Pelaku Usaha Rentan Korupsi
Dibanding profesi lain, pengusaha menjadi pelaku korupsi terbanyak yang dijerat KPK. Suap dan gratifikasi menjadi modus korupsi paling sering dilakukan. Untuk itu, KPK mengajak dunia usaha untuk memerangi korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong dunia usaha untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi. Berdasarkan data KPK, sebagian besar pelaku korupsi adalah pengusaha swasta dan korporasi dengan modus suap dan gratifikasi.
Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK Kumbul Kusdwijanto Sudjadi dalam webinar nasional ”Mewujudkan Dunia Usaha Tanpa Korupsi”, Rabu (28/4/2021), mengatakan, integritas pengusaha sangat menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi yang akan berdampak pada perekonomian negara.
Jika dilihat dari latar belakang profesi pelaku korupsi, sebanyak 26 persen di antaranya adalah pengusaha swasta. Ini merupakan angka tertinggi jika dibandingkan dengan pelaku dari latar belakang profesi lain.
Sejak KPK berdiri tahun 2004 hingga 2020, tercatat ada 1.122 perkara yang ditangani dengan tersangka sebanyak 1.262 orang. Jika dilihat dari latar belakang profesi pelaku korupsi, sebanyak 26 persen di antaranya adalah pengusaha swasta. Ini merupakan angka tertinggi jika dibandingkan dengan pelaku dari latar belakang profesi lain, seperti aparatur sipil negara (ASN) dan pejabat publik. Untuk pelaku yang merupakan pegawai korporasi, sudah ada enam orang yang menjadi tersangka korupsi.
”Tersangka kasus korupsi dari pelaku usaha banyak sekali. Sebab, mereka berhubungan dengan penyelenggara negara dan ASN untuk pengadaan proyek barang dan jasa, misalnya. Makanya, modusnya juga 66 persen penyuapan dan 21 persen pengadaan barang dan jasa,” kata Kumbul.
Baca juga : 62 Pengusaha Suap Juliari Rp 32,4 Miliar
Selain Kumbul, narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir, Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukay Karyadi, dan pendiri Sustain Dwi Siska Susanti. Ketua KPK Firli Bahuri ikut memberikan pidato kunci dalam acara tersebut.
Dengan banyaknya tersangka korupsi yang berlatar belakang pengusaha itu, KPK berharap, ke depan para pengusaha dapat membangun budaya antikorupsi. Para pelaku usaha harus bisa berkontribusi pada upaya pemberantasan korupsi. Transfer pengetahuan dan penyadaran bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa akan terus ditanamkan. Dengan demikian, para pengusaha tak lagi tergiur korupsi. Lebih baik lagi kalau mereka mau memberikan informasi sebagai whistleblower dalam kasus korupsi.
KPK juga berharap pegawai yang berani bersuara membuka kasus korupsi di perusahaan dilindungi oleh perusahaan. Selama ini, mereka yang berani bersuara justru kerap mendapatkan intimidasi dan dikriminalisasi.
Kumbul menjelaskan, dalam upaya pemberantasan korupsi, KPK tak bisa bekerja sendirian. KPK membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. KPK juga berharap pegawai yang berani bersuara membuka kasus korupsi di perusahaan dilindungi oleh perusahaan. Selama ini, mereka yang berani bersuara justru kerap mendapatkan intimidasi dan dikriminalisasi.
Selain itu, dalam rangka membangun motivasi pegawai swasta dan BUMN/BUMD, KPK juga memberikan buku panduan bagaimana menjaga profesionalitas dan integritas mereka. Pegawai swasta, BUMN, dan BUMD juga diberi pendampingan, diskusi, dan bimbingan teknis mengenai tindak pidana korupsi. Tak dimungkiri, selama ini masih banyak yang melazimkan suap dan gratifikasi demi mendapatkan proyek pemerintah. Pengetahuan yang minim ini harus diatasi dengan kerja sama dan transfer informasi dari KPK ke perusahaan swasta.
