Sepanjang 2020, Dewas KPK Terbitkan 571 Izin Penyadapan hingga Penggeledahan
Sepanjang 2020, Dewas KPK menerbitkan 571 izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan untuk KPK. Dalam rentang waktu itu pula, Dewas KPK memproses 15 laporan dugaan pelanggaran kode etik, empat di antaranya terbukti.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2020, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi telah menerbitkan 571 izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dalam rentang waktu itu pula, Dewan Pengawas KPK memproses 15 laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh jajaran di internal KPK di mana empat di antaranya terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman.
Hal itu disampaikan Dewan Pengawas (Dewas) KPK saat jumpa pers ”Laporan Kinerja Dewan Pengawas KPK Tahun 2020” di Jakarta, Kamis (7/1/2021). Hadir saat jumpa pers itu, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean bersama anggota Dewas KPK, yaitu Albertina Ho, Artidjo Alkostar, dan Syamsuddin Haris.
Terkait izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, Albertina mengatakan, untuk satu perkara bisa terdapat beberapa izin penyitaan yang diterbitkan. Begitu pula untuk izin penggeledahan dan penyadapan.
Tak sebatas menerbitkan izin, Dewas KPK memonitor pelaksanaan izin tersebut oleh KPK. Ini untuk memastikan pelaksanaannya sesuai dengan izin yang diberikan. Metode monitoring seperti mengevaluasi laporan pertanggungjawaban penyadapan serta memverifikasi administrasi sita dan geledah melalui berita acara. Adapun terkait barang yang disita, Dewas mengeceknya ke lapangan untuk memeriksa kesesuaian dengan aturan yang ada.
Selain menerbitkan ratusan izin, Albertina menyampaikan, Dewas menerima dan memproses 15 laporan dugaan pelanggaran kode etik selama 2020.
”Dari 15 ini, semuanya telah diselesaikan di tahun 2020 di mana yang 4 dibawa ke sidang etik dan yang 11 tidak dibawa ke sidang etik karena tidak cukup bukti untuk dilanjutkan ke sidang etik,” ujarnya.
Dari empat laporan yang dibawa ke sidang etik, laporan pertama dijatuhi hukuman sanksi ringan berupa teguran tertulis pertama, laporan kedua hukuman sanksi ringan berupa teguran tertulis kedua, laporan ketiga hukuman sanksi ringan berupa teguran lisan, dan laporan keempat hukuman sanksi berat berupa diberhentikan dengan tidak hormat.
Rekomendasi untuk KPK
Dewas KPK juga mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK. Syamsuddin Haris menjelaskan, tujuan pengawasan yang dilakukan Dewas dalam rangka meningkatkan kinerja KPK agar lebih akuntabel, profesional, berintegritas, dan sesuai dengan hukum serta hak asasi manusia.
Sejauh ini, Dewas telah melaksanakan rapat evaluasi kinerja bersama dengan pimpinan KPK. Rapat tersebut dilakukan setiap tiga bulan dengan fokus utama mengevaluasi 29 indikator kerja utama pimpinan KPK.
Rekomendasi Dewas kepada pimpinan dan pegawai KPK di antaranya KPK perlu berupaya mendorong terwujudnya Indeks Perilaku Antikorupsi sesuai target, KPK harus mendorong peningkatan Survei Penilaian Integritas, KPK perlu berupaya meningkatkan pemulihan aset, serta KPK perlu akselerasi pembangunan sistem pencegahan dan penindakan terintegrasi.
Selain itu, Artidjo Alkostar mengungkapkan, Dewas telah menerima 247 laporan surat pengaduan terkait pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dari jumlah tersebut, sebanyak 87 laporan sudah selesai diproses, 67 laporan diteruskan ke unit terkait di KPK, dan 100 laporan diarsipkan karena keterangan tidak jelas.
Artidjo menuturkan, Dewas juga memantau pelaksanaan tugas dan wewenang KPK secara langsung. Kegiatan yang dilakukan di antaranya pelaksanaan rapat koordinasi; penyempurnaan mekanisme kerja sama dengan kementerian, lembaga pemerintah, dan daerah dalam rangka penguatan aparat pengawasan intern pemerintahan; serta optimalisasi upaya pengamanan aset.
Meski banyak capaian disampaikan Dewas KPK selama setahun terakhir, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra menilai publik belum tahu persis yang dikerjakan oleh Dewas KPK.
”Seharusnya Dewas KPK lebih transparan. Karena itu, tidak jelas apakah Dewas KPK efektif mendorong peningkatan kinerja KPK atau sebaliknya efektif ’menjinakkan’ KPK atau kepemimpinan sekarang memang sudah ’jinak’ karena pembatasan dalam UU KPK hasil revisi dan kepemimpinan yang dipersoalkan publik terkait integritas mereka,” kata Azyumardi.