DPD Ingin Agregasi Kepentingan Daerah lewat Amendemen
Dalam penetapan RAPBN, DPD ingin ikut memberikan persetujuan, terutama menyangkut anggaran negara yang dikucurkan untuk program-program daerah.

Suasana Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 dan Sidang Bersama DPR dan DPD, Senin (16/8/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun partai-partai politik menyepakati menunda wacana amendemen konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah atau DPD menilai rencana amendemen tetap perlu disiapkan untuk memberikan dasar diadakannya haluan negara. Di sisi lain, DPD memiliki kepentingan amendemen konstitusi itu untuk mendorong peran mereka sebagai agregator kepentingan daerah difungsikan sebagaimana mestinya.
Namun, sejumlah ahli politik dan hukum menilai, kepentingan mengadakan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) melalui amendemen konstitusi bisa menjadi bola liar karena banyaknya kepentingan yang bertumpuk dalam perubahan konstitusi. Selain kepentingan fraksi partai politik di DPR, kepentingan DPD menguatkan kewenangannya juga menjadi pintu masuk bagi berbagai pembahasan di luar PPHN sebagaimana dijanjikan selama ini.
Wakil Ketua Komite I DPD Abdul Khalik, Jumat (27/8/2021), sependapat pembahasan wacana amendemen ditunda selama masa pandemi. Meski demikian, DPD setuju amendemen dilakukan untuk memasukkan PPHN. Pengadaan haluan negara dirasakan perlu untuk memberikan arahan bagi konsistensi serta kesinambungan pembangunan nasional dan daerah.
”Kami memahami kalau ada sikap untuk menghindari polarisasi yang mungkin tidak produktif. Jadi, hal itu (pembahasan amendemen) saya kira saat ini tidak perlulah kalau diskursusnya tidak kondusif. Kami support pemerintah ke arah sana. Namun, sebagai sebuah konsepsi dalam rangka penataan kewenangan dan penyempurnaan sistem ketatanegaraan, itu tentu harus terus disiapkan dan didiskusikan di internal lembaga dan dikomunikasikan antarlembaga,” kata anggota DPD dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah ini.
Baca juga : Parpol Nilai Amendemen Konstitusi Tidak Mendesak

Suasana Sidang Paripurna DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Sikap DPD seperti disampaikan saat Sidang Paripurna Luar Biasa Ketiga DPD Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021, 24 Juni, pun menyetujui hasil kajian Tim Kerja Politik PPHN tentang usulan amendemen konstitusi. Tim Kerja PPHN ini menghasilkan pokok-pokok pikiran usul pengubahan pasal-pasal UUD 1945 secara terbatas yang akan diusulkan DPD.
Setidaknya ada dua usulan perubahan yang telah disetujui DPD. Pertama, perubahan Pasal 3 UUD 1945, yakni menambahkan satu ayat baru, yaitu Ayat (4), yang berbunyi, ”Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan haluan negara atas usul Presiden setelah dibahas bersama Dewan Perwakilan Daerah.”
Kedua, menambahkan tiga ayat pada Pasal 23 UUD 1945, yakni Ayat (2), (3), dan (4). Ayat (2) diusulkan berbunyi, ”Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah sepanjang menyangkut pelaksanaan haluan negara dalam program tahunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara.”
Ayat (3) diusulkan, ”Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, sesuai kewenangan masing-masing, dapat menolak rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh Presiden.”
Adapun Ayat (4) diusulkan berbunyi, ”Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, sesuai kewenangan masing-masing, tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu.”

Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mahmud Mattalitti saat Sidang Bersama DPR dan DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021).
Khalik mengatakan, terkait keputusan dalam sidang paripurna itu, DPD masih membuka pintu aspirasi dari anggota lebih jauh. Namun, spirit yang diusung DPD ialah ingin memfungsikan DPD sebagai agregator kepentingan daerah sebagaimana yang seharusnya menjadi peran DPD.
”Dalam penetapan RAPBN itu, untuk rincian anggarannya menjadi pembahasan antara DPR dan pemerintah. Namun, untuk programnya, yang terkait sinergitas antara program nasional dan daerah, kami ingin ikut memberikan persetujuan. Sebab, itu berkaitan dengan implementasi program pembangunan di daerah,” kata Khalik.
Menanggapi kekhawatiran sejumlah pihak tentang amendemen konstitusi yang bisa melebar ke mana-mana, termasuk isu penguatan kewenangan DPD, Khalik mengatakan, kekhawatiran itu hal yang wajar. Namun, kajian usulan DPD masih fokus pada PPHN. Kendati ada pula aspirasi-aspirasi dari anggota DPD terkait penguatan kelembagaan, itu masih ditampung, dan belum dibicarakan dalam Sidang Paripurna DPD.
”Kalau bicara amendemen konstitusi sebaiknya memang konteksnya ini PPHN. Sebab, ini rekomendasi yang berjalan selama 10 tahun, sejak MPR periode 2009-2014,” ucapnya.

