Pengelolaan Dana Otsus Papua Membutuhkan Pembenahan
Tata kelola dana otonomi khusus Papua yang buruk menyebabkan program otsus di Papua tak berjalan efektif. Alokasi dana pendidikan, contohnya, sangat minim, hanya 4,2 persen dari seharusnya 30 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Buruknya tata kelola dan pengawasan terhadap pengelolaan dana otonomi khusus Papua atau otsus Papua menyebabkan penyaluran dana itu belum tepat sasaran, terutama untuk pembangunan sumber daya manusia. Alokasi untuk pendidikan, contohnya, selama 2013-2017 sebatas 4,28 persen dari semestinya 30 persen. Selama 20 tahun dana tersebut dikucurkan, transparansi dan akuntabilitasnya pun masih rendah.
Hal ini menjadi sorotan dalam rapat kerja Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua DPR bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa di DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/5/2021). Rapat itu juga dihadiri pihak TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Sementara itu, di Papua, sejak sepekan terakhir hingga sekarang, pemerintah pusat bersama TNI-Polri terus gencar membuka ruang dialog bagi perdamaian dengan warga setempat. Dengan adanya perdamaian, diharapkan warga dapat ikut mengawal program pembangunan dan revisi Undang-Undang Otsus Papua.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, dana otsus yang dikucurkan dalam bentuk tunai dengan transfer daerah belum dikelola dengan baik. Terjadi beberapa penyimpangan sehingga memengaruhi efektivitas pencapaian otsus Papua.
Namun, terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB), aparat penegak hukum tetap melabelinya sebagai teroris. Aparat keamanan akan terus menelusuri pihak-pihak yang menyokong gerakan KKB, termasuk perolehan senjata dan pengaturan organisasinya.
Dalam rapat kerja di DPR, Suharso Monoarfa menyampaikan, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dana otsus yang dikucurkan dalam bentuk tunai dengan transfer daerah belum dikelola dengan baik. Terjadi beberapa penyimpangan sehingga memengaruhi efektivitas pencapaian otsus Papua.
Tata kelola yang kurang baik itu disebabkan oleh regulasi yang tidak lengkap. Pemerintah pusat tidak menyusun rancangan pembangunan Papua dalam otsus periode 2001-2021. UU Otsus juga tidak mengatur pihak yang mengevaluasi pelaksanaan otsus sehingga permasalahan akuntabilitas dan transparansi anggaran tidak bisa segera diatasi. Selain itu, belum semua peraturan daerah khusus dan peratuan daerah provinsi menetapkan amanat dari UU Otsus.
Baca juga : Pemerintah Pusat Serap Aspirasi Tokoh-tokoh di Papua untuk Wujudkan Kedamaian
Dalam revisi UU Otsus, lanjut Suharso, Presiden Joko Widodo telah mengarahkan supaya dana otsus yang akan ditingkatkan dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari total dana alokasi umum itu dikelola lebih baik. ”Salah satunya (untuk mengelola dana otsus lebih baik) dengan menyusun grand design pembangunan Papua,” jelasnya.
Berdasarkan temuan BPK, kinerja pengelolaan keuangan pemda juga belum optimal. Hasil audit BPK pada 2018, misalnya, masih ada 51,7 persen kabupaten/kota di Provinsi Papua yang mendapatkan opini keuangan disclaimer dan adverse. Opini keuangan disclaimer artinya BPK tidak memberikan pendapat karena auditor tidak memperoleh bukti yang cukup dan tepat untuk mendasari opini. Adapun opini keuangan adverse artinya adalah opini tidak wajar.
Untuk Provinsi Papua Barat, status audit keuangan masih lebih bagus, yaitu 61,5 persen kabupaten/kota berstatus wajar tanpa pengecualian (WTP) dan 38,5 persen kabupaten/kota berstatus wajar dengan pengecualian.
Selain itu, dana otsus untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua belum memadai. Alokasi belanja pendidikan sebesar 30 persen dan kesehatan 15 persen tidak terpenuhi. Di Provinsi Papua, alokasi dana untuk pendidikan hanya 4,28 persen dan kesehatan 7,43 persen pada tahun 2013-2017. Adapun alokasi dana Provinsi Papua Barat hanya 3,52 persen untuk pendidikan dan 2,56 persen untuk kesehatan pada tahun yang sama.
