Masyarakat Sipil Minta Pembahasan RKUHP Jangan Terbatas di 14 Isu Krusial
ICJR dan Formappi menilai, apabila DPR dan pemerintah kelak satu suara untuk hanya membahas 14 isu krusial di RKUHP, hal itu adalah bentuk penyimpangan. Pembahasan berujung penolakan pada 2019 harus dijadikan pelajaran.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat mempertanyakan sikap DPR dan pemerintah yang hanya akan membahas 14 isu krusial di Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Hasil pemetaan koalisi masyarakat sipil, masih ada banyak isu di luar poin krusial itu yang bermasalah. Apabila pembahasan RKUHP dilanjutkan di DPR, ruang partisipasi masyarakat untuk memperbaiki regulasi itu harus dibuka lebar.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, saat dihubungi, Rabu (23/6/2021), mengatakan, apabila DPR dan pemerintah satu suara untuk hanya membahas 14 isu krusial di RKUHP, hal itu adalah bentuk penyimpangan. Menurut dia, itu tidak sesuai dengan janji Presiden Jokowi yang menunda pengesahan RKUHP karena materinya bermasalah dan ditolak luas oleh masyarakat.
Menurut dia, RKUHP terdiri dari 628 pasal sehingga tidak ada yang menjamin substansinya jika pembahasan hanya dilakukan di 14 isu krusial. Apalagi, perubahan yang sudah dilakukan tim internal pemerintah tidak pernah dibuka ke publik. Hal itu menimbulkan pertanyaan di masyarakat.
Menurut pemetaan ICJR, ada 24 isu krusial yang substansinya masih bermasalah di RKUHP. Di antaranya, pasal-pasal yang mengancam demokrasi, yaitu pasal penghinaan presiden (218-220), pasal penghinaan pemerintah (240-241), pasal penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara (353-354), serta pasal perizinan demonstrasi (273).
Selain itu, juga ada pasal yang mengatur kelompok rentan penyandang disabilitas yang justru mempertebal stigmatisasi. Ada pula aturan soal living law atau hukum adat yang dapat berimplikasi serius pada keseragaman hukum nasional.
”DPR dan pemerintah tidak sesuai dengan janji Presiden saat penundaan. Saat itu, Presiden menunda pengesahan RKUHP karena ingin menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi publik terutama materi yang bermasalah,” ujar Maidina.
Pada tahun 2019, setelah mendengar masukan dari berbagai kalangan, Presiden Joko Widodo meminta agar persetujuan RKUHP yang sedianya dilakukan dalam Rapat Paripurna pada 24 September ditunda. Menurut Presiden, RKUHP yang telah disepakati dalam forum pengambilan keputusan tingkat pertama antara DPR dan pemerintah pada 18 September 2019 masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut.
Presiden Joko Widodo meminta agar masukan masyarakat didengarkan dalam pembahasan RKUHP. Saat itu, penolakan publik meluas terhadap RKUHP. ”Saya perintahkan Menkumham kembali jaring masukan dari berbagai kalangan masyarakat sebagai bahan menyempurnakan RUU KUHP yang ada,” kata Presiden di Istana Bogor kala itu (Kompas, 21/9/2019).
Lebih lanjut, Maidina mengatakan, berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mekanisme pembahasan RUU luncuran (carry over) yang sudah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) disampaikan kepada anggota DPR periode berikutnya. Seharusnya, DIM yang sudah pernah dibahas dilaporkan terlebih dahulu. Setelah itu, DIM baru bisa dibahas ulang dalam kelanjutan pembahasan RKUHP di DPR.
Jangan mengulang kesalahan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, arahan Presiden saat penundaan pengesahan RKUHP tahun 2019 sudah jelas. Penundaan dilakukan karena penolakan publik, dan pemerintah diharapkan menjaring masukan dari masyarakat. Oleh karena itu, kelanjutan pembahasan harus dibuka dalam proses politik di DPR. Permasalahannya, saat ini RKUHP belum masuk dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2021.
”Kelanjutan pembahasan RUU carry over ini kan tergantung dari kesepakatan di komisi. Jika memang masih banyak isu yang harus dibahas ulang, jangan menutup pembahasan hanya pada 14 isu krusial. Kalau seperti itu, sama saja mengulang peristiwa di tahun 2019,” kata Lucius.
Menurut Lucius, jika kelanjutan pembahasan RKUHP dibatasi pada 14 isu krusial yang dipetakan pemerintah, DPR membatasi partisipasi masyarakat. Pembahasan 14 isu krusial bisa saja dipakai untuk mempercepat pengesahan RKUHP. Padahal, selama ini sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah juga dianggap masih formalistik dan prosedural.
Dalam kegiatan sosialisasi RKUHP yang sudah dilakukan pemerintah di 12 kota, Lucius menilai kelompok yang dilibatkan belum inklusif. Selain itu, sosialisasi juga lebih bersifat satu arah pemaparan. Tidak ada pembahasan yang substantif dan berkualitas karena waktu terbatas, sedangkan isu yang dibahas sangat luas.
Idealnya, kata Lucius, aspirasi publik yang ditampung tidak hanya terbatas pada kelompok tertentu misalnya akademisi hukum. Masyarakat yang dilibatkan dalam partisipasi pembahasan RKUHP harus lebih beragam, inklusif, termasuk melibatkan kelompok rentan. Sehingga, isu-isu bermasalah dapat dibahas secara komprehensif dan substantif.
”Pemerintah juga harus terbuka pada draf RKUHP terbaru hasil perubahan sepanjang 2020-2021 sehingga publik mengetahui,” ujar Lucius.
Oleh karena itu, DPR khususnya Komisi III harus membuka ruang aspirasi publik seluas-luasnya dalam pembahasan lanjutan RKUHP. Jangan sampai DPR hanya fokus pada 14 isu krusial yang dipetakan pemerintah. Sebab, menurut dia, masih banyak isu bermasalah, pembahasan harus diulang sejak awal seperti saat pembahasan di tingkat I.
”Kalau memang akan dibentuk Panita Kerja (Panja) RKUHP itu bagus, artinya pembahasan dimulai dari persetujuan tingkat I. Tetapi, sebaiknya jangan dibatasi hanya di 14 isu krusial semata,” kata Lucius.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dalam kunjungan ke Redaksi Kompas di Jakarta, Selasa (22/6/2021), mengatakan, pemerintah tak alergi dengan masukan publik. Sepanjang 2020, tim ahli RKUHP telah mengubah sejumlah pasal dari draf RKUHP versi September 2019 berdasarkan masukan publik. Ada 14 isu krusial yang dipetakan pemerintah dan sebagian dari isu-isu itu telah dikoreksi redaksionalnya, diformulasikan kembali, dan beberapa lainnya dipertahankan dan dilengkapi penjelasan detail, serta lainnya dihapus (Kompas, 23/6/2021).
Isu-isu krusial itu adalah penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, perbuatan yang merendahkan martabat pengadilan, menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, dokter atau dokter gigi yang praktik tanpa izin, unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih, advokat yang curang dalam melakukan pekerjaannya.
Selain itu, juga penganiayaan hewan, penodaan agama, kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, aborsi, dan pemerkosaan dalam rumah tangga. Isu krusial yang dipetakan pemerintah ini berbeda dengan isu krusial yang dipetakan oleh masyarakat sipil. Karena itu, masyarakat sipil meminta agar partisipasi publik dibuka kembali sebelum RKUHP disahkan.