Namun, untuk mengegolkan amendemen konstitusi sebagaimana konsepsi DPD, lanjut Khalik, itu akan memerlukan kesepahaman politik dengan anggota DPR. Sekalipun seluruh anggota DPD yang berjumlah 136 orang setuju mengusulkan amendemen konstitusi, masih dibutuhkan sekitar 101-103 suara dukungan lagi agar bisa memenuhi syarat yang diatur di dalam Pasal 37 UUD 1945. Dukungan itu pun otomatis harus diperoleh dari anggota DPR.
Pasal 37 UUD 1945 mengatur, perubahan pasal-pasal di dalam UUD 1945 dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR, yakni 237 dari 711 jumlah anggota MPR. Pada Ayat (2) Pasal 37 UUD 1945 juga disebutkan, setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Bola liar
Namun, upaya menggalang dukungan mengenai amendemen konstitusi menemui penolakan di internal DPD. Sejumlah anggota DPD menolak wacana amendemen. Anggota Komite I DPD Abdul Rachman Thaha menolak amendemen yang disinyalirnya akan memperpanjang masa jabatan presiden, dan menggeser jadwal pilpres dan pileg dari 2024 ke 2027.
Menurut dia, perubahan konstitusi harus mengikuti ketentuan yang diatur di dalam UUD 1945.
“Artinya harus ada 230-an anggota MPR RI yang memberikan tanda tangan. Dan untuk mengubah pasal-pasal, sidang itu harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR (460 an orang). Jumlah anggota DPD adalah 136 orang. Dengan angka-angka tersebut, suara anggota DPD ditambah suara dari anggota beberapa fraksi akan bisa menjegal rencana kubu yang begitu bernafsu mengubah UUD demi bertahan di kursi kekuasaan,” katanya dalam keterangan tertulis.

Akademisi hukum tata negara Bivitri Susanti di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivistri Susanti melihat secara kritis, amendemen UUD 1945 bukan soal hitung-hitungan matematis, melainkan soal politik. Dalam hal ini, bagaimana kemampuan politisi menangkap aspirasi rakyat versus kemampuan politisi untuk memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politik kelompoknya sendiri, termasuk dengan memanipulasi aspirasi rakyat. Berkaca pada benang merah sejarah konstitusi RI yang menunjukkan amendemen tidak lahir dari ruang kosong dan gagasan elite politik, melainkan selalu ada momentum konstitusional.
“Dalam studi-studi hukum tata negara dan politik, ada kecenderungan munculnya keinginan elite politik mengamendemen konstitusi untuk melegalkan hal-hal yang ingin dilakukannya. Secara prinsip ada pelanggaran nilai konstitusi, tapi para elite mengubah konstitusi itu agar praktik yang tak konstitusional tersebut tak menjadi pelanggaran. Karena itu, saya sampai pada kesimpulan untuk menolak amendemen UUD 1945 karena belum ada urgensinya. Anggota MPR saat ini perlu fokus kepada tugas-tugas aslinya untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan,” ujarnya dalam diskusi yang diadakan oleh Integrity Law Firm.
Baca juga: Amendemen Konstitusi Masih dalam Kajian

Direktur Puskapol UI Aditya Perdana dalam diskusi daring bertajuk "Siapa Butuh Amendemen," Minggu (22/8/2021).
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana mengatakan, saat ini kekuatan-kekuatan politik sedang mengonsolidasikan kekuatan.
Amendemen konstitusi itu secara politik akan sulit dihindari ketika persoalan pandemi ini selesai ditangani. Sebab, sebenarnya hampir semua fraksi di MPR setuju amendemen dilakukan, termasuk dengan dukungan DPD. Namun, semua dukungan itu tidak akan bebas kepentingan, sehingga yang terjadi dalam amendemen konstitusi nanti ialah transaksi kepentingan antarfaraksi dan kelompok di MPR.
Menurut Aditya, dukungan DPD terhadap PPHN itu pun patut diduga hanya sebagai pintu masuk saja dalam pembahasan lain, karena selama ini yang diinginkan DPD ialah penguatan kewenangan mereka, termasuk dalam menyusun RUU bersama pemerintah dan DPR.
”Jadi kalau dikatakan mereka hanya ingin terlibat dalam persetujuan program pembangunan daerah, jangan-jangan itu alibi saja agar amendemen itu memenuhi syarat untuk dilakukan. Tetapi di dalam, ketika amendemen dilakukan, ini bisa menjadi bola liar karena banyak kepentingan di sana dan kita tidak tahu agenda tersembunyinya apa,” ucapnya.