Suharso mengatakan, dalam rancangan revisi UU Otsus Papua nanti, dua pasal yang akan diubah, yaitu mengenai besaran anggaran dana otsus dan kewenangan pemekaran wilayah, harus betul-betul diperhatikan. Jika dana otsus ditambah, perlu optimalisasi pengawasan kebijakan dana otsus. Salah satunya dengan perbaikan regulasi.
Selain itu, juga penguatan peran Majelis Rakyat Papua (MRP), DPRP, dan masyarakat sipil dalam pengelolaan dana otsus. Dari sisi SDM, kapasitas personel pengelola dan pengemban dana otsus juga harus dikuatkan. Salah satunya dengan penguatan atau penambahan tenaga monitoring dan evaluasi di kabupaten atau kota.
Baca juga : Dialog dengan Masyarakat Papua Perlu Lebih Inklusif
Anggota Pansus Otsus Papua dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, mengatakan, wajar jika IPM Papua masih rendah dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Sebab, alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan masih rendah. Ini harus dievaluasi secara mendalam mengapa program tidak tepat dan tidak bisa dilakukan dengan optimal.
Selain itu, terkait dengan tata kelola keuangan daerah, pemda masih membutuhkan pendampingan dan supervisi dari pusat. Sebab, ternyata masih banyak daerah yang mendapatkan opini disclaimer dan adverse.
”Ternyata, kinerja pemda dalam mengelola anggaran dana otsus itu juga belum sesuai harapan. Ini harus dievaluasi secara menyeluruh agar nantinya penambahan anggaran dana otsus tidak salah sasaran,” kata Gaus.
Wajar jika indeks pembangunan manusia Papua masih rendah dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Sebab, alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan masih rendah. Ini harus dievaluasi secara mendalam. (Guspardi Gaus)
Dialog
Di Jayapura, Papua, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengunjungi warga setempat sejak Rabu hingga Kamis kemarin. Ini merupakan langkah lanjutan dibukanya ruang dialog oleh pemerintah untuk perdamaian di Papua yang diawali dengan dialog yang diadakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dengan tokoh masyarakat Papua pada Senin (24/5/2021).
Dalam pertemuan bersama warga itu, Listyo menyampaikan bahwa pemerintah fokus membangun Papua. Sekalipun manfaat pembangunan saat ini belum bisa dirasakan oleh seluruh warga, pembangunan infrastruktur, salah satunya, merupakan prioritas pemerintah.
Oleh karena itu, masyarakat diajak untuk terus mengawal berbagai program pemerintah di Papua. Begitu juga terkait revisi UU Otsus Papua yang kini masih dibahas di DPR. ”Terkait RUU Otsus, agar betul-betul dikawal sehingga upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua (bisa) tepat sasaran,” kata Listyo.
Baca juga : Wapres: Pemerintah Serius Membangun SDM Tanah Papua
Selain berdialog dengan tokoh masyarakat, baik Listyo maupun Hadi juga memberikan pengarahan untuk para personel TNI dan Polri yang tergabung dalam Satuan Tugas Operasi Nemangkawi. Satgas Nemangkawi merupakan gabungan personel TNI dan Polri yang dibentuk sejak 2018 yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dari gangguan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Listyo mengatakan, petugas tidak hanya bertugas mengamankan wilayah, tetapi juga mengawal pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, ia juga meminta agar para personel dapat memetakan secara tepat kebutuhan warga Papua.
Hadi menambahkan, seluruh personel yang bertugas di Papua hendaknya memiliki formula khusus untuk merebut hati masyarakat. Itu dibutuhkan agar kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap terjaga.
Namun, terhadap KKB, ditegaskan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, tetap dilakukan pendekatan terorisme. Dengan demikian, dapat ditelusuri keterlibatan pihak-pihak lain yang menyokong mereka, termasuk dalam perolehan senjata dan pengaturan organisasinya.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Boy menyampaikan, pendekatan terorisme untuk mengatasi KKB Papua sudah tepat karena pendekatan itu dinilai lebih holistik untuk menyasar persoalan yang selama ini terjadi di Papua dan Papua Barat. Penetapan status teroris terhadap KKB Papua membuat pemerintah dapat menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme serta UU No 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana Terorisme.
Baca juga : Kepala BNPT: Penanganan KKB sebagai Teroris Sudah Tepat
Selama ini, menurut Boy, KKB hanya didekati dengan KUHP, sedangkan KUHP lebih pada tindakan orang per orang. Adapun KKB dalam pandangan BNPT adalah mereka yang mulanya menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), yang saat ini sudah bersinergi dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pimpinan Benny Wenda dan sejumlah organisasi di tingkat lokal, termasuk di antaranya sejumlah aliansi mahasiswa di Papua.
