Risiko Bola Liar di Tengah Jalan Amendemen Konstitusi
Gagasan amendemen konstitusi perlu terus dikawal meski telah dinyatakan bukan untuk memperpanjang kekuasaan presiden dan bukan agenda mendesak di tengah pandemi Covid-19.

Presiden Joko Widodo berpidato pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD dalam rangka HUT Ke-76 Republik Indonesia di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senin (16/8/2021).
Wacana amendemen konstitusi menjadi perdebatan di publik setelah niatan itu disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, dan didukung Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti, serta mendapatkan apresiasi dari Presiden Joko Widodo, dalam sidang tahunan MPR, 16 Agustus 2021.
Namun, akankah wacana itu terwujud di tengah konteks politik yang diwarnai kekhawatiran perpanjangan kekuasaan?
Wacana amendemen konstitusi ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak MPR periode 2009-2014, amendemen ini menjadi rekomendasi MPR yang diteruskan kepada MPR periode selanjutnya. Hampir satu dekade wacana ini mengendap. Namun, justru di masa pandemi, wacana ini seolah kian dekat dengan kenyataan. Terlebih, setelah Presiden terlihat mengubah posisinya menjadi lebih ”lunak” dalam menanggapi wacana perubahan yang disebut-sebut untuk menghadirkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) tersebut.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam acara bincang-bincang Satu Meja: The Forum bertajuk ”Untung Rugi Amendemen Konstitusi,” Rabu (1/9/2021) di Kompas TV, yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, mengatakan, wacana amendemen itu akan bergantung pada dinamika yang terjadi di dalam koalisi. Sebab, dengan enam parpol koalisi, dan kini ditambah dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang masuk ke koalisi, ada kepentingan yang berbeda-beda satu sama lain.
Baca juga: DPD Ingin Agregasi Kepentingan Daerah lewat Amendemen

Burhanuddin Muhtadi
Belum lagi munculnya berbagai analisis dari berbagai pihak atas amendemen konstitusi ini yang dikhawatirkan akan dijadikan pintu masuk bagi berbagai kepentingan politik di luar PPHN. Isu yang mencuat, antara lain, perubahan periode masa jabatan presiden dari yang semula dua periode menjadi tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027, serta penundaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif hingga 2027.
Secara politik, menurut Burhanuddin, segala analisis itu mungkin saja terjadi. Tetapi, ada kepentingan subyektif dari parpol yang mesti diperhitungkan untuk melihat kemungkinan amendemen ini. ”Soal amendemen ini, kepentingan partai koalisi ini berbeda-beda. Dalam soal PPHN itu, inisiatif PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) itu sangat kelihatan, tetapi Golkar dan Nasdem berbeda. Soal tiga periode juga masing-masing partai memiliki kepentingan berbeda, seperti Gerindra dan Golkar yang punya kepentingan subyektif agar ketua umum mereka maju,” katanya.
Baca juga: Amendemen Konstitusi di Masa Krisis Dapat Memicu Ketidakpastian
Jikalau usulan tiga periode itu disetujui, yang diuntungkan hanya Jokowi dan partai-partai lain yang tidak memiliki calon presiden. Namun, untuk anggota koalisi lainnya, seperti Golkar, Gerindra, termasuk juga PDI-P, menurut Burhanuddin, itu belum tentu menguntungkan. Oleh karena itu, soal amendemen ini, pertentangannya bukan oposisi melawan koalisi, tetapi koalisi lawan koalisi. Dinamika di dalam koalisilah yang menentukan apakah amendemen ini akan terjadi.
Di sisi lain, hal lainnya yang juga mesti dilihat ialah pergeseran sikap presiden. Jika dalam dua tahun sebelumnya Presiden bersikap tegas dan jelas agar amendemen tidak dilakukan, sikap lebih lunak ditunjukkan Presiden saat berpidato di dalam sidang tahunan. Presiden menyebut upaya kajian terhadap PPHN yang dilakukan oleh MPR itu patut diapresiasi.
Belum diputuskan

Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR Benny K Harman
Pembicara lainnya, Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR Benny K Harman, menilai, ketua majelis telah melakukan kebohongan publik. MPR belum memutuskan untuk melakukan amendemen terbatas, khususnya mengubah kewenangan majelis dalam menetapkan PPHN. Badan Pengkajian MPR baru ditugasi pimpinan untuk mengkaji soal hal ini dan menyusun konten PPHN.
”Bentuk hukumnya pun masih diperdebatkan. Semua sepakat perlunya PPHN, tetapi belum ada kesepakatan soal bentuk hukumnya. Kami (Demokrat), misalnya, dan beberapa parpol lainnya menghendaki PPHN cukup diatur di dalam UU, dan tidak usah di dalam konstitusi dengan mengubah kewenangan majelis. Kalau kewenangan itu diubah dan dicantumkan di dalam konstitusi, akan banyak sekali pasal yang ikut berubah, dan itu sangat berbahaya,” ucapnya.
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR Benny K Harman menilai, ketua majelis telah melakukan kebohongan publik. MPR belum memutuskan untuk melakukan amendemen terbatas, khususnya mengubah kewenangan majelis dalam menetapkan PPHN.
Benny mencurigai tujuan amendemen itu bukan semata-mata untuk membuat PPHN, tetapi ada agenda lain, yaitu kepentingan politik untuk menambah kekuasaan, menambah presiden menjadi tiga periode, menunda pemilu, dan menunda pilpres sampai 2027.
Kecurigaan itu, lanjut Benny, bukan hal yang tidak jelas asal-usulnya di Senayan. ”Bau” tentang perubahan konstitusi untuk memperpanjang kekuasaan, baik dengan menambah periode jabatan presiden, menunda pemilu, sehingga otomatis menambah periode DPR dan DPD hingga 2027, sudah menjadi ”bau yang semerbak. ”Namun, untuk mengakui itu diperlukan kejujuran pemimpin. Jadi sudah jelas, tidak usah ditanyakan lagi ada atau tidak. Itu bukan halusinasi,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Nilai Tidak Tepat Amendemen Dua Pasal Konstitusi oleh MPR

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menghadiri rapat kerja bersama Komisi I DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (7/4/2021).
Kecurigaan itu dibantah Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate yang hadir dalam pertemuan antara Presiden Jokowi dan pimpinan ketua umum parpol dan sekjen, pekan lalu. Tidak ada pembahasan mengenai amendemen di dalam pertemuan itu. Pertemuan itu berpusat pada tiga hal, yaitu penanganan Covid-19, ekonomi, dan hubungan pusat dan daerah. Kalaupun ada pernyataan pimpinan parpol, seperti Ketum PAN Zukifli Hasan yang menyinggung 23 tahun amendemen konstitusi perlu dievaluasi, itu merupakan kesimpulan pribadi dan bukan menjadi titik tekan pertemuan di Istana.
Baca juga: Amendemen UUD 1945 dan Demokrasi Konstitusional
”Saat ini kebutuhan bangsa dan rakyat ialah menyelesaikan masalah Covid-19 sehingga demikian pula kebutuhan koalisi dan presiden. Namun, kalau dilakukan amendemen itu harus menjawab kebutuhan rakyat dulu. Kita harus tanyakan dulu kebutuhan rakyat, konsultasi dengan rakyat, kalau tidak, itu akan useless dan menjadi proses politik yang elitis,” ujarnya.
Berbagai spekulasi terkait pertemuan antara parpol koalisi dan Presiden, menurut Johnny, dipandang sebagai hal yang wajar saja. Namun, ia menegaskan isu amendemen konstitusi, termasuk kecurigaan perpanjangan jabatan presiden, hingga penundaan pemilu, bukanlah realitas yang dibahas koalisi. ”Apa yang disampaikan Pak Benny itu, kan, cara berpikir oposisi. Tetapi, ’bau’ yang dihasilkan dari Istana itu bau harum. Kenapa berbau harum, karena Presiden berulang kali mengatakan Presiden taat konstitusi. Perpanjangan masa jabatan bukan agenda Presiden,” ujarnya.
Berpotensi melebar

Akademisi hukum tata negara Bivitri Susanti (kiri) hadir sebagai ahli dalam sidang Pengujian Formil atas Undang-Undang KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, dalam isu amendemen konstitusi harus pula dilihat keberadaan lingkaran kekuasaan di sekitar Presiden yang saat ini dinilai nyaman dengan posisinya dalam menentukan kebijakan di kabinet dan parlemen. Lingkaran ini juga memikirkan stabilitas dan akses mereka pada kekuasaan.
Oleh karena itu, wacana amendemen tidak bisa dipandang secara naif, atau hanya dipandang dalam hitung-hitungan kursi anggota MPR. Pasal 37 UUD 1945 mengatur syarat usulan dari sepertiga anggota MPR untuk bisa mengagendakan sidang MPR untuk membahas amendemen. Namun, politik sangatlah cair, dan bukan semata hitung-hitungan matematis.
Dalam isu amendemen konstitusi harus pula dilihat keberadaan lingkaran kekuasaan di sekitar presiden yang saat ini dinilai nyaman dengan posisinya dalam menentukan kebijakan di kabinet dan parlemen.
Begitu masuk menjadi agenda, bisa saja terjadi usulan-usulan baru di tengah jalan. Sepanjang itu disepakati mayoritas anggota MPR, agenda itu akan disetujui. Apalagi, kalau argumennya ialah ada keterkaitan pasal sehingga perlu perubahan di pasal lainnya. ”Inilah yang dibahasakan sebagai kotak pandora. Harus hati-hati karena agenda yang mulanya satu bisa merembet ke berbagai hal,” ucapnya.
Menurut Bivitri, masyarakat sipil sejak jauh-jauh hari perlu mengawal wacana ini agar tidak melenceng dari amanat Reformasi maupun tujuan negara hukum. Ia mengingatkan, salah satu ciri mendasar dari negara hukum ialah pembatasan kekuasaan.