Pengusaha Penyuap Edhy Prabowo Divonis Dua Tahun Penjara
Vonis hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa. Hakim dalam menjatuhkan vonis mengacu pula pada putusan terpidana Leonardo Jusminarta, penyuap bekas anggota BPK, Rizal Djalil. Alasannya, mengurangi disparitas putusan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama Suharjito dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (21/4/2021). Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebelumnya, jaksa menuntut Suharjito pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan. Suharjito dinilai melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf (a) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Albertus Usada menilai Suharjito terbukti secara sah dan meyakinkan memberikan suap senilai 77.000 dollar AS, 26.000 dollar AS atau setara Rp 1,4 miliar, serta Rp 706 juta dalam beberapa tahap kepada bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Selain Albertus, hakim anggota dalam persidangan itu adalah Ali Muhtarom, dan Suparman Nyompa.
”Untuk menjaga konsistensi dan penerapan hukum guna mengurangi disparitas putusan dalam perkara yang hampir mirip yaitu terpidana Leonardo Jusminarta Prasetyo. Majelis hakim berpendapat lamanya pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa telah memenuhi rasa keadilan,” kata Usada.
Leonardo merupakan penyuap bekas anggota BPK, Rizal Djalil. Awal Maret lalu, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang juga dipimpin Albertus, memvonis Leonardo dua tahun penjara.
”Mengadili mengabulkan permohonan terdakwa untuk menjadi justice collaborator, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara dua tahun dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara,” ujar Usada.
Pemberian suap itu dilakukan untuk mempercepat pengurusan izin budidaya lobster dan ekspor benih bening lobster (BBL). Uang diserahkan melalui Amiril; Ainul Faqih selaku sekretaris Iis Rosita Dewi yang merupakan istri Edhy; Andreau Misanta Pribadi selaku staf khusus Edhy; dan Ketua Tim Uji Tuntas serta Siswadhi Pranoto Loe, Komisaris PT Perishables Logistik Indonesia (PT PLI).
Uang suap tersebut kemudian digunakan Edhy Prabowo untuk keperluan belanja dirinya dan istrinya, Iis Rosita Dewi, saat perjalanan dinas ke Hawaii, Amerika Serikat.
Menurut majelis hakim, hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dan masyarakat yang sedang giat memberantas korupsi.
Adapun, hal-hal yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum, menjadi tulang punggung keluarga, bersikap kooperatif dalam proses peradilan, memberikan keterangan yang terus terang dalam persidangan, dan menjadi gantungan hidup 1.250 karyawan PT Dua Putra Perkasa Pratama.
Suharjito juga dinilai telah berkontribusi pada pembangunan masjid dan kerap memberikan apresiasi berupa ibadah umrah dan naik haji kepada para karyawan.
Atas putusan tersebut, terdakwa menyatakan menerima putusan tersebut. Sementara itu, jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir.
Ekspor ilegal
Sementara itu, dalam sidang pemeriksaan saksi terdakwa bekas Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo, terungkap dua perusahaan pengekspor benih bening lobster (BBL) alias benur yang melakukan ekspor tanpa surat ketetapan waktu pengeluaran (SKWP), yaitu PT Aquatic SS Lautan Rejeki dan PT Tania Asia Marina. Mereka melakukan ekspor benur pertama kali sekitar bulan Juni tanpa prosedur seharusnya.
Mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M Zulficar Mochtar mengatakan, ada dua perusahaan yang melakukan ekspor BBL pada pertengahan Juni 2020. Dua perusahaan itu lolos sebagai eksportir, walaupun belum mendapatkan SKWP dari pihaknya. Padahal, jika sesuai prosedur, prosesnya harus melewati perizinan di Dirjen Perikanan Tangkap KKP.
”Saya belum pernah mengeluarkan surat apa pun, kok tiba-tiba lolos dua perusahaan itu (sebagai eksportir). Jadi, saya anggap itu ilegal karena banyak proses dilanggar. Tidak boleh lagi ke depan, tata kelola harus pas,” ujar Zulficar saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu.
Albertus Usada sempat mengkritik jaksa yang dinilai setengah-setengah dalam menggali fakta di persidangan. Menurutnya, persoalan dua perusahaan yang mendapatkan izin ekspor tanpa mekanisme yang benar itu adalah masalah besar. Jaksa diharapkan dapat menggali lebih dalam fakta-fakta tersebut. Apalagi, terdakwa lain dalam kasus ini, yaitu Suharjito, telah ditetapkan sebagai pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatan (justice collaborator).
”Jangan sampai ada kesan perusahaan ini tidak tersentuh. Kenapa tidak bisa disentuh? Sebab melakukan ekspor tanpa SPWP itu adalah masalah besar. Ini seharusnya menjadi kewenangan penyidik,” tegas Usada.
Zulficar menerangkan, dirinya pun hanya mengetahui bahwa dua perusahaan itu sudah lolos untuk mengekspor BBL melalui pemberitaan media. Setelah itu, dia melaporkan temuan itu kepada Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Rina.
Rina pun membenarkan dua perusahaan itu telah melakukan ekspor benur. Menurut dia, perizinan yang dimiliki dua perusahaan itu sudah sesuai dengan aturan Peraturan Menteri KKP Nomor 12 Tahun 2020.
Selain itu, Rina mengungkapkan bahwa uang senilai Rp 52,3 miliar yang disetorkan melalui bank garansi belum ada dasar hukumnya. Uang tersebut seharusnya dipungut untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang Tarif Atas Jenis PNBP, setiap 1.000 BBL dikenai tarif Rp 250. Namun, PNBP itu belum diatur secara rinci di Permen KKP Nomor 12 Tahun 2020.
”Apakah pungutan setoran jaminan perikanan (dalam bank garansi) ini belum ada dasar hukumnya?” tanya jaksa KPK.
Direktur PNBP Sumber Daya Alam Kementerian Keuangan Kurnia Charir membenarkan bahwa pungutan itu belum ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, tak bisa dikategorikan sebagai PNBP. Pungutan itu baru bisa disebut sebagai PNBP apabila sudah diatur dalam Permen KKP.
Rina menjelaskan, uang tersebut diterima dari sejumlah eksportir sebagai bentuk komitmen atas diberikannya izin ekspor kepada sejumlah perusahaan untuk mengirimkan benur ke Vietnam.