Sebanyak 51 dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak lolos tes wawasan kebangsaan diputuskan untuk diberhentikan. Keputusan itu dianggap pengabaian dan pembangkangan terhadap Presiden Joko Widodo.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat menanti respons Presiden Joko Widodo setelah arahannya terkait proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara, yang merupakan amanat Undang-Undang KPK, dianggap diabaikan. Tak hanya meminta penjelasan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam tes wawasan kebangsaan, Presiden selaku pembina ASN juga dapat mengintervensi proses alih status pegawai KPK.
Permintaan penjelasan mesti dilakukan karena KPK, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Selasa (25/5/2021), telah memutuskan untuk memberhentikan 51 dari 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan. Padahal, sebelumnya, Presiden sudah mengingatkan bahwa hasil tes wawasan kebangsaan tidak serta-merta bisa dijadikan dasar memberhentikan pegawai KPK.
Keputusan memberhentikan pegawai KPK itu pun dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam pertimbangannya menyatakan alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai yang telah bekerja di lembaga tersebut. ”Saya berharap Presiden memanggil dan mengevaluasi KPK, BKN, Kemenpan dan RB, serta Kemenkumham. Mereka ini bawahannya, tetapi tidak mengindahkan arahan, komando dari Presiden,” kata Robert Na Endi Jaweng, anggota Ombudsman RI, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (26/5/2021).
Sebanyak 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan diberhentikan sebagai pegawai karena dinilai tidak bisa dibina lagi. Keputusan itu diambil dalam rapat koordinasi yang dihadiri pimpinan KPK, Menpan dan RB Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna H Laoly, Kepala Lembaga Administrasi Negara Adi Suryanto, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan tim asesor dari BKN, Selasa lalu.
Dalam rapat yang dipimpin Tjahjo itu juga diputuskan 24 pegawai KPK terancam diberhentikan jika dinilai gagal mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan. ”Yang 51, karena sudah tidak bisa dilakukan pembinaan berdasarkan penilaian asesor, tentu tidak bisa bergabung lagi dengan KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers seusai rapat koordinasi di kantor BKN, Jakarta, Selasa.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Rumadi Ahmad menilai, keputusan tersebut merupakan bentuk pembangkangan lembaga negara kepada Presiden. Karena itu, sudah seharusnya Presiden meminta penjelasan komprehensif kepada KPK, BKN, serta Kemenpan dan RB.
Pembina ASN
Presiden punya kewenangan memanggil dan mengklarifikasi kepala BKN dan semua pimpinan KPK untuk menjelaskan proses alih status pegawai KPK karena merupakan pembina tertinggi ASN. ”Ketika terjadi kekisruhan pemberhentian 51 pegawai KPK, Presiden berwenang mengintervensi. Sebab, PP Nomor 17 Tahun 2020 menyebutkan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN,” ujar Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur.
UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang ASN dan PP No 17/2020 tentang Manajemen PNS memang mengatur kewenangan Presiden untuk menetapkan, mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS. Dalam UU ASN disebutkan bahwa ASN terdiri dari PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Dalam proses alih status, pegawai KPK yang berusia di bawah 35 tahun diangkat menjadi PNS, sementara mereka yang berusia di atas 35 tahun ditetapkan menjadi PPPK.
Menurut Isnur, sesuai PP No 17/2020, Ketua KPK Firli Bahuri bukanlah penerima delegasi manajemen ASN. Di KPK, yang berwenang untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai adalah Sekretaris Jenderal KPK selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK). Di lembaga negara lain, seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial, PPK juga berada di tangan sekjen. Ketua lembaga negara, termasuk ketua KPK, tak punya kewenangan sebagai PPK sehingga tidak bisa mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai.
Selain itu, sebagai pembina tertinggi ASN, Presiden dapat menarik kembali pendelegasian kepada PPK apabila ada pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan oleh PPK. Presiden juga dapat menarik pendelegasian itu untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
”Keputusan ketua dan komisioner KPK untuk memberhentikan 51 pegawai KPK tidak ada landasan kewenangannya. Presiden berhak menarik kembali kewenangan sekjen KPK selaku PPK. Presiden dapat memutuskan sendiri, misalnya, 51 pegawai KPK tidak jadi diberhentikan,” kata Isnur.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, juga menegaskan, semua pimpinan kementerian dan lembaga wajib memastikan kebijakan dan keputusan mereka sesuai dengan arahan Presiden selaku pembina tertinggi ASN. Selain itu, menurut UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, upaya deradikalisasi dan kontraradikalisasi harus dilakukan terhadap siapa pun yang berpaham atau punya potensi terpapar paham radikal intoleran.
”Artinya, ASN sekalipun yang terpapar paham radikal harus dilakukan upaya deradikalisasi dulu, bukan langsung diberhentikan. Persis seperti yang disampaikan Presiden Jokowi, dibina atau disekolahkan atau apa pun istilahnya,” kata Arsul.
Upaya hukum
Secara terpisah, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, jika ada aturan yang dilanggar oleh pimpinan KPK, para pegawai yang diberhentikan karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan dapat membela diri sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Apalagi, pelaksanaan tes wawasan kebangsaan dinilai sangat kontroversial karena dianggap diskriminatif dan melanggar prinsip HAM.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono mengatakan, pihaknya akan melakukan upaya hukum lebih lanjut untuk menyikapi polemik ini, termasuk menggugat surat keputusan penonaktifan terhadap 75 pegawai KPK yang tak lolos tes. Sebab, ia menilai, sejak awal pelaksanaan tes wawasan kebangsaan ini cacat hukum. Seiring berjalan waktu, proses pelaksanaan tes juga dianggap jauh dari wawasan kebangsaan. ”Segala upaya hukum akan kami lakukan. Hak kami dilindungi konstitusi,” ujar Giri.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, alih status pegawai KPK menjadi ASN merupakan bagian komitmen pemerintah agar KPK bisa bekerja maksimal sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Tes wawasan kebangsaan yang diselenggarakan KPK haruslah dilihat sebagai bentuk penguatan wawasan kebangsaan setiap pegawai pemerintahan. ”Perlu sikap bijak dari semua pihak, ini semua sudah final. KPK harus diperkuat oleh kita semua,” katanya. (PDS/BOW/REK/DEA/WKM/ANA)