Ombudsman Siapkan Rekomendasi bagi Presiden Terkait TWK KPK
Akhir bulan ini, rekomendasi bagi Presiden dilayangkan Ombudsman RI. Hal ini karena KPK dan BKN tak melaksanakan tindakan korektif yang diminta terkait TWK KPK hingga batas waktu 30 hari yang diatur undang-undang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga tenggat 30 hari, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Kepegawaian Negara belum juga menjalankan tindakan korektif yang diminta Ombudsman Republik Indonesia terkait temuan malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK. Karena itu, saat ini, Ombudsman tengah menyiapkan rekomendasi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Na Endi Jaweng, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (25/8/2021), mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI, Ombudsman dapat mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden jika sampai batas waktu 30 hari, tindakan korektif yang diminta ORI tak juga dijalankan terlapor.
Tenggat itu dihitung sejak laporan hasil akhir pemeriksaan (LHAP) ORI diterima terlapor. Dalam kasus malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK, LHAP diterima pihak terlapor, yakni Badan Kepegawaian Negara dan Komisi Pemberantasan Korupsi, pada 23 Juli 2021. Artinya, saat ini, tenggat itu telah terlampaui.
Maka, dengan tenggat terlampaui dan tak terlihat itikad dari KPK ataupun BKN untuk menjalankan tindakan korektif yang diminta ORI, Robert mengatakan, saat ini ORI tengah menyusun rekomendasi ke Presiden. Penyusunan rekomendasi disebutnya sudah memasuki tahap finalisasi. Rekomendasi disampaikan ke Presiden sebagai atasan KPK dan BKN.
”Rekomendasi keluar akhir bulan ini,” ujar Robert.
Seperti diketahui, ORI meminta ketua KPK dan kepala BKN melakukan empat tindakan korektif karena adanya malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan TWK. Salah satunya, 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK untuk dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.
Namun, atas permintaan tindakan korektif itu, pimpinan KPK dan BKN enggan melaksanakannya. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron beralasan, ORI tak berkompeten menguji keabsahan formil pembentukan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2020 yang menjadi dasar pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN. Selain itu, KPK menganggap mutasi pegawai merupakan urusan internal lembaga. Adapun Wakil Kepala BKN Supranawa Yusuf mengklaim pelaksanaan TWK telah sesuai peraturan perundang-undangan.
Mengenai isi rekomendasi, Robert menjelaskan, intinya akan berisi dua hal. Pertama, berisi mengenai uraian hasil pemeriksaan dan bentuk malaadministrasi yang dilakukan terlapor. Kedua, berisi usulan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada terlapor.
Berkaitan dengan sanksi, salah satu aturan yang menjadi acuan Ombudsman adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Di dalam aturan tersebut, sanksi bisa berupa teguran tertulis, pembebasan dari jabatan, penurunan pangkat, hingga pemberhentian dengan tidak hormat. ”Nah, nanti akan dinormakan sanksi-sanksi itu di rekomendasi,” ucap Robert.
Rekomendasi ORI kepada Presiden itu, lanjut Robert, wajib dilaksanakan oleh Presiden. Ini seperti tertera dalam Pasal 38 UU ORI.
Jika kembali tidak dilaksanakan, UU ORI pun mengaturnya. Salah satunya, ORI dapat memublikasikan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menyampaikan, Presiden Joko Widodo menghormati rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan temuan Ombudsman terkait pelaksanaan TWK pegawai KPK. Namun, Presiden belum akan melaksanakannya.
Presiden masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) atas gugatan terhadap peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
Terhadap sikap Presiden tersebut, Robert menyayangkannya. Sebab, mengacu pada Pasal 52 dan Pasal 53 UU Pelayanan Publik, diatur bahwa pengajuan gugatan ke pengadilan tidak menghapus kewajiban penyelenggara negara untuk melaksanakan keputusan Ombudsman. Dengan kata lain, proses hukum di MA dan MK tak bisa dijadikan alasan untuk menunda melaksanakan tindakan korektif atau saran perbaikan yang disampaikan oleh Ombudsman.
”Jadi, jika sekarang ada proses hukum di MK dan MA, itu silakan berlanjut. Tetapi, menjalankan putusan Ombudsman itu tidak kemudian menunggu MK dan MA. Putusan Ombudsman wajib dilaksanakan dulu dan itu sudah dipertegas dalam UU Pelayanan Publik. Itu sudah clear (jelas),” kata Robert.
Adapun Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto menilai, Presiden tak memahami kedudukannya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan di bidang kepegawaian.
Berdasarkan Pasal 25 Ayat 1 UU No 5/2014 tentang ASN, Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Substansi rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman, lanjut Aan, adalah berkaitan dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana ditentukan UU KPK.
”Dengan demikian, ini adalah ranah cabang kekuasaan eksekutif (branch of executive power). Wewenang penuh ada di Presiden, bahkan UU ASN menyebut kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN,” ujar Aan.
Seharusnya, menurut Aan, Presiden langsung menjalankan kewenangan untuk menyelesaikan masalah alih status pegawai KPK ini, bukan malah melempar ke cabang kekuasaan lainnya, yakni yudisial.
”Perkara nanti tindakan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menyelesaikan masalah alih status pegawai KPK menjadi ASN ada yang tidak puas, barulah masuk ke ranah cabang kekuasaan yudisial,” ucap Aan.
Jika Presiden tak kunjung menjalankan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman, kata Aan, artinya Presiden abai. Presiden bisa dianggap tidak menjalankan sumpahnya sebagaimana ditentukan Pasal 9 Ayat 1 UUD 1945, yakni menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.