Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Luar Hukum Sebaiknya Diatur UU
Rencana pemerintah membentuk unit kerja presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan peraturan presiden dinilai tidak tepat. Landasan hukum yang tepat untuk hal tersebut adalah undang-undang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Payung hukum penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu secara non-yudisial dengan peraturan presiden (perpres) dinilai kurang tepat. Idealnya, penyelesaian dengan mekanisme non-yudisial itu diatur dengan undang-undang agar punya landasan hukum dan dukungan anggaran yang kuat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman saat dihubungi, Sabtu (27/3/2020), mengatakan, inisiatif untuk memulihkan hak korban pelanggaran HAM berat, perlu diapresiasi. Sebab, fakta di lapangan, para korban pelanggaran HAM berat, usianya semakin renta. Mereka membutuhkan kehadiran negara untuk merehabilitasi dan memulihkan hak-haknya. Namun, idealnya, payung hukum mekanisme non-yudisial itu juga harus kuat, yaitu peraturan setingkat undang-undang.
Rencana penerbitan perpres Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat Melalui Mekanisme Nonyudisial (UKP-PPHB) bermasalah. Perpres dibuat tanpa kontrol dan partisipasi politik formal dari DPR yang merupakan representasi masyarakat
Secara ketatanegaraan, rencana penerbitan perpres Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui Mekanisme Nonyudisial (UKP-PPHB) bermasalah. Perpres dibuat tanpa kontrol dan partisipasi politik formal dari DPR yang merupakan representasi masyarakat. Jika perpres bermasalah, parlemen akan sulit melakukan kontrol terhadap pemerintah.
”Persoalan HAM baik untuk mewujudkan atau membatasi HAM itu tempatnya di undang-undang, bukan di perpres. Kalau melalui perpres, ini melompat dari UUD 1945. Sebab, di bawah konstitusi itu ada undang-undang, peraturan pemerintah, baru perpres,” terang Herlambang.
Herlambang juga mengatakan, jika mekanisme non-yudisial hanya diatur melalui perpres, akan sulit dijadikan rujukan untuk peraturan di bawahnya maupun keputusan administratif. Perpres juga tidak cukup dijadikan landasan hukum yang kuat, dan berpengaruh terhadap dukungan anggaran yang diberikan. Idealnya, sebelum membuat perpres UKP-PPHB, pemerintah terlebih dahulu membuat UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jika itu bermasalah karena pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu).
”Sebelum bergerak lebih jauh membuat unit kerja, pemerintah harus membuat UU atau perppu yang mewadahi mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non yudisial,” kata Herlambang.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar hukum, harus memiliki payung hukum selevel undang-undang seperti UU KKR
Hal senada juga diungkap oleh Direktur Imparsial Al Araf. Ia mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar hukum harus memiliki payung hukum selevel undang-undang seperti UU KKR. Dia menilai membuat UU KKR bukanlah pekerjaan yang sulit jika memang ada kehendak politik dari pemerintah dan DPR. Apabila kendalanya karena pernah dibatalkan oleh MK, pemerintah bisa membuat draft RUU KKR baru dengan menghapuskan sejumlah pasal. Dengan adanya UU KKR, diharapkan konsep penyelesaian di luar hukum bisa lebih matang.
Selain itu, keluarga korban dan publik juga mendesak agar pemerintah memastikan bahwa penyelesaian di luar hukum itu tidak akan menutup mekanisme penyelesaian hukum. Jika mekanisme non-yudisial menutup ruang penyelesaian hukum, hal itu sangat bertentangan UU HAM, UU Pengadilan HAM, dan UUD 1945.
”Jika pemerintah ingin melakukan mekanisme penyelesaian di luar hukum, konsep harus terlebih dahulu disampaikan kepada korban dan publik. Mekanisme penyelesaian ini harus sesuai aspirasi korban terkait dengan keadilan. Penyelesaian non yudisial harus dengan pertimbangan masukan, dan rasa keadilan bagi korban,” terang Al Araf.
Dibandingkan dengan mekanisme non-yudisial yang belum memiliki payung hukum kuat, Al Araf mengingatkan pemerintah untuk segera membentuk pengadilan HAM adhoc yang sudah menjadi amanat UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Meskipun sudah memiliki dua payung hukum kuat, sampai sekarang amanat itu tak kunjung dieksekusi. Bahkan, penyelesaian kasus secara hukum terkesan jalan di tempat.
