Ombudsman Temukan Malaadministrasi Berlapis dalam Tes Wawasan Kebangsaan KPK
Ombudsman menemukan maladministrasi berlapis dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan KPK. Ombudsman juga berpendapat, telah terjadi pengabaian secara bersama-sama oleh lima pimpinan lembaga terhadap pernyataan Presiden.
JAKARTA, KOMPAS - Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan yang dijadikan salah satu syarat pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara. Atas dasar itu, ORI menegaskan, hasil tes tidak bisa dijadikan dasar memberhentikan pegawai yang tidak memenuhi syarat.
Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Mokhammad Najih dalam jumpa pers virtual, Rabu (21/7/2021), mengatakan, hasil pemeriksaan secara keseluruhan difokuskan pada tiga isu utama, yakni tahapan pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN, pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK), dan penetapan hasil TWK.
“Tiga hal inilah yang oleh Ombudsman ditemukan potensi-potensi malaadministrasi dan secara umum, dari hasil pemeriksaan kami, malaadminstrasi itu memang kami temukan,” ujar Najih.
Adapun, anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng, juga ikut hadir dalam jumpa pers.
Baca juga: Diduga Lakukan Malaadministrasi, Pimpinan KPK Diadukan ke Ombudsman
Sebelumnya, pada 19 Mei 2021, kelima pemimpin KPK dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dilaporkan atas dugaan mala-administrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan. Laporan tersebut diajukan 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat (TMS) dalam tes tersebut.
Najih menyampaikan, laporan hasil pemeriksaan (LHP) Ombudsman telah disampaikan kepada Ketua KPK, Kepala BKN, dan Presiden. Hal ini bertujuan agar penemuan malaadministrasi dapat segera ditindaklanjuti.
“Temuan-temuan dan pendapat Ombudsman dl LHP mengikat secara hukum karena produk yang dihasilkan Ombudsman adalah produk hukum. Karena itu harus dipatuhi oleh para penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini terlapor,” ucap Najih.
Baca juga: TWK Diakui Baru Muncul di Pengujung Pembahasan Rancangan Peraturan KPK
Ia mengungkapkan, terlapor memiliki waktu 30 hari untuk melakukan tindakan korektif. Apabila tindakan korektif itu tak kunjung dilaksanakan, maka Ombudsman akan segera mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi ini merupakan produk hukum akhir yang wajib dilaksankaan terlapor.
“Apabila tidak mematuhi rekomendasi, sama dengan tidak patuh hukum. Jika seorang pejabat tak patuh hukum, maka melanggar sumpah jabatan. Itu implikasi hukumnya jelas ada,” tutur Najih.
Temuan malaadministrasi
Robert Na Endi Jaweng mengatakan, dalam pemeriksaan ini, batu uji Ombudsman meliputi, ada tidaknya perilaku atau perbuatan yang melawan hukum dan bertentangan dengan etika. Berkaitan dengan etika, ada dua hal, yakni asas kepatutan dan prinsip tata pemerintahan yang baik.
“Jadi, meskipun pegawai KPK (pelapor) menyampaikan batu uji hanya penyimpangan prosedur, tetapi ternyata dari hasil pemeriksaan, tak hanya penyimpangan prosedur tetapi berlapis-lapis malaadministrasi,” kata Jaweng.
Robert menjelaskan, sebagaimana disampaikan Najih, ada tiga tahap yang didalami, yakni tahapan pembentukan dasar hukum, pelaksanaan TWK, dan penetapan hasil TWK. Sejumlah pihak telah dipanggil, di antaranya, KPK, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), BKN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dalam tahapan pembentukan dasar hukum, ORI melihat dalam pelaksanaan rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, rapat harmonisasi dihadiri langsung oleh pimpinan lembaga, seperti Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham, serta Menpan dan RB. Padahal, seharusnya rapat itu dihadiri para perancang aturan atau pejabat pimpinan tinggi dan pejabat administrator.
“Tetapi, kasus ini jadi unik, untuk pertama kalinya dalam sejarah, itu rapat harmonisasi dihadiri oleh pimpinan puncak. Sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan tidak sesuai dengan kelaziman,” ujar Robert.
Kemudian, di rapat harmonisasi terakhir itu muncul norma TWK. Padahal, di dalam lima kali rapat harmonisasi sebelumnya, sama sekali belum ada norma terkait TWK tersebut. “Buat kami, itu pelanggaran,” kata Robert.
Dalam rapat harmonisasi terakhir itu, pihak-pihak yang menandatangani berita acara hasil harmonisasi juga bukan para pimpinan lembaga yang hadir di rapat itu, tetapi justru mereka yang tidak hadir. Mereka yang tidak hadir itu misalnya Kepala Biro Hukum KPK, serta Direktur Pengundangan Penerjemahan dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan (PP) Ditjen PP Kemenkumham.
Menurut Robert, ini telah terjadi dua pelanggaran sekaligus. Pertama, penyimpangan prosedur di mana yang mesti tidak hadir justru hadir. Kedua, penyalahgunaan wewenang di mana mereka yang tidak hadir malah menandatangani berita acara.
Temuan ORI yang lain terkait pembentukan dasar hukum adalah tidak adanya sosialisasi kepada pegawai KPK. Alhasil, para pegawai KPK tidak bisa menyampaikan masukan dan sanggahan terhadap isi peraturan KPK yang disisipkan norma TWK.
Dalam pelaksanaan TWK, penyimpangan juga terjadi. Dari temuan ORI, diperoleh nota kesepahaman pengadaan barang dan jasa melalui swakelola antara Sekretaris Jenderal KPK dan Kepala BKN yang ditandatangani pada 8 April 2021, tetapi dibuat dengan tanggal mundur (backdate) menjadi tanggal 27 Januari 2021.
