Pada era Majapahit dan Hindia Belanda, persoalan penghinaan terhadap pejabat diatur lengkap beserta hukuman bagi pelanggar. Kini, tiga perempat abad usia kemerdekaan, persoalan penghinaan ini tetap jadi polemik.
Oleh
Dedy Afrianto
·6 menit baca
Munculnya polemik tentang pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam RKUHP membuka memori tentang aturan serupa yang pernah diterapkan di Nusantara pada masa lampau. Pada era Kerajaan Majapahit dan Hindia Belanda, persoalan ini diatur sedemikian rupa lengkap beserta ganjaran hukuman bagi yang melanggarnya.
Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hingga kini masih menuai polemik terkait sejumlah pasal. Aturan terkait penghinaan pada presiden, wakil presiden, pemerintah, kekuasaan umum, hingga lembaga negara, adalah salah satu persoalan yang dikhawatirkan oleh sejumlah pihak dapat menjadi pasal karet, sehingga rentan disalahgunakan.
Polemik ini bukanlah kali pertama terjadi di Indonesia. Pada tahun 2016, Kompas mencatat pasal aturan tentang penghinaan pejabat negara dikhawatirkan oleh sejumlah pihak dapat mempersempit ruang gerak publik untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah.
Persoalan ini juga sempat menjadi sorotan publik pada tahun 2018 hingga akhirnya pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasannya hingga Pemilu 2019 dilaksanakan.
Jika menilik lebih jauh dari catatan perjalanan sejarah bangsa, peraturan tentang penghinaan ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, Indonesia sudah mengenal aturan serupa, bahkan sejak era Kerajaan Majapahit yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14 Masehi.
Hal ini terekam dalam kitab perundang-undangan Majapahit yang dikenal dengan kutara manawa. Kitab ini berisi beragam peraturan yang menyangkut kehidupan sosial masyarakat kecil maupun pejabat kerajaan.
Saking pentingnya persoalan tentang penghinaan, aturan terkait hal ini dibuat secara khusus pada bagian parusya atau penghinaan. Bagian ini terdiri dari enam pasal yang mengatur tentang tindakan penghinaan atau makian.
Dalam aturan ini, persoalan penghinaan tidak hanya memposisikan tokoh atau pejabat sebagai korban. Hukuman juga berlaku bagi tokoh yang melakukan penghinaan kepada masyarakat kecil. Artinya, aturan didesain agar tak ada tindakan saling menghina antara masyarakat dan para tokoh di zaman itu.
Aturan tentang penghinaan ini salah satunya terdapat pada pasal 220 di bagian parusya. Hukuman denda akan diberikan kepada kesatria yang memaki-maki brahmana. Kesatria adalah golongan dari kasta kedua yang bertugas pada bidang pemerintahan, termasuk prajurit. Sementara brahmana adalah tokoh agama dari kasta pertama yang dihormati.
Walakin, aturan ini tidak hanya berlaku bagi golongan kesatria. Kaum brahamana juga dilarang untuk memaki-maki kesatria meskipun secara kasta memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Jika melanggar, kaum brahmana juga akan dikenakan hukuman berupa denda (Muljana, 1967).
Masyarakat kecil
Peraturan tentang penghinaan di era Kerajaan Majapahit juga turut menaruh perhatian pada masyarakat kecil, khususnya petani. Kelompok ini termasuk golongan waisya, kasta yang berada di bawah kaum brahmana, dan kesatria.
Bagi masyarakat yang bekerja sebagai petani, akan dikenai hukuman berupa denda jika terbukti memaki kaum kesatria seperti prajurit atau bangsawan. Hukuman serupa juga berlaku jika kaum kesatria melakukan penghinaan atau memaki para petani. Hanya saja, denda yang dibayarkan lebih kecil dibandingkan besaran kewajiban denda bagi petani.
Kaum brahmana, meskipun menempati kasta tertinggi, juga tak luput dari hukuman jika melakukan penghinaan bagi golongan sudra atau hamba sahaya. Meskipun terpaut tiga kasta yang lebih tinggi, kaum brahmana juga diatur agar tidak melakukan penghinaan kepada masyarakat kecil.
Walakin, hukuman yang diberikan berbeda. Bagi golongan sudra, hukuman mati menanti jika memaki kaum brahmana. Sementara bagi kaum brahmana, dikenakan hukuman denda jika memaki golongan sudra.
