Keluarga Korban Inginkan Penyelesaian Sesuai UU Pengadilan HAM
Penyelesaian kasus di luar pengadilan (non-yudisial) dipilih pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat 1998. Bagi keluarga korban, demi memenuhi rasa keadilan, jalur hukum tetap harus diutamakan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini, pemerintah lebih memilih jalur penyelesaian kasus di luar pengadilan (non-yudisial) untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat 1998. Sebaliknya, bagi keluarga korban, kepastian hukum tetap harus diutamakan sesuai mekanisme Undang-Undang Pengadilan HAM ad hoc dan baru kemudian penyelesaian non-yudisial.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat Komisi III dengan Komnas HAM, Selasa (6/4/2021), Komisi III meminta Komnas HAM mencari terobosan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas HAM diminta tidak semata bergantung pada mekanisme yudisial, tetapi harus dipikirkan pula jalur non-yudisial atau di luar pengadilan. Komisi III berargumen, penyelesaian secara yudisial mengalami sejumlah kendala, seperti banyaknya saksi dan korban yang telah meninggal (Kompas, 7/4/2021).
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengamini wacana tersebut. Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, berdasarkan pengalaman persidangan tiga perkara dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu peristiwa Tanjung Priok (1984), Timor Timur (1999), dan Abepura (2000), sebagian besar pelaku divonis bebas lepas. Pengadilan HAM ad hoc menyatakan bahwa para pelaku tidak bersalah melakukan pelanggaran HAM berat karena bukti tidak cukup.
Untuk kasus Timor Timur, hanya satu orang yang dihukum, yaitu mantan Wakil Panglima Pejuang Integrasi (PPI) Timor Timur Eurico Guterres. Awalnya Guterres dinyatakan bersalah karena perbuatan kejahatan melawan kemanusiaan yang dilakukan oleh anak buahnya dalam konteks komando sipil pada penyerangan terhadap pengungsi di rumah Manuel Viegas Carrascalao di Liquisa, 17 April 1999, yang menewaskan 12 pengungsi. Oleh pengadilan, Guterres divonis 10 tahun penjara. Namun, di tingkat peninjauan kembali (PK), Mahkamah Agung membebaskan Guterres dari segala dakwaan.
”Dari pengalaman persidangan perkara pelanggaran HAM berat selama ini, sebagian besar terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Karena apa? Karena bukti menurut hukum acaranya itu enggak cukup,” kata Mahfud, Jumat (30/4/2021).
Oleh karena itu, pemerintah saat ini sedang menjajaki wacana pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Hak Asasi Manusia Berat melalui Mekanisme Non-Yudisial (UKP-PPHB). Rancangan Perpres UKP-PPHB telah diajukan ke Presiden untuk dimintakan izin prakarsa. Namun, hingga saat ini, izin prakarsa itu belum diperoleh.
Dari pengalaman persidangan perkara pelanggaran HAM berat selama ini, sebagian besar terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Karena apa? Karena bukti menurut hukum acaranya itu enggak cukup.
Supremasi hukum
Sumarsih (69), ibu mahasiswa korban penembakan Semanggi I, mengatakan, pemerintah dan DPR seharusnya menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat sesuai dengan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Ad hoc. Di dalam UU itu diatur bahwa penyelesaian secara hukum dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi korban.
Ketika kasus sudah dibawa ke pengadilan ad hoc, secara otomatis korban akan mendapatkan hak-hak berupa kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi. Hak-hak korban itu didapatkan tanpa mengesampingkan penyelesaian secara hukum.
”Kami mau penyelesaian pelanggaran HAM berat ini dilakukan sesuai mekanisme UU. Tempatkan segala persoalan sesuai jalur UU yang telah dibuat oleh pemerintah dan DPR. Jangan sampai mereka mengingkari UU yang dibuat sendiri,” kata Sumarsih.
Sumarsih mengatakan, dia dan keluarga lain akan terus berjuang di jalur hukum karena teringat pada enam agenda reformasi yang diperjuangkan anak-anak mereka. Pada masa transisi rezim otoriter ke reformasi, banyak korban tewas karena memperjuangkan agenda reformasi, salah satunya supremasi hukum.
Menurut dia, salah satu agenda reformasi adalah kesetaraan di depan hukum bagi semua warga negara. UUD 1945 secara jelas mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tidak boleh ada sekelompok warga negara yang memiliki kapasitas dan akses tertentu memperoleh impunitas atau kekebalan hukum.
Kami mau penyelesaian pelanggaran HAM berat ini dilakukan sesuai mekanisme UU. Tempatkan segala persoalan sesuai jalur UU yang telah dibuat oleh pemerintah dan DPR. Jangan sampai mereka mengingkari UU yang dibuat sendiri.
Perjuangan melawan impunitas ini juga dilakukan untuk memastikan hukum ditegakkan terhadap semua komponen negara. Selain itu, juga untuk menjamin kejahatan kemanusiaan tak terjadi lagi. Perjuangan melawan impunitas ini memang dialami banyak negara, khususnya negara yang masih berkutat mencari pola demokrasi mapan.
