Pemerintah Siapkan Dua Skema untuk Revisi Terbatas UU ITE
Pemerintah mewacanakan akan memasukkan ketentuan pasal tindak pidana konvensional di UU ITE ke RKUHP. Disiapkan dua skema untuk revisi terbatas pada UU ITE ini.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah menyiapkan dua skema untuk mengajukan revisi terbatas Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di DPR.
Revisi UU ITE ini akan diusulkan untuk dibahas bersama dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Tujuan keduanya dibahas secara bersamaan agar ada kodifikasi hukum terutama tindak pidana konvensional yang diatur dalam UU ITE.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy OS Hiariej saat dihubungi, Senin (17/5/2021), mengatakan, rencananya revisi UU ITE akan diajukan sebagai rancangan undang-undang (RUU) untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 bersama dengan RKUHP di DPR pada Juni mendatang. Pada Juni, DPR mengagendakan rapat kerja membahas perubahan Prolegnas Prioritas 2021.
Semua ketentuan pasal tindak pidana konvensional di UU ITE itu akan dimasukkan ke RKUHP agar seragam. Diharapkan tidak ada lagi penerapan pasal yang multitafsir di lapangan. (Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy OS Hiariej)
Menurutnya, di dalam RKUHP sudah ada penyesuaian ketentuan pidana konvensional yang diatur di UU ITE. Misalnya, pasal terkait pencemaran nama baik, fitnah, dan penghinaan. Semua ketentuan pasal tindak pidana konvensional di UU ITE itu akan dimasukkan ke RKUHP agar seragam. Diharapkan tidak ada lagi penerapan pasal yang multitafsir di lapangan.
Eddy mengatakan, agar ada keseragaman tersebut, pemerintah menyiapkan dua skema. Pertama, jika RKUHP disahkan, maka tidak perlu lagi revisi UU ITE karena semua ketentuan pidananya dimasukkan dalam RKUHP. Namun, jika ternyata RKUHP belum disahkan, revisi terbatas UU ITE tetap diajukan sesuai skenario awal.
Sebelumnya, tim kajian UU ITE yang dibentuk pemerintah pada April lalu, merekomendasikan revisi terbatas UU ITE dilakukan dengan menambahkan atau perubahan frasa dan penjelasan makna sehingga perlu dimasukkan satu pasal baru di Bab Penjelasan UU ITE. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah memutuskan akan menambah satu pasal di UU ITE yaitu pasal 45C. Pasal itu akan memuat penjelasan atas kata penistaan, fitnah, keonaran, dan tindak pidana lain yang kerap multitafsir.Tergantung pemerintah
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, masuk atau tidaknya revisi UU ITE dalam Prolegnas Prioritas 2021 itu bergantung pada pemerintah.
“Apakah bisa masuk atau tidak, ini tergantung pada apa yang disampaikan pemerintah di rapat kerja pembahasan prolegnas prioritas. Revisi prolegnas prioritas akan disahkan oleh DPR bersama Menkumham, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah),” terang Baidowi.
Terkait sikap resmi pemerintah yang ingin revisi terbatas UU ITE, Fraksi PPP masih melakukan kajian, apakah revisi terbatas itu cukup atau tidak mengatasi permasalahan UU ITE seperti pemidanaan pada pasal-pasal karet. Namun, menurut Baidowi, UU ITE masih diperlukan untuk merespons perkembangan dan penggunaan teknologi informasi yang semakin masif.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, secara konsep hukum, wacana yang disampaikan Wakil Menkumham, itu dinilai sejalan dengan konsep kodifikasi atau pengaturan ulang tindak pidana konvensional. Tindak pidana konvensional di UU ITE memang seharusnya cukup diatur dalam KUHP.Dalam sejarahnya, revisi UU ITE juga pernah dibahas bersamaan dengan RKUHP di tahun 2016. Namun, sayangnya revisi UU ITE tahun 2016, tetap dilakukan dengan memuat ketentuan pidana pada tindak pidana konvensional seperti penghinaan dan pencemaran nama baik.
Selain mencabut pasal-pasal karet UU ITE ke RKUHP, kodifikasi hukum dua UU juga bisa diterapkan dengan mekanisme peralihan. Jika RKHUP disahkan terlebih dahulu, UU ITE dibuat dengan pasal peralihan yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam UU ITE menyesuaikan diri. Begitu juga sebaliknya. (Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu)
“Tapi sebenarnya jika memang mau kodifikasi, pasal-pasal karet yang ada di UU ITE dicabut dulu. Kemudian, pindahkan ke RKUHP. Ini kan tidak,” kata Erasmus.
Selain mencabut pasal-pasal karet UU ITE ke RKUHP, kodifikasi hukum dua UU juga bisa diterapkan dengan mekanisme peralihan. Jika RKHUP disahkan terlebih dahulu, UU ITE dibuat dengan pasal peralihan yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam UU ITE menyesuaikan diri. Begitu juga sebaliknya, apabila UU ITE disahkan terlebih dahulu, penyesuaikan pada tindak pidana konvensional bisa diatur belakangan di RKUHP.
Sebelumnya, Wamenkumham Eddy OS Hiariej memunculkan wacana memasukkan ketentuan pidana UU ITE ke RKUHP. Ketentuan pidana konvensional di UU ITE akan dimasukkan di RKUHP, dibuat lebih jelas, agar tidak lagi multitafsir, (Kompas, 12/3/2021).
Namun, pada saat itu masyarakat sipil menilai hal itu akan memakan waktu yang lebih lama di DPR. Materi yang dibahas di RKUHP begitu luas, tak kurang dari 24 isu yang masih terus dikaji ulang. Ini dikhawatirkan memakan waktu lama pembahasan di DPR. Revisi UU ITE dinilai lebih mudah dan cepat karena hanya menyasar setidaknya delapan hingga sembilan pasal karet bermasalah.