Keluarga Korban Pelanggaran HAM Menolak untuk Menyerah
Lebih dari 20 tahun berlalu, keluarga korban pelanggaran HAM Mei 1998 masih menanti penuntasan kasus itu. Pemerintah kini mengupayakan penyelesaian nonyudisial, tetapi tak menutup pintu penyelesaian yudisial.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·6 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Para aktivis HAM yang dimotori oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti Aksi Kamisan ke-626 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Sudah lebih dari dua dekade peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia Mei 1998 berlalu. Rezim pemerintahan sudah beberapa kali berganti, tetapi penanganan pelanggaran HAM tersebut belum terwujud. Namun, keluarga korban pelanggaran berat HAM menolak menyerah. Mereka terus mengetuk hati pihak berwenang agar beban sejarah bangsa itu bisa dituntaskan sehingga tidak melanggengkan impunitas bagi para pelakunya.
Harapan akan adanya penuntasan pelanggaran berat HAM tidak hanya dari korban dan keluarga korban, tetapi juga masyarakat Indonesia. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 27-30 April 2021, yang melibatkan 505 responden dari 34 provinsi, menunjukkan, 80 persen responden menganggap pelanggaran HAM Mei 1998 belum tuntas atau tuntas sebagian. Sebanyak 59,7 persen responden mendorong penuntasan melalui peradilan.
Bulan Mei, keluarga para korban pelanggaran HAM berat pada kurun waktu 1997-1999 mengingatkan adanya rangkaian pelanggaran HAM menjelang dan setelah reformasi. Pada 12 Mei 1998 terjadi penembakan di Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa. Setelah itu terjadi kerusuhan yang menewaskan banyak warga sipil. Sebelum itu, juga terjadi penghilangan paksa sejumlah aktivis prodemokrasi. Pada akhir 1998 dan 1999, juga terjadi penembakan Semanggi I dan Semanggi II.
Untuk mendorong penuntasan pelanggaran HAM, bertahun-tahun orangtua dan keluarga korban serta masyarakat rutin menggelar aksi Kamisan di depan Istana Negara Jakarta. Peserta aksi memakai pakaian hitam dan berpayung hitam sebagai simbol dukacita. Mereka menolak lupa pada peristiwa kelam sejarah, di antaranya kasus pelanggaran HAM 1997-1999. Aksi Kamisan sudah berlangsung 678 kali. Aksi Kamisan terakhir dilakukan 16 Maret 2020. Setelah pandemi Covid-19, aksi dilakukan dengan mengirimkan surat kepada Presiden.
Selain Aksi Kamisan, audiensi ke sejumlah instansi berwenang terus dilakukan keluarga korban.
Sekretaris Jenderal Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin di Jakarta, Jumat (7/5/2021), menuturkan, selama lebih dari 20 tahun sejak terjadi kasus penghilangan paksa 97-98, IKOHI dan keluarga korban telah bertemu pemimpin negara dari periode ke periode, yakni Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo. Namun, kasus itu belum tuntas juga.
Saat ini, lanjut Zaenal, keluarga korban menginginkan pernyataan dari negara terkait anggota keluarganya yang dihilangkan secara paksa. ”Selama tidak ada keterangan resmi dari negara, sementara kepolisian tidak bisa memberikan status orang hilang. Maka harus dicari dulu, ditemukan atau tidak, kemudian ada pernyataan dari negara,” katanya.
Menurut Zaenal, keluarga korban penghilangan paksa 97-98 ingin pemerintah segera menjalankan rekomendasi DPR tahun 2009. DPR saat itu menyampaikan empat rekomendasi atas hasil penyelidikan penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998.
Keempat rekomendasi itu adalah pembentukan pengadilan HAM ad hoc; pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM dinyatakan hilang; merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberi kompensasi keluarga korban; serta merekomendasikan agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Penuntasan hukum
Sumarsih (68), ibu korban peristiwa Semanggi I menegaskan, sebenarnya aspirasi dari para korban sederhana yaitu penuntasan perkara secara hukum. Komnas HAM selaku penyelidik perkara telah menuntaskan tugasnya dan melimpahkan berkas penyelidikan kepada Kejaksaan Agung. Namun, selama ini, berkas tersebut berkali-kali hanya kembalikan lagi kepada Komnas HAM. Tidak ada terobosan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, misalnya dengan membuat tim penyidik ad hoc yang diatur dalam pasal 21 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
”Sebenarnya, tuntutan kami ini sederhana saja, Kejaksaan Agung harus lebih aktif dalam melakukan tugas penyidikan. Sesama aparat penegak hukum seharusnya tidak saling mengingkari hasil kerjanya. Tunjukkan kepada publik mana kebenarannya, mana kasus yang layak dilimpahkan ke pengadilan,” kata Sumarsih.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Maria Catarina Sumarsih ibunda Bernardinus Realino Norma Irmawan bersama aktivis dan sukarelawan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti aksi diam Kamisan ke-609 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Maria Sanu (73), ibu korban kerusuhan Yogya Plaza, Klender pada Mei 1998 juga menuturkan, baginya yang memenuhi rasa keadilan adalah dalang atau pelaku kerusuhan Mei 1998 diungkap dan diadili secara hukum. Biarkan pengadilan yang memutuskan apakah pelaku terbukti bersalah atau tidak dalam peristiwa itu. Namun, saat ini, menurutnya, korban seolah-olah hanya terus dijejali janji-janji manis penuntasan.