”Kalau kita dekati KKB ini dengan UU No 5/2018, bukan hanya penegakan hukum yang dapat kita lakukan, melainkan juga soft approach, sebab dalam UU itu juga diatur tentang kontranarasi, kontraideologi, dan deradikalisasi. Kita melakukan soft approach ini bukan kepada mereka yang menggunakan senjata, melainkan kepada masyarakat Papua sehingga mereka tidak terpengaruh dengan narasi separatisme yang dikembangkan KKB,” katanya.
Tak juga dicabutnya label teroris pada KKB menyebabkan kontak senjata masih kerap terjadi di Papua. Terakhir, setidaknya pada Minggu (23/5/2021), Satgas Nemangkawi menangkap Litiron Weya, anggota KKB pimpinan Terinus Enumbi, di Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Kelompok Terinus Enumbi ini adalah pecahan dari KKB pimpinan Goliath Tabuni di Puncak Jaya.
Selain pendekatan kesejahteraan dan pembangunan dalam revisi otsus Papua, masyarakat juga membutuhkan perasaan aman. Selama ini, dengan situasi pengamanan dan banyaknya aparat keamanan, masyarakat merasa takut. (Filep Wamafma)
Meski demikian, setidaknya 19 kali serangan yang dilancarkan KKB dan kontak senjata yang melibatkan KKB dengan aparat keamanan selama Januari-Mei ini telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari pihak aparat keamanan, KKB, maupun warga sipil. Selama itu, tak kurang dari 5 anggota KKB tewas, 8 aparat keamanan dan 6 warga sipil meninggal. Selain itu, 10 aparat keamanan dan 2 warga terluka.
Anggota DPD dari Papua Barat, Filep Wamafma, mengatakan, selain pendekatan kesejahteraan dan pembangunan dalam revisi otsus Papua, masyarakat juga membutuhkan perasaan aman. Selama ini, dengan situasi pengamanan dan banyaknya aparat keamanan, masyarakat merasa takut. Apalagi, sejarahnya, masyarakat Papua memiliki trauma terhadap kekerasan yang dilakukan aparat.
”Situasi di Papua Barat relatif aman dan tidak ada gejolak seperti di Papua. Tetapi, pengamanannya seperti situasi darurat. Jika ini tidak dievaluasi, rakyat akan ketakutan sehingga pembangunan juga tidak bisa berjalan,” kata Filep.
Baca juga : Satgas Nemangkawi Tangkap Anggota KKB di Puncak Jaya
Filep memberikan contoh, salah satu kejadian yang menonjol adalah demonstrasi penolakan pembangunan kantor koramil di Papua Barat. Saat demonstrasi. ada satu korban jiwa dari masyarakat Papua diduga karena kekerasan aparat. Masyarakat pun kian merasa takut dengan kehadiran aparat. Jika trauma terhadap kekerasan ini tidak diatasi dengan tepat, masyarakat Papua bisa apatis terhadap program apa pun yang akan dilakukan di sana.
”Saya meminta secara khusus kepada Wakil Kepala BIN dan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) agar kehadiran aparat di Papua tidak menakuti warga. Jika memang telah terjadi kekerasan dan pelanggaran hukum, kami meminta ada penegakan hukum yang adil,” terang Filep.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, mengatakan, keinginan pemerintah untuk merevisi terbatas UU Otsus sebenarnya belum sejalan dengan Papua. Masyarakat Papua, terutama Majelis Rakyat Papua, menginginkan evaluasi menyeluruh terhadap otonomi khusus, sedangkan pemerintah berfokus pada Pasal 34 terkait anggaran dan Pasal 76 tentang pemekaran.
”(Papua) ingin evaluasi menyeluruh karena substansi otonomi khusus bukan hanya soal dana dan pemekaran. Namun, ada substansi lain yang selama ini belum pernah disentuh, misalnya soal hak asasi manusia dan rekonsiliasi,” kata Adriana.
Ia berharap, revisi UU Otsus yang saat ini masih dibahas pemerintah dan DPR lebih mempertimbangkan keinginan Papua. ”Kalau pada akhirnya tetap versi revisi terbatas itu yang dimaksudkan sebagai kelanjutan otsus, saya pikir akan ada penolakan lagi dari Papua,” tambah Adriana. (REK/NIA)