Diduga Lakukan Malaadministrasi, Pimpinan KPK Diadukan ke Ombudsman
Lima pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi diadukan ke Ombudsman RI karena diduga melakukan malaadministrasi dalam tes wawasan kebangsaan. ORI berjanji akan menangani pengaduan itu secara obyektif dan independen.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah dilaporkan ke Dewan Pengawas, lima unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diadukan kepada Ombudsman Republik Indonesia. Kelima pemimpin lembaga antirasuah itu dilaporkan atas dugaan malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan yang dijadikan salah satu syarat pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
Laporan dugaan malaadministrasi diajukan 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan. Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko, seusai menyerahkan laporan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI), di Kantor ORI, Jakarta, Rabu (19/5/2021), mengatakan, setidaknya ada enam dugaan malaadministrasi yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Mulai dari proses pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK), materi wawancara, hingga penerbitan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021.
Alasan para pegawai melapor ke ORI karena lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk memanggil terlapor secara paksa dan memberikan rekomendasi dalam penyelesaian kasus. Sujanarko berharap, ORI dapat memproses laporan dengan secepat-cepatnya sehingga polemik alih status kepegawaian KPK tak berkepanjangan.
”Sebetulnya, kalau semua pihak punya niat baik, proses ini bisa diselesaikan tidak sampai pada rekomendasi. Jadi, kira-kira proses ini sebetulnya bisa diselesaikan hari ini atau besok atau minggu depan, supaya republik ini tidak selalu gaduh,” ujar Sujanarko.
Dalam penyerahan laporan tersebut, Sujanarko ditemani oleh Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan serta Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang. Kehadiran mereka diterima oleh Ketua ORI M Najih dan anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, 75 pegawai KPK dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) dalam TWK sebagai syarat menjadi ASN. Terhadap mereka, KPK meminta agar tugas dan tanggung jawabnya diserahkan kepada atasan sampai ada keputusan lebih lanjut.
Bertentangan dengan hukum
Berdasarkan laporan yang disampaikan kepada ORI, keenam dugaan malaadministrasi yang dilakukan oleh pimpinan KPK meliputi, pertama, Pasal 20 Ayat 1 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tidak merinci metode pengujian TWK sehingga dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, hak asasi manusia, dan kepastian hukum.
Kedua, pimpinan KPK membuat sendiri kewenangan untuk menyelenggarakan TWK yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU No 19/2019 tentang KPK, dan Peraturan Pemerintah No 41/2020 tentang Alih Status Pegawai KPK.
Ketiga, pimpinan KPK melibatkan lembaga lain dalam melaksanakan TWK untuk tujuan selain alih status pegawai KPK. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 1 PP No 41/2020 serta Pasal 18 dan Pasal 19 Peraturan KPK No 1/2021.
Keempat, pimpinan KPK menggunakan metode pengujian melalui TWK sebagai dasar pengangkatan pegawai KPK. Padahal, tidak ada ketentuan dalam Peraturan KPK No 1/2021 yang menyatakan itu.
Kelima, pegawai KPK membuat dan menandatangani dokumen pelaksanaan pekerjaan setelah pekerjaan selesai. Keenam, pimpinan KPK menambahkan sendiri konsekuensi dari TWK sehingga melampaui kewenangannya. Ini dinilai bertentangan dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVUU/2019.
Merugikan publik
Dalam pertemuan dengan komisioner ORI, Sujanarko menyampaikan, meski dinonaktifkan dan tidak boleh bekerja, 75 pegawai KPK tetap menerima gaji. Hal itu berarti keputusan pimpinan KPK telah merugikan keuangan negara. Dengan demikian, semakin lama penonaktifan pegawai berjalan, semakin besar pula kerugian yang dialami negara.
Penonaktifan pegawai ini juga merugikan publik karena berdampak pada mandeknya kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Selain itu, pekerjaan yang menjadi tugas bagian kerja sama internasional, biro SDM, dan biro hukum, juga mandek.
