mendapatkan nilai istimewa dari KY, Aviantara, tetapi justru tak disetujui Komisi III, dan persetujuan Komisi III atas Prim Haryadi, calon yang dianggap bermasalah oleh Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan, Herman mengatakan penilaian itu sepenuhnya merupakan hak politik DPR.
”DPR menggunakan hak politiknya untuk memilih calon-calon yang menurut kami adalah terbaik di antara yang telah diloloskan oleh KY,” kata Herman.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, membenarkan persetujuan terhadap tujuh calon hakim agung merupakan hasil musyawarah di Komisi III. Mengenai masukan permasalahan dari Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan terkait Prim Haryadi, hal itu disebutnya sudah diklarifikasi langsung oleh calon saat uji kelayakan dan kepatutan.
Calon disebutnya telah menepis laporan dari koalisi masyarakat sipil. Laporan dianggapnya implikasi dari jabatan yang kian tinggi yang diembannya di MA. ”Yang bersangkutan adalah orang yang bertugas untuk memindah-mindahkan hakim untuk badan peradilan di bawah MA sehingga wajar jika ada banyak rumor. Itu semua sudah dijawab dan jawabannya memuaskan,” kata Hinca.
KOMPAS/DOKUMENTASI HUMAS KOMISI YUDISIAL
Calon hakim agung 2021 untuk kamar pidana Prim Haryadi mengikuti seleksi wawancara terbuka yang dilakukan Komisi Yudisial, Rabu (4/8/2021).
Pantauan Kompas saat uji kelayakan dan kepatutan terhadap Prim oleh Komisi III, Senin, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman sempat menanyakan soal kritikan dan gunjingan yang diterima Prim, apalagi ia dibandingkan dengan calon lain memiliki posisi jabatan yang lebih tinggi, yakni sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA.
Atas pertanyaan itu, Prim menjawab sudah terbiasa dengan kritikan dan gunjingan. Apalagi, dengan jabatannya, ia kerap memutasi hakim. Pemindahan hakim itu ditekankannya selalu mendasar. Misalnya, berbasis laporan dari lembaga-lembaga terkait mengenai perilaku hakim atau laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawas MA.
Tak sebatas itu, keputusan mutasi selalu didasarkan pada keputusan pimpinan di MA.
”Mutasi bukan hanya kewenangan dari dirjen, melainkan juga pimpinan dibawa ke rapat pimpinan. Kami hanya membuat drafnya, sampaikan alasan, dan pimpinan yang menyetujuinya. Kalau ada hal-hal atau pihak yang tidak setuju dengan kami, wajar. Kami menjalankan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan kepada kami,” tuturnya menjelaskan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Johan Budi Sapto Pribowo, Selasa (1/10/2019).
Meski sejumlah anggota Komisi III DPR telah menyetujui ketujuh calon hakim agung itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Johan Budi SP, kecewa dengan mekanisme pemilihan yang ditempuh Komisi III.
Sebab, setiap anggota tak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan pilihannya seperti halnya saat pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pendapat dan pilihan dalam persetujuan calon hakim diwakili oleh keputusan fraksi.
Padahal, dia harus mempertanggungjawabkan keputusan itu kepada para konstituennya. Ia pun berharap agar ke depan proses pengambilan keputusan diperbaiki sehingga masing-masing anggota dapat dimintai pendapat akan pilihannya, bukan berdasarkan keputusan fraksi.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Suasana Rapat Paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/8/2021).
Disetujui rapat paripurna
Laporan hasil uji kepatutan dan kelayakan terhadap para calon hakim agung oleh Komisi III DPR itu langsung dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui disahkan oleh DPR pada Selasa siang. Ketujuh calon yang disetujui turut hadir dalam rapat paripurna yang memberikan persetujuan atas ketujuh calon tersebut.
“Komisi III DPR menyadari dan memahami kecakapan, kemampuan, integritas, dan wawasan kebangsaan, serta moral calon hakim agung merupakan prasyarat penting untuk menjadi hakim agung. Atas dasar itu, kami mengutamakan prinsip musyawarah dan mufakat, dan kami menyetujui tujuh calon hakim agung,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir saat menyampaikan laporan hasil uji kelayakan dan kepatutan di Rapat Paripurna DPR.
Herman Herry berharap calon hakim agung yang terpilih dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan menjunjung tinggi rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Komisi III mengucapkan selamat bekerja kepada para Yang Mulia Hakim Agung yang terpilih. Sebagai Hakim tertinggi, semoga selalu menjadi benteng dalam menjaga aspirasi keadilan seluruh masyarakat Indonesia,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
Seleksi calon hakim agung dimulai oleh KY, sejak Februari hingga Agustus 2021, sebelum uji kelayakan dan kepatutan digelar Komisi III DPR. Rekrutmen dibuka baik bagi internal hakim karier maupun masyarakat, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 serta Peraturan KY Nomor 2/2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung. Berdasarkan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, para calon hakim agung yang telah mendapat persetujuan dari DPR akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh presiden.