Kepala BNPT: Penanganan KKB sebagai Teroris Sudah Tepat
Masih soal penetapan label teroris pada kelompok kriminal bersenjata, Kepala BNPT Irjen Boy Rafli Amar menilai hal itu tepat untuk mengatasi persoalan di Papua. Namun, diingatkan DPR, jangan sampai merugikan warga sipil.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menilai penetapan kelompok kriminal bersenjata di Papua sebagai teroris sudah tepat. Dengan demikian, pendekatan yang diterapkan kepada mereka ialah pidana umum sehingga penelusuran lebih jauh tentang keterlibatan pihak-pihak lain yang menyokong mereka dapat dilakukan, termasuk dalam perolehan senjata dan pengaturan organisasinya.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Kamis (27/5/2021), di Jakarta, Boy menyampaikan, pendekatan terorisme untuk mengatasi kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua sudah tepat. Pasalnya, pendekatan itu dinilai lebih holistik untuk menyasar persoalan yang selama ini terjadi di Papua dan Papua Barat.
Penetapan status teroris terhadap KKB Papua, di antaranya, membuat pemerintah dapat menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme serta UU No 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana Terorisme.
Selama ini, menurut Boy, KKB hanya didekati dengan KUHP, sedangkan KUHP lebih pada tindakan orang per orang. Adapun KKB ini dalam pandangan BNPT adalah mereka yang mulanya menamakan dirinya Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). Saat ini, organisasi tersebut sudah bersinergi dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pimpinan Benny Wenda dan sejumlah organisasi di tingkat lokal, termasuk di antaranya sejumlah aliansi mahasiswa di Papua.
Kalau kita dekati KKB ini dengan UU No 5/2018, bukan hanya penegakan hukum yang dapat kita lakukan, tetapi juga soft approach. Pasalnya, di UU itu juga diatur tentang kontranarasi, kontraideologi, dan deradikalisasi. Kita melakukan soft approach ini bukan kepada mereka yang menggunakan senjata, tetapi kepada masyarakat Papua, sehingga mereka tidak terpengaruh dengan narasi separatisme yang dikembangkan KKB.
”Kalau kita dekati KKB ini dengan UU No 5/2018, bukan hanya penegakan hukum yang dapat kita lakukan, tetapi juga soft approach. Pasalnya, di UU itu juga diatur tentang kontranarasi, kontraideologi, dan deradikalisasi. Kita melakukan soft approach ini bukan kepada mereka yang menggunakan senjata, tetapi kepada masyarakat Papua, sehingga mereka tidak terpengaruh dengan narasi separatisme yang dikembangkan KKB,” katanya.
Boy menerangkan, penggunaan UU Pemberantasan Terorisme juga membuka kemungkinan dilakukannya penyelidikan mendalam terhadap jaringan-jaringan lain yang menyokong KKB. Sebab, ada UU No 9/2013 yang bisa digunakan untuk mengetahui dari mana pendanaan organisasi teroris itu berasal, baik lokal maupun internasional.
”Ketika ditetapkan menjadi teroris, kita bisa tracing kenapa itu kriminal bersenjata, kok, pelurunya tidak habis-habis. Siapa yang mendanai, baik di tingkat lokal maupun internasional,” katanya.
Pemerintah juga telah menetapkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT) yang secara khusus ditangani oleh satuan tugas (satgas). Di dalam Satgas DTTOT, BNPT merupakan salah satu anggota saja bersama dengan Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Sampai saat ini ada lima orang atau organisasi yang termasuk dalam DTTOT. Mereka ialah Lekagak Telenggen, Egianus Kogoya, Militer Murib, Germanius Elobo, dan Sabinus Waker.
Boy mengatakan, tujuan pemerintah saat ini ialah menginginkan kedamaian di Papua. Ratusan triliun dana otonomi khusus (otsus) Papua yang dikucurkan sejak 2001 sangat disayangkan apabila belum memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Papua. ”Mengapa masih ada KKB, apakah mereka berkolaborasi dengan pihak tertentu di pemerintahan daerah. Saat ini jadi tantangan pendalaman yang kami lakukan,” ucapnya.
Membedakan sivilian dan kombatan
Pemerintah telah menetapkan KKB di Papua sebagai teroris. Hal itu pasti menimbulkan dampak kerja bagi BNPT. Bagaimana peran BNPT dalam mengatasi persoalan di Papua itu dipertanyakan.
Sementara itu, sejumlah anggota Komisi III DPR menanyakan soal antisipasi pendekatan terorisme pada kasus Papua itu akan merugikan masyarakat sipil di sana. ”Bagaimana membedakan antara sivilian dan kombatan di sana, karena jangan sampai merugikan warga sipil dengan pendekatan yang dipilih,” kata Taufik Basari dari Fraksi Nasdem.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboe Bakar Al Habsyi, mengatakan, pemerintah telah menetapkan KKB di Papua sebagai teroris. Hal itu pasti menimbulkan dampak kerja bagi BNPT. Ia mempertanyakan bagaimana peran BNPT dalam mengatasi persoalan di Papua.
Boy mengatakan, pendekatan halus (soft approach) dan pendekatan keras/dengan senjata dan penegakan hukum (hard approach) akan dilakukan secara sinergis dengan instistusi lain, seperti TNI, Polri, BIN, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pelibatan TNI diperlukan karena KKB di Papua memiliki senjata yang setara dengan alutsista TNI. Mereka juga telah mengenal medan Papua yang secara geografis sangat menantang. Di sisi lain, upaya penegakan hukum akan dilakukan oleh kepolisian. Adapun untuk penempatan mereka di lembaga pemasyarakatan, BNPT berkoordinasi dengan Ditjen PAS.
Menanggapi kekhawatiran terhadap nasib warga sipil, Boy mengakui, kombatan banyak bersembunyi di rumah-rumah penduduk. Untuk membedakan mereka dari warga sipil, koordinasi dengan BIN akan dilakukan. ”Ini memerlukan keterampilan tingkat tinggi di lapangan karena kondisi itu harus diimbangi dengan ketajaman intelijen agar dapat diketahui mana warga sipil dan mana kombatan. Karena masyarakat sipil itu mengalami tekanan juga,” ujarnya.