Diskusi Publik RKUHP Diagendakan DPR untuk Serap Masukan
Untuk membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), DPR akan mengadakan sejumlah diskusi publik di mana DPR akan lebih banyak mendengar kecuali ditanya atau perlu klarifikasi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mengagendakan untuk menyerap aspirasi publik terkait Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP, termasuk dengan menggelar diskusi publik. Beberapa isu krusial akan terbuka untuk masukan publik, sembari Panitia Kerja RKUHP membahas rancangan legislasi tersebut.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan, DPR ingin membahas RKUHP dengan menyerap masukan publik. Bahkan, menurut rencana, DPR akan mengadakan juga sejumlah diskusi publik di mana DPR akan lebih banyak mendengar kecuali ditanya atau perlu klarifikasi.
Upaya penyerapan aspirasi itu akan berjalan beriringan dengan pembahasan RKUHP yang dilakukan oleh Panja RKUHP. ”Saya kira formalnya nanti ada Panja RKUHP lagi, tetapi Komisi III bisa jadi akan menugaskan sejumlah anggota lintas fraksi untuk masing-masing menyerap aspirasi publik dengan cara dan forum masing-masing,” ujarnya, Kamis (24/6/2021), di Jakarta.
DPR ingin membahas RKUHP dengan menyerap masukan publik. Bahkan, menurut rencana, DPR akan mengadakan juga sejumlah diskusi publik di mana DPR akan lebih banyak mendengar.
Sebelumnya, saat berkunjung ke Redaksi Kompas, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej mengatakan, secara informal, pemerintah telah berbicara dengan DPR untuk membahas kembali RKUHP itu dengan mendengarkan aspirasi publik. Namun, pembahasan itu hanya dibatasi pada isu-isu krusial saja. Dari sisi pemerintah, setidaknya ada 14 isu krusial yang dikategorikan berdasarkan respons publik.
Eddy mengatakan, dengan target pengesahan RKUHP pada tahun ini, maka masih ada sekitar lima bulan waktu efektif untuk pembahasan dan sosialisasi serta audiensi dengan publik. ”Pada Agustus-September, dua bulan, saya pikir cukup untuk mendengarkan aspirasi dan masukan dari publik,” ucapnya.
Dari 14 isu krusial itu, pemerintah sebenarnya telah membuat sejumlah perubahan. Sepanjang 2020, beberapa pasal dikeluarkan, diubah formulasinya, dan dipertahankan dengan sejumlah alasan. Namun, hingga saat ini draf baru itu belum akan dirilis kepada publik. Draf terbaru RKUHP akan dirilis kepada publik ketika telah disetujui DPR.
Dari sejumlah pasal kontroversial yang dipertahankan oleh pemerintah ialah pasal mengenai penghinaan presiden. Pasal itu dipandang telah berubah jika dibandingkan dengan pasal yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jika pasal sebelumnya yang dicabut di MK merupakan delik umum, kini telah diubah menjadi delik aduan.
Dari sejumlah pasal kontroversial yang dipertahankan oleh pemerintah ialah pasal mengenai penghinaan presiden. Pasal itu dipandang telah berubah jika dibandingkan dengan pasal yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal lainnya yang dipertahankan, tetapi dengan sedikit penyesuaian ialah pasal tentang kohabitasi. Jika dalam draf sebelumnya ada ketentuan yang mengatur agar kepala desa (kades) dapat pula mengajukan aduan, kini ketentuan soal kades itu dihapuskan dan dibatasi hanya pada istri/suami serta orangtua atau anak.
Salah satu pasal yang diusulkan untuk dihapus ialah ketentuan mengenai dokter gigi tanpa izin praktik. Pemerintah menilai pasal ini telah diatur di dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sehingga berpotensi menimbulkan duplikasi jika diatur kembali.
Sementara pasal-pasal lain yang sempat menjadi perbincangan hangat, termasuk ketentuan mengenai living law atau hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, juga tetap dipertahankan. Eddy membantah akan muncul perda-perda syariah akibat masuknya living law ke dalam RKUHP. ”Itu nanti akan ada kompilasi hukum adat nasional yang dijadikan rujukan,” ucapnya.
Terkait dengan masukan publik, Arsul mengatakan, semua itu akan ditampung untuk memperkaya perspektif pembahasan. Tujuannya ialah menemukan jalan tengah dari berbagai perbedaan pendapat yang ada. ”Tugas pembentuk UU ialah untuk mendengarkan dan mencari jalan tengah. Tetapi, yang namanya jalan tengah itu sering tidak memuaskan mereka yang sudut pandangnya berbeda itu,” katanya.
Arsul mengatakan, titik poin yang perlu diketahui elemen masyarakat sipil ialah bahwa aspirasi yang disampaikan dalam pembahasan setiap UU itu sering tidak tunggal. ”Karena itu, meskipun di ruang publik elemen masyarakat sipil menyampaikan sudut pandang mereka, sebagai middle call mereka juga semestinya siap dengan rumusan atau formulasi pasal ’jalan tengah’ seperti halnya dengan ketentuan mengenai pidana mati,” katanya.
Pidana mati yang dimaksud Arsul tetap diatur di dalam RKUHP, tetapi kini bersifat alternatif karena dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun dengan pertimbangan tertentu.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti mengatakan, kalaupun memang dibuka partisipasi publik dalam memberikan masukan kepada DPR dan pemerintah, sebaiknya tidak dibatasi hanya pada 14 isu krusial karena tidak semua isu krusial yang ditetapkan oleh pemerintah itu menjadi perhatian masyarakat.
Beberapa isu lain yang mencuat, seperti masuknya living law ke dalam RKUHP perlu juga diberi tempat oleh pembentuk UU untuk diserap. ”Hukum adat kita ini, kan, sangat bervariasi karena kita terdiri dari berbagai suku, adat, dan agama. Kita tidak bisa memaksakan kacamata hukum pidana yang positivistik pada hukum adat yang beragam itu dan umumnya juga tidak tertulis,” ujarnya.