”Ini, kan, publik dirugikan. Jadi, kira-kira, semakin cepat penyelesaian (kasus) ini, maka akan semakin baik,” ucap Sujanarko.
Apalagi, lanjut Sujanarko, Presiden Joko Widodo juga telah memberikan pernyataan dengan sangat lugas, jelas, dan tidak multitafsir. ”Kepala negara, kan, sudah memberikan statement, sudah memutuskan, mau apa lagi yang digoreng-goreng? Mau apalagi yang dimasak-masak? Apakah mau melawan Presiden?” katanya.
M Najih menuturkan, pihaknya akan mendalami laporan yang masuk sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimiliki ORI. ORI tentu akan mengambil langkah-langkah yang dapat menyelesaikan kasus ini secara baik.
”Kami harapkan masalah ini bisa diselesaikan dengan tidak gaduh, dengan baik, sehingga semua pihak mendapatkan solusi yang terbaik dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi,” ujar Najih.
Najih mengaku belum mengetahui siapa saja yang akan dipanggil terkait laporan pegawai KPK. Sebab, ORI harus mengkaji dulu substansi laporannya. Namun, ia memastikan, siapa pun yang dilaporkan tentu akan diperiksa. ”Siapa pun yang dilaporkan itu kami punya kewenangan untuk memeriksa,” tuturnya.
Robert Na Endi Jaweng berjanji, ORI akan bekerja tegak lurus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam memeriksa laporan pegawai KPK. Dengan begitu, ia berharap kasus ini dapat segera selesai dan tentu semua pihak mendapatkan hasil yang adil serta obyektif.
”Kami akan bekerja secara obyektif, independen, dan harapannya kemudian hasilnya adalah ada kontrihusi dari Ombudsman untuk kemudian masalah ini bisa selesai,” kata Robert.
Robert menegaskan, ORI tidak dapat didesak-desak agar kasus diselesaikan secara cepat. Setiap kasus memiliki klasifikasi dan batas waktu penyelesaiannya, mulai dari 60 hari hingga 120 hari.
”Tetapi, karena (kasus) ini memang sudah menjadi atensi publik, maka kami pasti akan bekerja cepat,” kata Robert.
Ia menjelaskan, setidaknya ada dua batu uji dalam pemeriksaan laporan ini, yakni pelanggaran terhadap etika dan pelanggaran regulasi. Pelanggaran etika, misalnya, berkaitan dengan prinsip tata kelola organisasi dan karakter kepemimpinan.
”Jadi, nanti akan dilihat, apakah ada (kebijakan) melampaui kewenangan, konflik kepentingan. Itu soal etika dan kepatutan. Ini yang sebenarnya harus dijunjung,” ucap Robert.
Di sisi lain, Robert berpandangan, penonaktifan 75 pegawai ini tidak boleh berlarut-larut. ”Jadi, harus secepatnya memang ada kejelasan status mereka," ujar Robert.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menegaskan, sebelum pengambilan keputusan, pimpinan KPK selalu membahas dan berdiskusi tidak saja dengan semua pemimpin, bahkan dengan jajaran pejabat struktural KPK. Hal ini dilakukan sebagai perwujudan kepemimpinan kolektif kolegial.
”Semua keputusan yang diambil adalah keputusan bersama, bukan keputusan individu salah seorang unsur pimpinan KPK,” kata Alex.
Karena itu, lanjut Alex, semua produk kebijakan yang dikeluarkan oleh kelembagaan KPK, seperti peraturan komisi, peraturan pimpinan, surat keputusan, surat edaran, dan semua surat yang ditandatangani oleh Ketua KPK, ia pastikan sudah dibahas dan disetujui oleh empat unsur pimpinan lain.
”Semua keputusan kelembagaan diambil melalui proses pembahasan bersama secara kolektif kolegial oleh semua unsur pimpinan KPK,” ucapnya.