Kasus Jual Beli Jabatan Terulang, Perbaiki Sistem Pengawasan
Kasus jual beli jabatan yang terus terulang seperti yang terbaru melibatkan Bupati Nganjuk Novi Rahman menunjukkan masih lemahnya pengawasan pengisian jabatan di pemerintahan. Sistem pengisian pun harus diperbaiki.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tertangkapnya Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Novi Rahman Hidayat dalam operasi tangkap tangan oleh tim gabungan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri menunjukkan masih buruknya sistem pengisian jabatan di pemerintahan. Perlu pengawasan yang lebih ketat dan perbaikan sistem agar kasus jual beli jabatan tak terus terulang.
Sebelum kasus Novi terungkap, KPK sudah menangani banyak perkara serupa yang melibatkan bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy, bekas Bupati Klaten Sri Hartini, bekas Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, bekas Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, bekas Bupati Kudus Tamzil, bekas Bupati Jombang Nyono Wiharli Suhandoko, dan Wali Kota nonaktif Tanjung Balai M Syahrial. Khusus kasus Syahrial, KPK masih pada tahap penyidikan.
Dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (10/5/2021), Direktur Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Djoko Poerwanto mengatakan, pada Minggu (9/5/2021) sekitar pukul 19.00, tim gabungan Direktorat Tipikor Bareskrim Polri dan KPK mengamankan Novi Rahman Hidayat beserta sejumlah camat di jajaran Pemerintah Kabupaten Nganjuk.
”Para camat memberikan sejumlah uang kepada Bupati Nganjuk melalui ajudan bupati terkait mutasi dan promosi jabatan mereka dan pengisian jabatan tingkat kecamatan di jajaran Kabupaten Nganjuk. Selanjutnya, ajudan Bupati Nganjuk menyerahkan uang tersebut kepada Bupati Nganjuk,” kata Djoko.
Dalam kasus ini, telah ditetapkan tujuh tersangka. Mereka adalah Novi sebagai penerima hadiah atau janji, sedangkan pemberi hadiah atau janji adalah Camat Pace, Dupriono; Camat Tanjunganom dan Pelaksana Tugas Camat Sukomoro, Edie Srijato; Camat Berbek, Haryanto; serta Camat Loceret, Bambang Subagio.
Selain itu, ada mantan Camat Sukomoro, Tri Basuki Widodo, dan ajudan Bupati Nganjuk, M Izza Muhtadin. Izza diduga menjadi perantara penyerahan uang dari para camat kepada Novi.
Dalam operasi tangkap tangan ini, disita pula uang tunai sebesar Rp 647.900.000 dari brankas pribadi Novi, delapan telepon genggam, dan satu buku tabungan Bank Jatim atas nama Tri Basuki Widodo.
Ditangani kepolisian
Djoko mengatakan, penyidikan kasus ini akan dilanjutkan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri dengan dukungan dan kerja sama dari KPK.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengungkapkan, sejak akhir Maret 2021, KPK menerima laporan adanya dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengisian jabatan perangkat desa serta camat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Tim pengaduan masyarakat KPK menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut.
Unit Koordinasi dan Supervisi Penindakan KPK lantas berkoordinasi dengan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri. Diperoleh informasi bahwa Bareskrim Polri juga menerima laporan pengaduan masyarakat yang sama terkait hal tersebut.
Untuk menghindari tumpang tindih penanganan laporan, dilakukan koordinasi antara KPK dan Bareskrim Polri sebanyak empat kali. Penyelidikan kasus ini oleh KPK dan Bareskrim Polri dilakukan sejak April 2021.
Lili berjanji, KPK akan melakukan supervisi penanganan kasus Novi oleh kepolisian sesuai dengan kewenangan yang dimiliki KPK. Adapun untuk mencegah kasus jual beli jabatan tak kembali terulang, KPK akan membantu memperbaiki tata kelola dalam manajemen aparatur sipil negara.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto menambahkan, dari hasil komunikasi dan koordinasi, saksi-saksi serta dokumen-dokumen pendukung dalam kasus Novi yang dimiliki oleh Bareskrim bobotnya lebih tinggi. Karena itu, diputuskan Bareskrim yang menangani kasus tersebut.
Berdasarkan informasi dari penyidik, Agus mengatakan, untuk pengisian jabatan di tingkat perangkat desa dipatok biaya Rp 10 juta sampai Rp 15 juta.
”Untuk jabatan di atas itu, sementara yang kami dapat informasi Rp 150 juta. Ini masih awal. Kami akan lakukan pendalaman dan pengembangan,” kata Agus.
Merusak birokrasi
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan, jual beli jabatan yang masih terjadi di pemerintahan hanya akan merusak birokrasi karena nantinya pejabat diisi orang-orang yang tidak memenuhi kompetensi, kualifikasi, dan kinerja. KASN sudah melakukan pengawasan pengisian jabatan pimpinan tinggi, tetapi pelanggaran masih kerap terjadi.
Oleh karena itu, menurut Agus, perlu peran serta masyarakat untuk ikut mengawasi. Selain itu, perlu kesadaran ASN untuk tidak mau dimintai uang, baik saat promosi maupun rotasi.
”Perlu kesadaran bagi kepala daerah bahwa pengisian yang tidak berbasis sistem merit justru akan merugikan kepala daerah karena staf yang membantunya tidak kompeten,” tambahnya.
Adapun Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menilai, kasus jual beli jabatan terus berulang karena panitia seleksi pengisian jabatan yang mudah direkayasa.
Kepala daerah sengaja mencari orang seperti pakar, organisasi masyarakat, dan birokrat yang terafiliasi dengannya untuk mengisi keanggotaan panitia seleksi. Mereka lantas merekayasa seleksi dengan memberikan nilai tertinggi kepada orang yang sudah dipilih kepala daerah. Pada umumnya, mereka yang dipilih ini bagian dari tim sukses kepala daerah tersebut saat pemilihan kepala daerah.
Untuk mencegah kasus jual beli jabatan di pemerintahan kembali terulang, Djohermansyah mengatakan, perlu ada perbaikan sistem. ”Pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang menentukan penetapan orang menjadi pejabat jangan di tangan kepala daerah. PPK harusnya ada di tangan pejabat tertinggi di birokrat, yaitu sekretaris daerah,” katanya.
Sekretaris daerah disebutnya tidak memiliki kepentingan politik. Karena itu, pengisian jabatan diyakini akan berbasis pada sistem merit. Selain itu, seleksi harus dilakukan secara transparan dan terbuka.
Djohermansyah juga berharap, pemerintah pusat segera menyiapkan talent pool atau sekelompok orang yang dinilai bertalenta untuk mengisi jabatan di seluruh daerah. Talent pool ini berisi orang-orang yang memiliki kemampuan dan dipilih melalui seleksi. Pengisian jabatan berbasiskan pada talent pool diyakini dapat mereduksi kemungkinan terjadinya kembali jual beli jabatan.