Ombudsman berpendapat, KPK dan BKN telah melakukan penyimpangan prosedur. Pertama, membuat kontrak swakelola dengan tanggal mundur. Kedua, KPK dan BKN telah melaksanakan asesmen TWK yang dilakukan 9 Maret, sebelum adanya penandatanganan nota kesepahaman dan kontrak swakelola.
“Bisa saja muncul alasan, kan, nota kesepahaman itu akhirnya tidak dilaksanakan terkait pembiayaan karena pembiayaan akhirnya tidak oleh KPK tetapi oleh BKN. Tetapi, jangan lupa isi dari dokumen ini tak hanya soal biaya asesmen tetapi mekanisme kerangka kerja. Ini penyimpangan prosedur yang buat kami cukup serius dalam tata kelola administrasi suatu lembaga dan mungkin juga masalah hukum,” tutur Robert.
Temuan lain dalam tahap pelaksanaan asesmen. Ombudsman mendapati bahwa BKN tidak berkompeten dalam pelaksanaan tes karena tidak mempunyai alat ukur, instrumen, metode tes, dan asesor terkait dengan TWK. Alhasil, BKN malah melibatkan lembaga lain dalam pelaksanaan tes yang diketahui tes tersebut biasa digunakan dalam kontra intelijen.
“Sama sekali BKN tidak punya. Yang dia punya itu, TWK terkait dengan seleksi calon pegawai negeri sipil,” ujar Robert.
Temuan akhir, berkaitan penetapan hasil, Ombudsman menemukan ada beberapa malaadministrasi. Pertama, tindakan tidak patut. Kedua, pengabaian KPK terhadap pernyataan Presiden pada 17 Mei yang meminta agar hasil tes tidak dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK. Padahal, KPK merupakan bagian dari rumpun eksekutif.
Berita acara penetapan hasil juga ditandatangani lima pimpinan lembaga lain. Ombudsman berpendapat, telah terjadi pengabaian secara bersama-sama oleh lima pimpinan lembaga terhadap pernyataan Presiden.
Kemudian, atas terbitnya Surat Keputusan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Hasil Asesmen TWK, Ombudsman menilai, KPK telah melakukan tindakan malaadministrasi berupa tindakan tidak patut dalam menerbitkan SK tersebut. Sebab, hal itu telah bertentangan dengan keputusan MK dan bentuk pengabaian KPK terhadap pernyataan Presiden.
Tindakan korektif
Atas segala malaadministrasi yang ditemukan itu, Ombudsman meminta kepada Ketua KPK dan Kepala BKN untuk melakukan empat tindakan korektif. Pertama, KPK wajib memberikan penjelasan kepada pegawai KPK perihal konsekuensi pelaksanaan TWK. Kedua, hasil TWK hendaknya menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai TMS.
Ketiga, terhadap pegawai KPK yang dinyatakan TMS, diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan. Keempat, Ombudsman meminta KPK agar terhadap 75 pegawai KPK yang TMS tersebut dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021.
Kemudian, untuk Kepala BKN, Ombudsman meminta ke depan BKN wajib menyusun peta jalan (roadmap) terkait proses peralihan, sehingga kejadian ini tidak berulang. “Kami tidak ingin ini terjadi lagi di lembaga-lembaga lain,” kata Robert.
Adapun, empat saran perbaikan yang disampaikan Ombudsman kepada Presiden meliputi, pertama, Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen ASN, perlu mengambil alih kewenangan yang didelegasikan kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) KPK terkait pengalihan status 75 pegawai KPK menjadi ASN.
Baca juga: Respons Presiden Dinanti
Kedua, Presiden perlu melakukan pembinaan tehadap Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menkumham, serta Menpan dan RB untuk perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian yang berorientasi pada asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik.
Ketiga, monitoring kepada Kepala BKN untuk menyusun peta jalan manajemen kepegawaian khususnya peralihan status sehinga tak terulang kejadian ini. Keempat, Presiden perlu memastikan pelaksanaan TWK dalam proses manajemen ASN dilasanakan sesuai standar yang berlaku.
“Sangat penting untuk KPK dan BKN taat hukum. Jika tindakan korektif tak juga dilaksanakan, Presiden perlu kemudian take over (ambil alih). Kami berharap agar temuan hasil Ombudsman menjadi dasar bagi Presiden untuk ambil kebijakan,” ucap Robert.
Berkekuatan hukum
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan, berpendapat, tindakan korektif yang disampaikan ORI harus segera dilaksanakan terlapor. Jika terlapor tak menjalankannya atau hanya menjalankan sebagian tanpa ada alasan yang patut, maka sesuai Pasal 39 UU Ombudsman, ORI bisa memberikan sanksi administratif kepada terlapor dan atasan terlapor.
“Kalau melihat konstruksi UU Ombudsman, sebenarnya mereka punya peran yang cukup kuat sebagai lembaga yang mengawasi jalannya administrasi pemerintah,” kata Yuris.
Sayangnya, UU Ombudsman dan UU Administrasi Pemerintahan, belum secara tegas mengatur tindak lanjut dari rekomendasi ORI. Alhasil, rekomendasi ORI sering berhenti tanpa ada yang dijalankan.
“Publik justru bisa melihat apabila ada lembaga negara yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman tanpa ada alasan yang patut, komitmen terhadap pelayanan publik dan tugas menjalankan fungsi pemerintahannya perlu dipertanyakan,” tutur Yuris.
Yuris juga menegaskan, dalam konteks manajemen ASN, Presiden sebagai atasan terlapor tentu juga memiliki kewajiban untuk turun tangan dan memastikan bahwa rekomendasi ORI nanti dijalankan oleh terlapor.