Komisi III DPR Cari Calon Hakim Agung yang Bisa Memajukan MA
Setelah uji kelayakan dan kepatutan terhadap 11 calon hakim agung tuntas, Senin (20/9/2021), Komisi III DPR akan segera mengambil keputusan. Menurut rencana, pengambilan keputusan dilakukan pada Selasa (21/9/2021).
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Sebanyak 11 calon hakim agung telah menjalani tes wawancara sebagai bagian akhir dari uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR, Senin (20/9/2021). Menurut rencana, Komisi III akan langsung mengambil keputusan, menyetujui atau tidak para calon itu, pada Selasa (21/9/2021). Komisi III DPR mencari hakim agung yang memiliki kapasitas, tetapi juga mampu mengubah Mahkamah Agung.
Calon hakim agung Suharto menjadi calon terakhir yang menjalani tes wawancara. Hingga pukul 21.30, uji wawancaranya masih berlangsung. Sebelumnya, sepuluh calon hakim agung secara bergantian menjalani tes wawancara. Sebelum menjalani tes wawancara, kesebelas calon hakim agung tersebut telah menjalani tes tertulis pembuatan makalah, bagian lain dari uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III pada Jumat (17/9/2021).
Sesuai jadwal yang disusun Komisi III DPR, Komisi III akan mengambil keputusan, akan menyetujui atau tidak para calon hakim yang disodorkan oleh Komisi Yudisial tersebut, pada Selasa (21/9/2021).
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir saat dihubungi, Senin, mengatakan, uji kelayakan dan kepatutan mendalami aspek kapabilitas hakim, terutama penguasaan mereka terhadap persoalan di kamar perkara yang dituju. DPR juga mendalami apakah calon memiliki visi dan misi untuk memperbaiki dan memajukan Mahkamah Agung (MA).
Aspek rekam jejak dan integritas para calon, menurut dia, sudah dikupas tuntas dalam seleksi di KY. Selain menelusuri sendiri, KY meminta masukan dari Badan Intelijen Negara (BIN), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta kunjungan langsung ke rumah calon hakim.
”Komisi III hanya memeriksa kembali hal tersebut apabila ada masukan dari masyarakat,” ujar Adies.
Sebanyak delapan dari sebelas calon hakim agung tersebut mengikuti seleksi untuk mengisi kamar pidana di MA. Kedelapan calon itu meliputi Aviantara yang kini menjabat Inspektur Wilayah I Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung; Dwiarso Budi Santiarto sebagai Kepala Bawas MA; Prim Haryadi sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA; Jupriyadi dan Suradi yang kini Hakim Tinggi Pengawas pada Bawas MA; Subiharta, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bandung; Suharto, Panitera Muda Pidana Khusus MA; dan Yohanes Priyana, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Adapun calon hakim agung untuk mengisi kamar perdata di MA adalah Ennid Hasanuddin dari Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Banten dan Haswandi dari Panitera Muda Perdata Khusus MA. Satu calon lain mengikuti seleksi untuk untuk mengisi kamar militer di MA, yakni Brigadir Jenderal Tama Ulinta Br Tarigan, yang kini menjabat Wakil Kepala Pengadilan Militer Utama.
Potongan hukuman koruptor
Dalam tes wawancara, sejumlah persoalan hukum yang kerap disoroti publik ditanyakan oleh anggota Komisi III kepada calon hakim agung.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Nurdin, misalnya, menanyakan kepada Dwiarso Budi Santiarto masalah tren pemotongan hukuman koruptor di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) di MA.
Hakim yang pernah memutus kasus penodaan agama oleh mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dan kasus korupsi bekas Bupati Karanganyar Rina Iriani ini menjawab, koreksi hukuman bisa saja dijatuhkan majelis hakim kasasi atau PK jika menilai ada penerapan hukuman yang tidak tepat di putusan sebelumnya.
Selain itu, MA telah mengeluarkan pedoman pemidanaan dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020, yang bertujuan untuk menghindari disparitas pemidanaan dalam kasus yang sama. Pedoman ini dapat dijadikan sebagai parameter karena terdapat kriteria seperti peran pelaku dan besarnya kerugian negara dalam kasus korupsi.
Selain soal potongan hukuman bagi koruptor, Komisi III DPR juga menyinggung soal kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, meminta Jupriyadi menjelaskan fungsi hakim dalam menerapkan konsep keadilan restoratif untuk mencegah problem di lapas dan rutan.
Menurut Jupriyadi, konsep keadilan restoratif sebenarnya sudah diterapkan dalam peradilan pidana, khususnya kasus anak dan perempuan. Dia sepakat bahwa dalam perkara pidana, tidak semua perkara harus diputus dengan pemenjaraan badan. Masih ada jenis-jenis hukuman lain, seperti denda dan kerja sosial, yang dapat diterapkan agar hukum tidak bersifat punitif.
Dia berharap regulasi untuk mendukung keadilan restoratif ini dapat segera disahkan sehingga hakim dapat ikut berkontribusi mengurangi kelebihan penghuni di lapas dan rutan. Dalam praktiknya, saat menangani kasus narkoba, dia juga mengaku mempertimbangkan peran pelaku. Jika terbukti di persidangan sebagai pemakai, hanya akan diputus dengan hukuman minimum.
”Kalau memang sudah diatur di UU, hakim tidak akan ragu-ragu dalam memberikan hukuman di luar pemenjaraan badan, misalnya kerja sosial. Itu sudah terbukti bermanfaat bagi negara dan bisa mengurangi overcrowding di lapas,” kata Jupriyadi.
Tolak calon bermasalah
Secara terpisah, Juru Bicara Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) Erwin Natosmal Oemar berharap Komisi III DPR tak hanya berpaku pada informasi yang diperoleh dari Komisi Yudisial terkait para calon hakim agung, tetapi juga informasi lain, seperti masukan dari masyarakat sipil.
”Kami mengapresiasi keterbukaan yang dilakukan Komisi III dalam uji kelayakan dan kepatutan ini. Kami berharap proses transparansi berlanjut dalam pengambilan keputusan. Anggota DPR harus bisa bertanggung jawab secara politik terhadap proses persetujuan calon hakim agung,” kata Erwin.
Ia juga berharap Komisi III DPR dapat memilih calon yang memiliki visi dan misi jelas sebagai hakim agung, tidak memiliki catatan integritas yang buruk, memiliki harta kekayaan yang wajar, memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih, serta berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan di MA.
Hal lain yang penting, calon yang dipilih harus memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum serta memiliki keberpihakan kepada masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
”Kami berharap DPR tidak meloloskan calon hakim yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak berintegritas. Catatan kami, ada satu calon yang mendapatkan rapor merah karena riwayat pelanggaran kode etik dan dua hakim mendapatkan tanda kuning karena putusan serta konflik kepentingan saat menjabat sebagai hakim,” kata Erwin.