Pakar Hukum Tata Negara Nilai Tidak Tepat Amandemen Dua Pasal Konstitusi oleh MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat mendorong dilakukan amandemen konstitusi untuk membentuk Pokok-pokok Haluan Negara. Namun, ahli hukum tata negara menilai amandemen saat ini tidak diperlukan karena sudah ada UU RPJN.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman saat persidangan pembacaan keputusan terkait uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/5/2021).
JAKARTA, KOMPAS – Ahli hukum tata negara memandang amandemen terhadap dua pasal Undang-undang Dasar 1945 yang tengah dikaji dan dilakukan penyerapan aspirasinya di publik oleh MPR untuk membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara atau PHPN, dinilai tidak diperlukan, Hal itu karena substansi PPHN sebenarnya sudah ada dalam Undang-undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional atau RPJN yang dibuat Badan Perencana Pembangunan Nasional.
Saat dihubungi, Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, di Jakarta, Selasa (29/6/2021) mengatakan, amandemen konstitusi tidak sesederhana meskipun hanya mengajukan dua pasal perubahan. Pembentukan PPHN sendiri saat ini dipandang juga tidak mendesak karena sudah ada UU RPJPN. Argumentasi yang mengatakan presiden bukan mandatoris MPR pun menjadi ambigu karena muncul pertanyaan soal apa daya ikat bagi presiden jika ia tidak mematuhi PPHN itu.
“Kalau misalnya presiden tidak melaksanakan PPHN, apakah ada sanksinya, atau konsekuensi hukumnya. Kalau tidak ada konsekuensi hukum lalu apa daya ikat presiden jika tidak mematuhi PPHN. Jika ukurannya hanya tidak disetujui usulan anggarannya, presiden kan tetap bisa memakai anggaran tahun sebelumnya,” kata Charles.
Pertanyaan lainnya, kenapa PPHN juga hanya mengikat presiden. Sebagai haluan negara, ia mestinya mengikat lembaga-lembaga negara lain, termasuk DPR dan MPR. Presiden sebagai eksekutif ketika mengambil kebijakan pun sebenarnya tidak sendirian, karena itu juga dibicarakan dengan DPR. Apalagi jika menyangkut kepentingan besar negara, seperti pembentukan UU dan anggaran.
“Presiden dalam menjalankan programnya pasti menerjemahkannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam pembentukan UU itu, kan pasti bersama dengan DPR. Lalu apakah segala bentuk regulasi turunan PPHN itu hanya mengikat presiden, dan apakah yang harus taat pada haluan negara itu hanya presiden. Bagaimana jika presiden patuh, sedangkan DPR tidak patuh, apa konsekuensinya?” tanyanya.
“Kalau misalnya presiden tidak melaksanakan PPHN, apakah ada sanksinya, atau konsekuensi hukumnya. Kalau tidak ada konsekuensi hukum lalu apa daya ikat presiden jika tidak mematuhi PPHN. Jika ukurannya hanya tidak disetujui usulan anggarannya, presiden kan tetap bisa memakai anggaran tahun sebelumnya” (Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura)
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Charles Simabura, Senin (24/2/2020).
Hal lain yang lebih substantif, menurut Charles, siapakah yang akan membuat PPHN itu. Jika yang menentukan isi PPHN adalah anggota MPR, banyak hal harus diperhatikan. Sebagai contohnya, sebagian besar anggota MPR adalah pengusaha, dan bagaimana menguji isi PPHN untuk memastikan substansinya tidak pro pasar liberal. Demikian pula sebaliknya, jika arah pembangunan yang dimaksud itu pro pada ideologi lainnya.
“PPHN harus pula diukur dengan konstitusi, karena dia tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Siapa yang bisa menguji substansi norma PPHN ini, kan juga harus dipertanyakan. Jangan sampai PPHN ini hanya alat semata untuk melegitimasi supaya ada program,” katanya.
Dalam situasi negara menghadapi pandemi Covid-19, Charles menilai wacana amandemen konstitusi tidak terlalu mendesak. Apalagi dengan munculnya wacana presiden 3 periode, hal itu akan memengaruhi publik dan mengasosiasikan amandemen itu terkait dengan upaya rezim melanggengkan kekuasaan.
Penyerapan aspirasi terus jalan
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, penyerapan aspirasi terus dilakukan agar dua pasal konstitusi yang akan diamandemen tersebut diubah sebagai bagian dari upaya membentuk PHPN.
Dalam kesempatan sosialisasi empat pilar MPR RI di Universitas Airlangga, di Surabaya, Bambang kembali menegaskan keberadaan PPHN sangat dibutuhkan bangsa Indonesia sebagai panduan arah dan strategi pembangunan nasional jangka panjang. Selain itu, PPHN diproyeksikan dapat menjadi instrumen memastikan pembangunan nasional merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara, Pancasila.
“Perspektif ideologis mengenai urgensi keberadaan PPHN tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan nasional diselenggarakan dalam kerangka menjaga dan memperkuat ideologi negara agar tetap menjadi karakter dan jiwa bangsa. Ke depan, berbagai tantangan kebangsaan akan semakin kompleks dan dinamis, sehingga perlu dibangun benteng ideologi dan penguatan karakater bangsa melalui pembangunan wawasan kebangsaan,” ujar Bambang dalam keterangannya.
Kompas
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Dokumentasi pribadi)
Lebih jauh, dalam wawancara terpisah, Bambang mengatakan, PPHN itu dibentuk untuk menjaga kesinambungan pembangunan, baik antara pusat dengan daerah, maupun antarpimpinan eksekutif di tingkat pusat maupun daerah. “Nanti, semuanya akan mengacu pada PPHN, termasuk visi-misi gubernur, walikota dan bupati. Intinya, visi-misi presiden, gubernur, walikota dan bupati dinaikan derajatnya menjadi visi-misi negara,” ungkapnya, Selasa (29/6).