Terlepas dari adanya perbedaan denda yang diberikan, yang jelas, saat itu telah terdapat kesadaran tentang persamaan kedudukan di hadapan hukum. Kaum brahmana, kesatria, waisya, dan sudra, tetap memperoleh hukuman jika melakukan penghinaan meskipun berbeda kasta.
Hindia Belanda
Persoalan penghinaan juga memperoleh perhatian khusus oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sama halnya dengan aturan di era Kerajaan Majapahit, persoalan ini juga diatur dalam bab khusus yang menyoroti tentang penghinaan, khususnya yang berkaitan dengan martabat raja dan gubernur jenderal.
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Hindia Belanda atau Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka pada tahun 1940, terdapat beberapa pasal yang secara khusus mengatur tentang penghinaan kepada raja, ratu, dan gubernur jenderal.
Hanya saja, aturan ini berlaku satu arah yang memposisikan pejabat sebagai korban. Artinya, peraturan ini berbeda dengan konsep hukuman di era Majapahit yang juga mengatur persoalan penghinaan jika dilakukan oleh para tokoh kepada masyarakat kecil.
Peraturan tentang penghinaan salah satunya tercantum dalam pasal 134 pada bagian kejahatan tentang martabat raja dan gubernur jenderal. Dalam pasal ini, perbuatan menghina raja dan ratu Belanda dengan sengaja, diganjar hukuman pidana maksimal enam tahun penjara.
Selain raja dan ratu Belanda, juga terdapat larangan untuk menghina gubernur jenderal dan wakil gubernur jenderal. Gubernur jenderal adalah pemimpin di Hindia Belanda. Bagi siapapun yang melakukan penghinaan, maka akan dikenai hukuman pidana lima tahun penjara. Hukuman ini satu tahun lebih ringan dibandingkan kasus penghinaan terhadap raja dan ratu Belanda.
Selain penghinaan dalam bentuk ucapan atau perbuatan di depan banyak orang, penghinaan dalam bentuk gambar dan tulisan juga turut diatur oleh pemerintah kolonial. Larangan ini tercantum pada pasal 137 dan 138 dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Secara tegas, pemerintah kolonial melarang untuk menempelkan maupun mempertunjukkan tulisan atau gambar yang menghina raja, ratu, orang yang akan menggantikan raja, keluarga raja, gubernur jenderal, dan wakil gubernur jenderal. Bagi yang melanggar, maka terancam hukuman penjara maksimal selama satu tahun empat bulan.
Dengan kebijakan ini, pemerintah kolonial sebisa mungkin mengatur agar tak ada celah bagi masyarakat untuk melakukan penghinaan dalam bentuk apapun. Aturan ini juga terkait dengan upaya untuk menjaga kekuasaan pemerintah kolonial di tanah jajahan.
Dihapus Soekarno
Setelah Indonesia merdeka, beberapa pasal dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie coba untuk disesuaikan sebelum digunakan sebagai acuan peraturan hukum pidana. Penyesuaian ini dilakukan melalui penerbitan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dalam beleid yang ditetapkan pada 26 Februari 1946 ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno menghapus sejumlah pasal terkait penghinaan.
Pasal 135 dan 136 yang mengatur tentang penghinaan pada raja, ratu, orang yang akan menggantikan raja, keluarga raja, gubernur jenderal, dan wakil gubernur jenderal, dihapus. Demikian pula dengan pasal 138 tentang penghinaan dalam bentuk tulisan dan gambar pada gubernur jenderal dan wakil gubernur jenderal.
Walakin, saat itu pemerintah masih mempertahankan pasal 137 dengan perubahan diksi. Sebelumnya, pada era Hindia Belanda pasal ini mengatur tentang penghinaan pada raja, ratu, orang yang akan menggantikan raja, dan keluarga raja dalam bentuk tulisan maupun gambar. Pada tahun 1946, pasal ini diubah dan dikhususkan untuk mengatur penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.
Jika melihat dari perjalanan sejarah bangsa, tampak dengan jelas bahwa peraturan tentang penghinaan bagi pejabat telah lahir saat Indonesia berada pada masa autokrasi dan berubah dengan konsep yang berbeda saat berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial.
Kini, tiga perempat abad usia kemerdekaan, persoalan tersebut masih menjadi polemik. Tentu menarik untuk dinantikan apakah aturan ini disahkan atau dihapuskan dalam pembahasan RKUHP. (LITBANG KOMPAS)