Edhy Prabowo Didakwa Terima Suap Lebih dari Rp 25 miliar
Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mulai diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta atas dakwaan menerima suap hingga Rp 25 miliar terkait penerbitan izin ekspor benih bening lobster.
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Menteri Kelautan Dan Perikanan Edhy Prabowo diduga telah menerima suap hingga Rp 25 miliar. Uang tersebut diberikan agar Edhy mempercepat izin budidaya lobster dan ekspor benih bening loster.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ronald Ferdinand Worotikan, mengatakan, Edhy diduga telah menerima hadiah berupa uang sejumlah 77.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,127 miliar dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito, melalui sekretaris pribadi Menteri KP Amiril Mukminin dan staf khusus Menteri KP Safri yang juga Wakil Ketua Tim Uji Tuntas.
Edhy juga diduga menerima uang dari Suharjito dan para eksportir benih bening loster (BBL) lainnya sebesar Rp 24,625 miliar melalui Amiril, Ainul Faqih yang merupakan sekretaris pribadi Iis Rosita Dewi (istri Edhy), Andreau Misanta Pribadi selaku staf khusus Menteri KP dan Ketua Tim Uji Tuntas, serta Siswadhi Pranoto Loe selaku komisaris PT Perishables Logistik Indonesia (PT PLI).
Hal tersebut disampaikan oleh Ronald dalam sidang dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (15/4/2021). Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Albertus Usada dengan hakim anggota Suparman Nyompa dan Ali Muhtarom. Jaksa menghadirkan enam terdakwa dalam tiga berkas yang terpisah, yaitu Edhy Prabowo, Amiril Mukminin, Safri, Andreau Misanta Pribadi, Ainul Faqih, dan Siswadhi. Para terdakwa mengikuti persidangan secara daring dari Gedung KPK.
”Uang tersebut diduga diberikan agar Edhy, Andreau, dan Safri mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir BBL lainnya,” kata Ronald.
Baca juga : Sistem Pencegahan Korupsi Diperkuat
Ia mengungkapkan, Edhy berkeinginan untuk memberikan izin pengelolaan dan budidaya lobster serta ekspor BBL dengan mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Ranjungan. Menindaklanjuti keinginan Edhy, sekitar Februari 2020, Andreau mengundang Deden Deni Purnama selaku Direktur PT PLI dan Siswadhi ke rumah dinas Menteri KP di Jakarta.
Sekitar Maret 2020, Amiril menyampaikan kepada Deden bahwa ia membutuhkan perusahaan jasa pengiriman kargo yang memiliki akta dan sedang tidak aktif atau sedang tidak memiliki kegiatan. Jasa pengiriman kargo itu akan digunakan untuk proyek ekspor BBL. Atas permintaan tersebut, Deden menyampaikannya kepada Siswadhi. Kemudian, Siswadhi menawarkan PT Aero Citra Kargo (PT ACK) yang juga perusahaan miliknya kepada Amiril.
Amiril dan Andreau meminta Deden untuk mengubah akta PT ACK dengan memasukkan nama Nursan dan Amri ke dalam struktur kepengurusan PT ACK. Keduanya merupakan teman dekat dan representasi dari Edhy. Nama Nursan dan Amri dimasukkan sebagai komisaris dan direktur utama. Padahal, senyatanya nama keduanya hanya dipinjam sebagai pengurus perusahaan dan tidak memiliki saham di PT ACK. Karena Nursan meninggal, namanya diganti dengan Achmad Bahtiar.
Setelah dilakukan perubahan akta perusahaan, PT ACK bekerja sama dengan PT PLI. PT PLI mengurus seluruh kegiatan ekspor BBL, sedangkan PT ACK hanya sebagai perusahaan yang melakukan koordinasi dengan perusahaan pengekspor BBL dan menerima keuntungan. Kemudian, PT ACK membuka rekening giro di Bank BCA untuk menerima seluruh uang biaya ekspor BBL sebesar Rp 1.800 per ekor BBL.
Baca juga : Korupsi Perikanan dan Dampaknya
Pada 4 Mei 2020, Edhy menerbitkan Peraturan Menteri KP tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di wilayah Indonesia yang isinya, antara lain, mengizinkan dilakukannya budidaya lobster dan ekspor benih bening lobster.
Masih pada hari yang sama, atas keputusan Edhy tersebut, Suharjito berkeinginan untuk melakukan kegiatan budidaya lobster dan ekspor BBL. Kemudian, Edhy memperkenalkan Suharjito kepada Safri.