”KPK, kan, juga memiliki program pencegahan. Kalau bisa, dicegah dulu sebelum kejadian korupsi. Kami tidak mau diam-diam tahu-tahu ada penegakan hukum,” kata Kumbul.
Lindungi ”whistleblower”
Dwi Siska Susanti mengatakan, fakta bahwa pelaku usaha dan korporasi menjadi aktor terbanyak pelaku suap dan gratifikasi sangat memprihatinkan. Pelaku usaha yang ingin berkontribusi pada perekonomian negara justru berkontribusi pada perilaku korup.
Menurut Dwi, budaya suap dan gratifikasi memang telah mengakar di instansi pemerintahan. Dalam berbagai proyek, selalu ada permintaan atau transaksi suap dan gratifikasi. Para pengusaha yang minim pengetahuan akhirnya bersikap pragmatis. Mereka mengiyakan permintaan suap dan gratifikasi agar mendapatkan proyek tertentu di pemerintahan.
”Suap dan gratifikasi masih dianggap sebagai pemulus untuk melancarkan suatu urusan bisnis,” kata Dwi.
Dwi menambahkan, untuk mengatasi permasalahan tersebut, pola pikir dan paradigma perusahaan harus diubah. Pengusaha swasta harus lebih kritis pada permintaan-permintaan tak logis dari pejabat publik atau ASN. Ketika dimintai sesuatu, mereka harus berani menanyakan tujuannya, bahkan menolak jika hal itu mengarah pada suap atau gratifikasi. Sebab, sekali dipenuhi, pejabat sering kali akan meminta lagi dan menganggap bahwa suap dan gratifikasi adalah pelicin proyek.
Baca juga : Pengusaha Penyuap Edhy Prabowo Divonis Dua Tahun Penjara
Selain mengubah pola pikir dan paradigma, pelaku usaha juga diharapkan lebih aktif dalam upaya pemberantasan korupsi. Selain menolak suap dan gratifikasi, pelaku usaha juga dapat melaporkan ke KPK atau kanal-kanal pengaduan yang lain apabila terjadi korupsi. Mekanisme whistleblower ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018. Pelapor akan dilindungi, bahkan jika laporannya bisa menyelamatkan keuangan negara, bisa diberi insentif berupa premi oleh pemerintah.
Namun, sayangnya, realitas itu baru sebatas di atas kertas. Para pelapor selama ini justru kerap tidak mendapatkan perlindungan hukum. Mereka justru kerap dimutasi hingga dipecat ketika ketahuan melaporkan kasus korupsi. Di luar itu, mereka juga kerap mendapatkan intimidasi dan kriminalisasi.
”Kami berharap ke depan regulasi yang melindungi whistleblower ini bisa diperbaiki. Jika ada, perusahaan yang terbukti bersih dan tidak korup bisa diberi penghargaan oleh pemerintah,” kata Dwi.
Ukay Karyadi mengatakan, KPPU selama ini berwenang mengawasi persaingan usaha di pihak swasta. Menurut dia, ada kaitan erat antara korupsi dan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam persaingan usaha tak sehat, kerap terjadi suap dan gratifikasi. Apalagi jika sektor usahanya berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa di pemerintah.
”Selain itu, dari sisi pemerintah, korupsi juga bisa masuk melalui perizinan,” kata Ukay.
Firli Bahuri mengatakan, celah-celah korupsi yang ada dalam konteks hubungan pemerintah dan pelaku usaha harus diperbaiki. Salah satunya dengan memangkas sistem birokrasi yang berbelit-belit. Kemudahan berusaha harus didukung, prosedur berbelit-belit dihilangkan.
KPK juga sudah bekerja sama dengan Kementerian BUMN untuk memperbaiki integritas dan pemahaman pegawai terhadap tindak pidana korupsi. Bahkan, ada sistem whistleblower yang dikembangkan di Kementerian BUMN. Dengan sistem ini, diharapkan pelaku usaha pelat merah itu bersih dari korupsi dan dapat berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
”KPK terus mendukung kementerian, lembaga, dan pemda untuk membangun sistem dan manajemen yang bersih dan antikorupsi,” kata Firli.