Bambang menegaskan keberadaan PPHN itu tidak akan mengubah sistem presidensial yang selama ini dianut. Presiden pun bukan merupakan mandataris MPR. Amandemen yang diproyeksikan akan dilakukan MPR merupakan amandemen terbatas pada dua pasal di dalam UUD 1945, yakni Pasal 3 dan Pasal 23.
“Pembentukan PPHN melalui perubahan terbatas terhadap konstitusi, setidaknya berkaitan erat dengan dua pasal yang harus diselaraskan. Pertama, penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Kedua, penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini.
“Pembentukan PPHN melalui perubahan terbatas terhadap konstitusi, setidaknya berkaitan erat dengan dua pasal yang harus diselaraskan. Pertama, penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Kedua, penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN”
Terkait dengan kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden, Bambang menerangkan, itu demi menjaga kesinambungan pembangunan. Sebagai contohnya, ketika saat ini pemerintah mengalokasikan anggaran untuk memindahkan ibukota negara, maka pada pemerintahan selanjutnya, siapa pun presidennya harus meneruskan program itu. Tujuannya ialah tidak ada program pembangunan yang mangkrak.
“Jangan nanti ganti pemerintah atau ganti presiden maka ganti haluan kebijakan. Pengganti Pak Jokowi, misalnya, meneruskan pemindahan ibukota. Jangan sampai sekarang kita mengeluarkan effort yang besar untuk program itu, lalu kemudian diubah kebijakannya, sementara kita sudah mengeluarkan energi besar untuk itu,” ujarnya.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan sambutan dalam pembukaan Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/11/2020). Kegiatan ini digelar MPR dan menggandeng Komisi Yudisial dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Konferensi ini diharapkan akan memunculkan rumusan tentang penataan dan pembinaan sistem etika jabatan publik dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan jabatan-jabatan profesi untuk kepentingan umum.Kompas/Heru Sri Kumoro11-11-2020
Sebagai haluan negara, PPHN pun tidak berbeda dengan konsep Pembangunan Semesta yang dulu digagas oleh Presiden Soekarno, maupun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) di era Presiden Soeharto. Dengan PPHN, maka tidak ada lagi haluan negara yang disesuaikan dengan visi-misi calon presiden, gubernur, walikota, dan bupati yang berubah-ubah. Sebab, lanjut Bambang, dengan visi-misi yang berubah-ubah itu akan sangat tergantung pula pada selera partai politik (parpol) yang mendukung calon tersebut.
“Misalnya, pimpinan suatu wilayah tertentu yang terpilih adalah calon dari Partai X, dan kemudian diganti dengan calon dari Partai B. Maka pembangunan di wilayah itu juga akan berubah mengikuti kebijakan parpol. Akhirnya pembangunan kita seperti tari poco-poco, maju dua langkah, mundur selangkah, berganti-ganti haluan,” ujarnya.
Wacana 3 Periode
Lebih jauh, Bambang juga membantah ada upaya untuk “memasukkan” pengaturan presiden tiga periode ke dalam amandemen konstitusi. Untuk dapat mengamandemen konstitusi juga bukan soal mudah, karena ada aturan ketat. Pasal 37 UUD 1945 mengatur suatu perubahan konstitusi harus diusulkan oleh sepertiga anggota MPR, dan amandemen itu dapat disahkan jika sidang dihadiri oleh dua per tiga anggota MPR.
“Kalau pasal dan ayat yang diubah itu ada yang ditambahi, itu melanggar UUD. Karena itu, isu-isu yang mengatakan amandemen konstitusi mendorong 3 periode itu tidak benar. Karena itu sudah dikunci di awal dengan Pasal 37 itu” (Ketua MPR Bambang Soesatyo)
Pasal dan ayat yang diusulkan untuk diubah juga harus jelas, dan tidak boleh “goyang” di tengah jalan. “Kalau pasal dan ayat yang diubah itu ada yang ditambahi, itu melanggar UUD. Karena itu, isu-isu yang mengatakan amandemen konstitusi mendorong 3 periode itu tidak benar. Karena itu sudah dikunci di awal dengan Pasal 37 itu,” ucap mantan Ketua DPR itu.
Bambang menegaskan, tidak ada pintu masuk untuk mengusulkan wacana presiden tiga periode, karena sejak awal MPR mendorong keberadaan PPHN. “Tata caranya ketat untuk mengubah ketentuan itu, karena harus diusulkan sepertiga anggota MPR, dan jika disetujui maka harus disahkan dalam sidang yang dihadiri dua per tiga anggota MPR,” ucapnya lagi.
Sebelumnya, wacana mengusung Presiden Joko Widodo tiga periode digagas oleh kelompok Jokpro (Jokowi-Prabowo), yang menginginkan ada penyatuan antara dua kelompok pendukung calon presiden 2019, yakni Jokowi dan Prabowo. Dalam keterangannya, Ketua Umum Jokpro 2024 Baron Danardono mengatakan, duet Jokowi-Prabowo hanya dapat terwujud jika amandemen UUD 1945 dilakukan.
“Kami selalu mengatakan Jokowi-Prabowo 2024 itu hanya bisa terwujud apabila terjadi amandemen UUD RI 1945 (konstitusi). Jadi dahulukan amandemen UUD RI 1945 baru Jokowi-Prabowo bisa terwujud di 2024,” katanya.