Pada pertengahan Juni 2020, Safri meminta PT DPPP agar memberikan uang komitmen kepada Edhy melalui dirinya sebesar Rp 5 miliar,yang dapat diberikan secara bertahap sesuai dengan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan izin budidaya lobster dan ekspor BBL tersebut. Suharjito pun menyanggupinya.
Dalam pertemuan itu, Suharjito menyerahkan uang kepada Safri sejumlah 77.000 dollar AS sambil mengatakan, ”Ini titipan buat Menteri.” Selanjutnya, Safri menyerahkan uang tersebut kepada Edhy melalui Amiril.
Pada 16 Juni 2020, bertempat di KKP, Suharjito dan Agus Kurniyawanto selaku Manajer Operasional Kapal PT DPPP bertemu kembali dengan Safri dengan tujuan agar penerbitan surat penetapan pembudidayaan lobster PT DPPP dipercepat. Dalam pertemuan itu, Suharjito menyerahkan uang kepada Safri sejumlah 77.000 dollar AS sambil mengatakan, ”Ini titipan buat Menteri.” Selanjutnya, Safri menyerahkan uang tersebut kepada Edhy melalui Amiril.
Pada 26 Juni 2020, KKP menerbitkan surat penetapan pembudidayaan lobster atas nama PT DPPP yang ditandatangani oleh Slamet Soebjakto selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Budidaya. Pada 6 Juli 2020, KKP menerbitkan izin ekspor BBL berupa surat penetapan calon eksportir BBL atas nama PT DPPP yang ditandatangani oleh M Zulficar Mochtar selaku Dirjen Perikanan Tangkap.
Atas arahan Edhy, pada 1 Juli 2020, Antam Novambar selaku Sekretaris Jenderal KKP membuat nota dinas kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan perihal tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Indonesia.
Menindaklanjuti nota dinas tersebut, Habrin Yake selaku Kepala Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta I (Soekarno-Hatta) menandatangani surat komitmen dengan semua eksportir BBL sebagai dasar untuk penerbitan bank garansi di Bank BNI yang dijadikan jaminan ekspor BBL.
Atas permintaan Andreau, para eksportir BBL diharuskan menyetor uang ke rekening bank garansi sebesar Rp 1.000 per ekor BBL yang diekspor yang telah ditetapkan oleh Edhy, walaupun Kementerian Keuangan belum menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ekspor BBL. Di bank garansi tersebut terkumpul uang Rp 52,319 miliar.
Para eksportir BBL diharuskan menyetor uang ke rekening bank garansi sebesar Rp 1.000 per ekor BBL yang diekspor yang telah ditetapkan oleh Edhy, walaupun Kementerian Keuangan belum menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ekspor BBL.
Sejak September-November 2020, PT DPPP telah mengekspor BBL ke Vietnam sebanyak 642.684 BBL dengan menggunakan jasa kargo PT ACK dengan biaya keseluruhan Rp 940 juta. Sejak PT ACK beroperasi pada Juni-November 2020, mereka mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp 38,518 miliar yang diterima dari Suharjito dan perusahaan eksportir BBL lainnya.
Pada 12 November 2020, uang tersebut dibagikan secara bertahap kepada pemilik saham PT ACK seolah-olah sebagai dividen kepada Amri, Achmad Bahtiar, dan Yudi Surya Atmaja (representasi dari PT PLI). Uang sebesar Rp 24,625 miliar dari Amri dan Achmad selaku representasi dari Edhy dikelola oleh Amiril.
Edhy menggunakan uang tersebut, di antaranya, untuk membeli tanah; sewa apartemen; membeli 17 sepeda jenis road bike, mobil, dan jam tangan; biaya balik nama 27 bidang tanah; ditransfer kepada sejumlah nama; serta dibelanjakan bersama Iis saat perjalanan dinas ke Amerika Serikat.
Seusai mendengarkan pembacaan dakwaan, para terdakwa tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Namun, terdakwa Siswadhi mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerja sama dengan penegak hukum. Siswadhi mengaku sudah mengajukan JC sejak penyidikan. Ia berkomitmen untuk kooperatif saat persidangan nanti sesuai dengan apa yang sudah disampaikan dalam berita acara pemeriksaan.
Perbuatan Edhy diancam pidana dalam Pasal 12 Huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun ancaman hukuman pidana Pasal 12 adalah penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Sementara itu, ancaman hukuman Pasal 11 adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.