Adapun, realisasi penuntasan terutama dari jalur hukum, belum menunjukkan perkembangan signifikan. Terkadang, hal itulah yang membuat ibu korban yang tidak lagi muda itu merasa lelah fisik dan mental.
”Ibaratnya seperti menunggu pepesan kosong. Padahal, kami telah berjuang terus menerus selama 23 tahun, bagaimanapun kami harus terus berjuang demi anak-anak kami yang telah tiada,” kata Maria.
Paian Siahaan (74) adalah ayah dari Ucok Munandar Siahaan, salah satu korban penghilangan paksa 97-98. Paian Siahaan adalah satu dari 13 keluarga korban penghilangan paksa 97-98 yang hingga kini masih menantikan kabar anaknya.
”Sudah hampir 23 tahun, semua usaha sudah kami lakukan. Kami sudah melakukan audiensi ke semua instansi yang berkompeten, seperti ke Menko Polhukam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan), ke DPR, Kejaksaan, sampai Presiden, yaitu SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Joko Widodo,” tutur Paian.
SHARON UNTUK KOMPAS
Kedua orangtua Wawan, Arief Priyadi (kanan) dan Maria Catarina Sumarsih (kiri).
Menurut Paian, rekomendasi DPR pada 2009 memberikan harapan lebih besar dari sebelumnya. Sebab, berkas penyelidikan Komnas HAM mengenai kasus tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti dengan penyidikan. Namun, rupanya rekomendasi itu pun hingga kini berusia 11 tahun tidak juga kunjung dilaksanakan, terutama untuk pencarian korban penghilangan paksa 97-98.
Terakhir, dia bersama keluarga korban bertemu dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko untuk menyampaikan harapan kepada pemerintah. Sebelumnya, keluarga korban juga telah bertemu Presiden Jokowi untuk menyampaikan uneg-uneg dari keluarga korban yang dijanjikan akan ditindaklanjuti Moeldoko.
”Tapi sampai sekarang Pak Moeldoko belum menindaklanjuti. Artinya, bola sebenarnya sudah di pemerintah,” kata Paian.
Langkah pemerintah
Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, yang juga Wakil Ketua Tim Khusus atau Satuan Tugas Penuntasan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Kejaksaan Agung, pihaknya telah melakukan evaluasi terhadap berkas perkara kasus pelanggaran HAM berat. Kemudian, pihaknya telah melaporkan kepada Menteri Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
”Kemarin kita laporkan bahwa tidak ada yang bisa ditindaklanjuti sebelum petunjuk itu dipenuhi Komnas HAM. Nah ini mau diapakan? Kita menunggu dari Menko Polhukam,” kata Ali.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono
Ali mengatakan, terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat. Sebanyak sembilan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan empat kasus pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kasus tersebut, antara lain, Peristiwa 65-66; Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II; Peristiwa Wasior dan Wamena 2001; Peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003; dan yang paling akhir Peristiwa Paniai 2014.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, saat ini pemerintah sedang memproses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dengan jalur non yudisial. Namun, dia memastikan, penyelesaian non yudisial ini tidak akan menutup penyelesaian secara yudisial atau jalur hukum.
”Selama ini enggak pernah ketemu buktinya, ini (nonyudisial) diselesaikan dululah. Nanti kalau ketemu, baru kita jalan,” kata Mahfud.
Pemerintah saat ini sudah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Unit Kerja Pemerintah untuk Penanganan Peristiwa HAM yang Berat melalui mekanisme Non-yudisial (UKP-PPHB). Substansi raperpres itu adalah memberikan santunan, rehabilitasi sosial, restitusi, kepada korban dan keluarga korban sembari menunggu Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR) berproses di DPR.
Raperpres disiapkan untuk mengantisipasi proses legislasi RUU KKR yang berpotensi lama pembahasannya di DPR karena dinamika politik.
KOMPAS/Kompas/Dian Dewi Purnamasari
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat ditemui di kantornya, Jumat (30/4/2021).
Mahfud menegaskan, penyelesaian nonyudisial tidak akan menutup upaya penyelesaian hukum. Proses hukum dapat dilanjutkan apabila penyidik telah menemukan bukti yang cukup untuk membawa perkara ke pengadilan.
Dari tiga perkara dugaan pelanggaran HAM berat yang sudah diadili di pengadilan, seperti kasus Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, dan Abepura 2000, para pelakunya divonis bebas lepas. Para pelaku dinyatakan tidak bersalah karena tidak cukup alat bukti.