Indonesia sudah memiliki instrumen hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sketsa wajah mahasiswa Trisakti yang menjadi korban penembakan pada 12 Mei 1998 terpasang pada Tugu Reformasi yang berada di depan Universitas Trisakti Jakarta, Senin (13/5/2019). Peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti saat menggelar aksi damai pada Mei 1998 tersebut merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan.
Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia menjadi persoalan yang tidak mudah dituntaskan. Menjalankan amanat UU Pengadilan HAM merupakan komitmen yang terus ditagih oleh korban dan keluarga korban terhadap pemerintah.
Belum tuntasnya kasus pelanggaran hak asasi manusia terlihat dari sejumlah kasus tragedi HAM berat yang masih menggantung penyelesaiannya dari aspek hukum. Laporan Tahunan Komnas HAM 2019 menyebutkan masih ada 11 peristiwa yang diduga pelanggaran HAM berat yang belum tuntas terselesaikan.
Peristiwa di seputar reformasi 1998 menjadi bagian dari dugaan kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai. Penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM terhadap kasus penembakan Trisaksi, Semanggi I, dan Semanggi II, kemudian peristiwa kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa penghilangan orang secara paksa belum dapat ditindaklanjuti Kejaksaan Agung.
Hingga 2018, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas hasil penyelidikan kepada Komnas HAM. Selaku penyelidik dan penuntut umum berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Kejaksaan Agung berpendapat berkas penyelidikan Komnas HAM tersebut belum cukup dengan mengacu pada Pasal 20 Ayat (3).
Belum jelasnya penanganan kasus-kasus tersebut membuat korban dan keluarga korban terus berupaya menggapai keadilan. Dua orang tua korban penculikan aktivis dan korban peristiwa Mei 1998 meminta Mahkamah Konstitusi memberi tafsir atas Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM. Pasal itu mengatur tentang pengembalian berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat jika dinilai hasil penyelidikan belum lengkap.
KOMPAS/JOHNNY TG
Kerusuhan massa yang diwarnai aksi perusakan dan pembakaran bangunan dan kendaraan bermotor melanda sebagian Jakarta, Rabu (13/5/1998). Selepas pukul 18.00 WIB, keberingasan massa mulai muncul di berbagai kawasan, terutama di Jakarta Barat. Di Jalan Bandengan Selatan, Tubagus Angke, dan Jembatan Dua, massa mulai menjarah rumah-rumah warga. Beberapa toko bahkan dibakar.
Uji materi diajukan karena frasa ”kurang lengkap” di dalam pasal itu dinilai tidak jelas. Akibatnya, muncul tafsir yang berbeda antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Dalam putusannya, MK menyebut Pasal 20 Ayat (3) dan penjelasannya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Gugatan uji materi UU Pengadilan HAM tersebut merupakan salah satu upaya korban dan keluarga korban untuk mendapatkan kepastian hukum. Upaya lain ditempuh dengan unjuk rasa, aksi damai, hingga mendatangi institusi pemerintah. Aksi damai para korban dan keluarga korban dilakukan dilakukan setiap Kamis sore sejak 18 Januari 2007 di seberang Istana Merdeka, Jakarta.
Selain aksi Kamisan, ada upaya lain dari keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998 ditempuh dengan mendatangi Kantor Staf Presiden (15/10/2018) untuk menanyakan perkembangan penyelesaian kasus. Mereka juga meminta kepada presiden untuk memberikan status kependudukan bagi 13 orang yang hingga kini belum kembali.
Cara lain dengan unjuk rasa juga pernah dilakukan. Keluarga korban penghilangan paksa berunjuk rasa di depan kantor Menko Polhukam di Jakarta, Kamis (29/9/2011). Mereka menuntut pemerintah melaksanakan rekomendasi Panitia Khusus DPR RI tentang kasus penghilangan paksa yang terjadi pada 1997-1998.
Ada empat rekomendasi pansus yang disetujui Sidang Paripurna DPR RI pada 28 September 2009, dua di antaranya adalah merekomendasikan presiden untuk membentuk Pengadilan HAM adhoc serta merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
Hak korban
Berbagai upaya yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menagih komitmen pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Dalam UU No 26/2000, pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, serta penghilangan orang secara paksa menjadi tugas dan wewenang Pengadilan HAM.
Dalam hal pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No 26/2000 ini, maka kasus hukumnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Selain dari aspek kepastian hukum, regulasi pengadilan HAM juga memberikan jaminan atas perlindungan dan hak bagi korban. Setiap korban dan saksi berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Sementara hak yang didapat bagi korban atau ahli warisnya adalah mendapat kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 mengatur lebih rinci definisi dan batasan tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat. Kompensasi yang dimaksud adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Sementara restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Terakhir, rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Melihat kewenangan Pengadilan HAM di atas, sebenarnya Indonesia sudah memiliki instrumen hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Mencermati dasar pembentukannya, keberadaan Pengadilan HAM setidaknya memiliki dua tujuan dalam rangka penegakan hak asasi manusia.
Pertama, Pengadilan HAM dibuat untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat. Kedua, pembentukan Pengadilan HAM bertujuan untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan sejak awal reformasi.
Yudisial
Berdasarkan aturan hukum tersebut, penyelesaian pelanggaran HAM berat sebenarnya bukanlah perkara yang sulit. Pelaku pelanggaran HAM berat diadili melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc seperti diatur melalui UU Pengadilan HAM.
Aktor kuncinya adalah Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Komnas HAM berperan di tahap penyelidikan, kemudian tahap selanjutnya, yaitu penyidikan perkara, dilakukan Jaksa Agung.
Namun, hingga saat ini kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih tertahan di antara kedua lembaga tersebut. Berkas hasil penyelidikan sembilan kasus pelanggaran HAM berat dikembalikan Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM pada 2018.
Melalui pertemuan yang diinisiasi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada 13 Desember 2019, Kejaksaan Agung dan Komnas HAM sepakat untuk membahas lagi kasus-kasus tersebut dan menentukan kasus yang bisa diselesaikan melalui UU Pengadilan HAM atau dengan mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (non-yudisial).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sukarelawan dan aktivis mengikuti Aksi Kamisan ke-603 yang berlangsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Ketentuan Pasal 47 UU No 26/2000 menyebutkan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, pembentukannya tidak mudah karena harus melalui mekanisme undang-undang.
Di luar jalur yudisial, sejumlah langkah dilakukan pemerintah seperti pembentukan Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM berat oleh Kejaksaan Agung dan rencana pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa HAM yang Berat (UKP-PPHB) oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Dari sisi korban dan keluarga korban, kebijakan-kebijakan nonyudisial tersebut malah membuat proses penyelesaian menjadi berbelit-belit. Instrumen hukum berupa UU Pengadilan HAM sudah tersedia dan tinggal dilaksanakan.
Bagi Sumarsih, ibu dari almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban penembakan Semanggi I tahun 1998, yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat hanyalah komitmen penegakan hukum (Kompas, 28/3/2021).
Itulah komitmen yang akan terus ditagih oleh korban dan keluarga korban melalui Aksi Kamisan di di depan Istana Merdeka, Jakarta. Hanya melalui penegakan hukum, luka keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat akan terobati. Penegakan hukum yang berwibawa juga dapat mencegah terjadinya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)