”Presiden harus punya arah politik hukum dalam rangka penegakan hukum di negara hukum. Ada pelanggaran HAM di masa lalu yang butuh diselesaikan, jika jaksa agung tidak bisa menjalankan tugasnya, mestinya bisa dievaluasi oleh presiden,” tegas Araf.
Unit kerja akan berfokus pada pemulihan dan rekonsiliasi korban.
Unit kerja pemerintah
Sebelumnya, Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan, pemerintah saat ini sedang menunggu izin prakarsa untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat Melalui Mekanisme Non Yudisial (UKP-PPHB). Unit kerja itu akan berfokus pada pemulihan dan rekonsiliasi korban. Mualimin Abdi bertindak sebagai ketua tim penyusunan Raperpres UKP-PPHB.
Mualimin menampik bahwa unit tersebut nantinya merupakan jalan pintas untuk menutup upaya hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Perpres itu dibuat sesuai dengan Pasal 47 UU Pengadilan HAM yang membuka kemungkinan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR).
”Perpres UKP-PPHB adalah ikhtiar pemerintah untuk memberikan pemulihan sesuai kebutuhan masyarakat. Tidak ada niat untuk memotong atau menutup penuntasan melalui jalur yudisial. Kami sudah turun ke lapangan, para korban mengatakan mereka ingin negara hadir,” kata Mualimin.
Kasus dugaan pelanggaran HAM berat tidak bisa dibiarkan dan ditunda penuntasannya. Harus ada kemajuan dan kejelasan agar korban mendapatkan rasa keadilan
Janji Jokowi
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional Pangeran Khairul Saleh mengatakan, kasus dugaan pelanggaran HAM berat tidak bisa dibiarkan dan ditunda penuntasannya. Harus ada kemajuan dan kejelasan agar korban mendapatkan rasa keadilan. Oleh karena itu, dibutuhkan kemauan politik yang kuat serta komitmen dan langkah konkret untuk menyelesaikan masalah tersebut.
”Tim khusus atau Satgas Penuntasan Pelanggaran HAM berat oleh Kejaksaan Agung adalah langkah positif yang seharusnya menjadi momentum penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Timsus seharusnya bisa bekerja sama dengan Komnas HAM sehingga ada akselerasi penyelesaian kasus,” kata Pangeran.
Pangeran menambahkan, kerja sama antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM harus ditingkatkan untuk mencukupi alat bukti agar kasus bisa dibawa ke pengadilan. Timsus HAM Kejaksaan Agung juga harus bekerja dengan profesional, sehingga bisa menghadirkan langkah maju penyelesaian kasus. Ini penting karena masyarakat berharap agar ada langkah konkret dan signifikan dalam penanganan kasus HAM berat.
”Penyelesaian kasus HAM berat membutuhkan sinergitas dengan berbagai pihak untuk mencari alat-alat bukti. Kami berharap timsus/satgas Kejakgung bisa bekerja lebih cepat dan efektif,” kata Pangeran.
Sementara itu, Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul sani mengatakan, Kejaksaan Agung harus segera mengambil sikap terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Jaksa Agung tidak bisa mengulur-ulur waktu tanpa kejelasan, karena penyelesaian pelanggaran HAM berat adalah salah satu janji politik Presiden Jokowi. Apabila memang Kejaksaan Agung tidak memiliki alat bukti yang kuat, hal itu harus disampaikan ke publik dengan argumen hukum yang kuat. Sebab, jika memang tidak ada alat bukti yang kuat, apabila dibawa ke pengadilan HAM, dikhawatirkan pelaku bisa divonis bebas.
”Harus ada kejelasan sikap dari Kejaksaan Agung, mana yang bisa dilanjutkan ke penyidikan, mana yang tidak bisa. Kejelasan kasus harus dibuat terang dulu di masyarakat. Apabila memang tidak ada bukti yang kuat, baru kejaksaan agung bisa mengusulkan pendekatan penyelesaian dengan mekanisme nonyudisial,” kata Arsul.