Konsekuensi Perubahan UU KPK
Gugatan uji formil UU KPK hasil revisi ditolak Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji formil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat diperlukan untuk mengawasi jalannya pelaksanaan tugas KPK dan penindakan kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Putusan yang dibacakan Selasa (4/5/2021) ini dikeluarkan 1,5 tahun setelah UU KPK hasil revisi berlaku dan uji materi serta uji formil UU tersebut diajukan.
Hakim MK menyatakan bahwa pemohon tidak beralasan secara hukum terhadap keberatan yang diajukan. Beberapa dalil permohonan yang ditolak yaitu UU KPK tidak termasuk dalam Prolegnas DPR, tidak dilibatkannya masyarakat dalam penyusunan UU, naskah akademik fiktif, dan penyelundupan dalam proses pembuatan UU.
Salah satu kelompok yang mengajukan uji formil tersebut adalah mantan tiga unsur pimpinan KPK, yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang. Ketiganya yang mengajukan uji formil kepada MK pada 20 November 2019 menilai pembentukan UU KPK itu tidak dilakukan sesuai dengan prosedur pembentukan regulasi yang baik sebagaimana diatur di dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU Nomor 19 Tahun 2019 disahkan pada 17 September 2019. Regulasi tersebut merupakan UU KPK hasil revisi yang hanya dibahas dan disahkan dalam kurun waktu 12 hari saja. Dalam Rapat Paripurna DPR pada 6 September 2019, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang KPK disetujui untuk direvisi. Kemudian, setelah melalui rapat pembahasan tertutup (13-15 September 2019) dan pengambilan keputusan tingkat pertama (16 September 2019), akhirnya revisi tersebut disahkan.
Sejak disahkan, tercatat terdapat tujuh perkara terkait uji formil dan uji materi UU KPK hasil revisi yang diajukan ke MK. Tujuh perkara tersebut diajukan berbagai elemen masyarakat, seperti mahasiswa, sivitas akademika, dan advokat.
Uji materi dan uji formil yang diajukan ke MK adalah salah satu upaya untuk membatalkan UU KPK hasil revisi. Selain uji materi dan formil ini sebenarnya publik menaruh harapan supaya Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, Presiden tidak akan mengeluarkan perppu tersebut sehingga proses uji materi dan formil terus diajukan dan diproses.
Terkait dengan uji materi, terdapat sejumlah pasal yang digugat. Beberapa di antaranya status KPK sebagai lembaga eksekutif (Pasal 1 Angka 3), izin penyadapan dari Dewan Pengawas (Pasal 12B), status pegawai KPK sebagai pegawai negeri sipil (Pasal 24), serta pembentukan dan tugas Dewan Pengawas (Pasal 37B).
Gugatan dilandaskan karena ada beberapa ketidaksinkronan di UU KPK hasil revisi. Ini dikhawatirkan akan melemahkan independensi dan integritas KPK dalam memberantas tindak korupsi. Sejumlah pasal yang berubah dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 dinilai dapat menimbulkan konsekuensi buruk bagi kinerja KPK selanjutnya. KPK pun telah memetakan 26 risiko yang mungkin menimpa KPK jika UU KPK hasil revisi diberlakukan (Kompas, 4 Oktober 2019).
Pelemahan
Salah satu pasal yang dikhawatirkan melemahkan independensi KPK adalah Pasal 3. Dalam pasal ini, KPK didefinisikan sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun. Pada UU KPK sebelumnya (UU Nomor 30 Tahun 2002), KPK hanya didefinisikan sebagai lembaga negara yang melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen serta bebas dari penguasaan kekuasaan mana pun.
Menurut ICW dalam laporan Pemantauan Kinerja Tahun I KPK 2020, perubahan ini dikhawatirkan akan membuat KPK berpotensi dijadikan alat politik bagi elite kekuasaan. Pelemahan independensi KPK itu juga telah terjadi dengan kooptasi kelembagaan yang berakibat pada perubahan status kepegawaian KPK, seperti tercantum dalam Pasal 24.
Pasal lain yang juga dinilai bermasalah adalah terkait dengan Dewan Pengawas. Sejumlah pasal yang mengatur pembentukan, tugas, dan kewenangan Dewan Pengawas adalah Pasal 12 A-B, 37, 47, 69A, dan D.
Dewan Pengawas ini baru dibentuk setelah adanya UU KPK hasil revisi. Dewan Pengawas ini merupakan bagian dari KPK yang terdiri dari lima orang dan menjabat selama empat tahun. Sejumlah tugas yang diemban Dewan Pengawas adalah mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan serta pegawai KPK.
Terkait dengan tugas pengawasan kepada KPK, sebelum adanya UU KPK hasil revisi, hal tersebut sudah dilakukan melalui Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (secara internal) serta melalui Presiden, DPR, BPK, Ombudsman, peradilan dan masyarakat (secara eksternal). Karena itu, menurut ICW, dengan adanya Dewan Pengawas malah menimbulkan ambiguitas teori pengawasan kelembagaan.
Kekhawatiran lain terhadap Dewan Pengawas adalah karena pemilihannya dan pengangkatannya dilakukan oleh presiden. Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, hal ini menimbulkan dugaan kecurigaan bahwa KPK dikendalikan presiden.
Keberadaan Dewan Pengawas juga berpotensi memperlambat proses penindakan. Hal ini terkait penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas. Prosedurnya, izin diproses dahulu di pimpinan KPK. Kemudian, izin diajukan ke pimpinan dan Dewan Pengawas. Selanjutnya, Dewan Pengawas melakukan gelar perkara untuk menyetujui atau tidak memberikan izin.
Dalam putusan lain, angin segar muncul dari MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring, Selasa (4/5/2021) menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan Pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas.
Menurut hakim konstitusi, penggeledahan dan penyitaan oleh KPK merupakan bagian dari tindakan pro justitia. Sedangkan, Dewan Pengawas tidak termasuk unsur aparat penegak hukum. Dengan demikian, ketentuan izin terkait penggeledahan dan penyitaan dari Dewan Pengawas KPK tidak tepat. Demikian pula, putusan senada juga mengenai izin terkait penggeledahan dan penyitaan tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas.
Baca juga: Satu Tahun Pascarevisi UU, KPK Melemah
Prosedur melalui Dewan Pengawas dari awal dikhawatirkan menyebabkan proses penggeledahan kasus dugaan korupsi atau suap menjadi lambat. Setidaknya ini terjadi terhadap kasus suap yang melibatkan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang relatif lebih lambat. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, penggeledahan lazimnya dilakukan tidak lama setelah penangkapan atau penetapan tersangka.
Sementara ada jeda waktu lama sejak Wahyu ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2020 dengan pemberian izin dari Dewan Pengawas pada 12 Januari 2020. Jeda waktu tersebut berpotensi memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menyembunyikan, bahkan menghilangkan barang bukti.
Peristiwa tersebut menjadi salah satu bagian kecil konsekuensi yang akan dihadapi jika UU KPK hasil revisi tetap diberlakukan. Penolakan MK terhadap uji formil hari ini menjadi tantangan seluruh elemen masyarakat untuk lebih bekerja keras guna turut berpartisipasi aktif mengawasi jalannya pelaksanaan tugas KPK dan penindakan kasus-kasus korupsi di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)