Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap tidak memberikan dampak signifikan pada penguatan independensi dan tata kelembagaan KPK.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap tidak memberikan dampak signifikan pada penguatan independensi dan tata kelembagaan lembaga antirasuah itu. Penafsiran MK pada norma pasal yang diuji justru berpotensi membawa masalah baru. Integritas KPK dipertaruhkan.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dalam diskusi ”Menyibak Putusan MK dalam Pengujian Formil dan Materiil Revisi UU KPK”, Kamis (6/5/2021), mengatakan, dalam putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid dkk, MK mengabulkan sebagian petitum pemohon. Dalam putusan itu, MK bertindak sebagai the positive legislator atau merumuskan norma baru UU.
MK, misalnya, mereformulasi norma baru pada Pasal 1 Angka 3 UU No 19/2019 yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Menurut Bivitri, hal itu juga tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap independensi KPK. Itu karena independensi KPK tidak ditentukan dengan kata-kata. Lebih jauh, faktor yang paling memengaruhi independensi KPK adalah desain kelembagaannya.
”Apakah dengan frasa baru itu, KPK lantas menjadi independen seperti dulu? Tidak. Karena desain kelembagaanya sudah berbeda jauh dari UU lama,” kata Bivitri.
Selain itu, MK juga menyatakan sejumlah norma di revisi UU KPK, misalnya Pasal 12 B, 37B Ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 Ayat (2) inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Adapun pada Pasal 12 C Ayat (2) dan Pasal 12 Ayat (1), MK memberikan penafsiran baru. MK menyebutkan, KPK tak perlu lagi meminta izin kepada Dewan Pengawas (Dewas) jika akan melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
MK menilai, Dewas bukan lembaga yudisial sehingga tak berwenang memberikan izin untuk tindakan pro justitia, seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. KPK cukup memberitahukan ada tindakan itu kepada Dewas paling lama 14 hari kerja setelah dilakukan. Hal itu untuk mencegah terjadi penyalahgunaan kekuasaan sehingga penggunaan kewenangan pro justitia perlu diawasi secara ketat, (Kompas, 5 Mei 2021).
Terkait dengan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), Bivitri menilai, MK tidak konsisten dengan putusan yang terdahulu. Itu karena sebelumnya MK telah memutus bahwa tidak adanya kewenangan SP3 di KPK, bukanlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sebab, penghentian perkara bisa dilakukan melalui mekanisme Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bivitri mengapresiasi putusan MK tentang pembatalan izin penyadapan. Akan tetapi, menurut dia, jika dilihat lebih jauh, hal itu sebenarnya hanya mengurangi sebagian kecil kewenangan Dewas KPK. Dewas tetap berwenang mengawasi pelaksanaan dan tugas KPK, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK atau pelanggaran UU KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK, serta melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun.
Selain itu, terkait dengan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), Bivitri menilai, MK tidak konsisten dengan putusan yang terdahulu. Itu karena sebelumnya MK telah memutus bahwa tidak adanya kewenangan SP3 di KPK bukanlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sebab, penghentian perkara bisa dilakukan melalui mekanisme Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KPK sengaja tidak diberi kewenangan SP3 karena khawatir akan diselewengkan, baik dibocorkan maupun diperjualbelikan. Dalam putusannya, MK mengubah ketentuan penerbitan SP3 dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
”Ini bertentangan dengan semangat awal yang memberi ruang luas bagi KPK untuk mengungkap korupsi sebagai kejahatan yang terorganisasi. Seperti diketahui, para koruptor itu menyembunyikan asetnya di mana-mana, aktor yang terlibat juga bisa sangat luas sehingga ada kerumitan untuk melacak kasus korupsi. Waktu pengungkapan itu tidak bisa dihitung secara matematis,” kata Bivitri.
Diperjualbelikan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menambahkan, dalam Pasal 40 Ayat (2) UU No 19/2019, ketentuan mengenai pelaporan SP3 kasus kepada Dewas KPK ditambah dari jangka waktu seminggu menjadi 14 hari. Alasan hukum (legal reasoning) yang dipakai oleh MK pun tidak terurai secara jelas.
Dengan penambahan waktu pelaporan ini, Feri justru khawatir surat SP3 bisa diperjualbelikan kepada pihak-pihak yang berperkara. Preseden buruk pernah terjadi di MK. Saat itu, MK memperjualbelikan hasi rapat permusyawaratan hakim (RPH) kepada pihak-pihak yang berperkara. Dua hakim konstitusi yang kemudian diproses hukum karena menjadi mafia peradilan itu adalah Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.
”Saya tidak melihat ada harapan dalam penguatan KPK pada putusan MK ini. Putusan MK justru berpotensi menimbulkan peluang korupsi di lembaga antirasuah,” kata Feri.
Menurut Feri, kekhawatiran itu tak berlebihan sebab semenjak revisi UU KPK berlaku, berbagai masalah etik dan integritas terus menyerang KPK. Ada kasus pencurian barang bukti emas oleh penyidik hingga perkara suap penyidik saat menangani perkara Wali Kota Tanjung Balai.
Feri juga mengatakan bahwa dalam putusan mengenai status kepegawaian KPK, MK seolah hanya mencari sensasi baru. Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa segala kebijakan tidak boleh merugikan pegawai KPK. Namun, sebenarnya substansi dari alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) itu telah merugikan pegawai KPK, baik dari sisi jaminan kesejahteraan maupun mengganggu independensi pegawai dalam mengungkap kasus korupsi.
”MK sebenarnya tidak mampu memperbaiki UU yang buruk itu, tetapi mencoba menghiasi dengan kata-kata yang indah,” kata Feri.
Pemohon principal uji formil UU KPK, Laode M Syarif, menyampaikan, pihaknya sangat kecewa dengan putusan MK sebab MK dinilai tidak serius dalam menggali kebenaran materiil pada proses pembentukan UU No 19/2019 yang dianggap cacat formil.
Kecewa
Pemohon principal uji formil UU KPK, Laode M Syarif, menyampaikan, pihaknya sangat kecewa dengan putusan MK sebab MK dinilai tidak serius dalam menggali kebenaran materiil pada proses pembentukan UU No 19/2019 yang dianggap cacat formil.
Syarat formil pembentukan UU, misalnya, faktor partisipasi publik dinilai oleh mahkamah sebagai formalitas belaka, bukan pada substansinya. Seminar revisi UU KPK yang dilakukan di tiga universitas di Indonesia dinilai sudah memenuhi unsur konsultasi dan partisipasi publik. MK tidak bisa melihat lebih luas berapa pihak yang setuju dan tidak setuju dengan revisi UU tersebut.
”Dalam seminar itu, hampir sebagian orang mengatakan tidak butuh revisi UU KPK. Tetapi, hakim gagal melihat lebih dalam dan menggali kebenaran,” kata Laode.
Sejumlah ahli juga berpandangan, dengan berlakunya UU No 19/2019, masa depan pemberantasan korupsi semakin suram. Namun, jika presiden benar-benar berkomitmen memperkuat KPK, ada langkah yang bisa dilakukan, yaitu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) untuk membatalkan UU No 19/2019.
”Presiden sebenarnya bisa sewaktu-waktu mengeluarkan perppu untuk merevisi regulasi bermasalah ini jika memang ada komitmen untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi,” kata Bivitri.