”Saya bermimpi penguasa itu tidak membeda-bedakan kelompok tertentu dalam penegakan hukum. Semua warga negara seharusnya sama kedudukannya di mata hukum tanpa membedakan derajat, kasta, dan sebagainya,” kata Sumarsih.
Ibu korban kerusuhan Yogya Plaza, Klender, 1998, Maria Sanu (73), mengatakan, tak dimungkiri, kehadiran negara sangat dibutuhkan oleh keluarga korban yang telah 23 tahun mencari keadilan. Banyak korban kerusuhan Klender hidup kekurangan.
Mereka berharap negara hadir memberikan kompensasi berupa jaminan kesehatan, bantuan sosial, dan sebagainya. Namun, pemberian kompensasi itu hendaknya tidak menutup pintu penyelesaian secara hukum. Sebab, kepastian hukum itulah yang selama ini diperjuangkan keluarga korban melalui aksi Kamisan di depan Istana Presiden.
”Memang, tidak semua korban itu hidup sejahtera, banyak yang masih kekurangan sehingga mereka juga berharap negara hadir. Namun, bukan berarti bantuan itu menghentikan penyelesaian secara hukum. Kalau seperti itu, sama saja kami menjual anak kami yang sudah meninggal menjadi korban kerusuhan,” ujar Maria sembari terisak.
Sementara itu, Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin mengatakan, pada prinsipnya keluarga korban menyambut positif upaya pemerintah untuk membuat terobosan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Dasar hukum perpres juga dirasa tepat karena jika memakai Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dikhawatirkan akan berlarut karena dinamika politik di parlemen.
Namun, IKOHI menegaskan, penyelesaian di luar pengadilan itu harus berjalan paralel dengan upaya penyelesaian hukum. Sesuai dengan amanat UU, penyelesaian kasus pelanggaran HAM harus secara komprehensif, baik yudisial maupun non-yudisial. Jangan sampai penyelesaian non-yudisial justru digunakan untuk menutup upaya penyelesaian di pengadilan.
Selain itu, menurut Zaenal, dalam penyelesaian secara non-yudisial, pemerintah harus mengutamakan pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban negara. Sebab, selama ini para korban masih mendapatkan stigmatisasi dari masyarakat.
Korban pelanggaran HAM berat ini ibaratnya korban tabrak lari. Kalau sakit, ya, ditangani dulu di RS (dengan upaya non-yudisial). Tetapi, bukan berarti pelanggaran pidananya selesai. Itu tidak akan memberikan rasa keadilan bagi korban.
Mereka justru kerap disangka pelaku dan dicap buruk secara sosial. Pengungkapan kebenaran peristiwa dan permintaan maaf dari negara diharapkan dapat menghapus stigma tersebut. Dengan demikian, pemulihan hak korban secara fisik dan mental dapat terpenuhi.
”Korban pelanggaran HAM berat ini ibaratnya korban tabrak lari. Kalau sakit, ya, ditangani dulu di RS (dengan upaya non-yudisial). Tetapi, bukan berarti pelanggaran pidananya selesai. Itu tidak akan memberikan rasa keadilan bagi korban,” kata Zaenal.
Ketua Tim Penyusunan Raperpres UKP-PPHB Mualimin Abdi menuturkan, perpres UKP-PPHB adalah instrumen hukum yang dibuat Presiden untuk membuat tim terpadu dan memudahkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga.
Tanpa dasar hukum perpres, koordinasi antarkementerian dan lembaga dalam penyelesaian kasus HAM berat di luar pengadilan kerap terganjal. Unit kerja diharapkan dapat mempermudah upaya pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, sampai saat ini, Presiden belum memberikan izin prakarsa pada draf raperpres yang diajukan.
Sesuai UU No 26/2000, yang berhak mengajukan perkara itu ke pengadilan HAM ad hoc adalah Kejaksaan Agung. Namun, selama kejaksaan ragu dengan bukti-bukti yang ada, kasus akan terus berlarut-larut. Sebab, penyidik membutuhkan bukti-bukti yang kuat untuk membuktikan kebenaran materiil di pengadilan.
”Karena ini masalahnya adalah pelanggaran HAM masa lalu, harus cermat. Menko Polhukam sempat mengatakan bahwa dia ingin penyidik dan penyelidik duduk bersama, melihat mana saja perkara yang layak untuk ditindaklanjuti,” kata Mualimin.
Menurut dia, UKP-PPHB merupakan terobosan dari pemerintah agar negara bisa hadir memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM. Adapun penyelesaian secara hukum merupakan kewenangan dari aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung. Sebelum perkaranya menemukan terobosan hukum, pemerintah ingin hadir memberikan pertanggungjawaban secara materiil.
”Nanti, proses pemberian kompensasi itu juga akan dilakukan secara bertahap. Misalnya, kami sudah survei di Talangsari, Lampung, itu akan didahulukan dulu. Setelah itu mungkin Aceh, kami melihat faktor usia korban yang semakin tua juga. Kalau untuk perkara lainnya, seperti peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, nanti kami konsultasikan dulu kepada Kejaksaan Agung dan Komnas HAM,” kata Mualimin.