Pemerintah membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang bertugas menagih dan memburu aset-aset terkait BLBI dengan nilai total Rp 108 triliun. Namun, upaya itu akan penuh liku.
JAKARTA, KOMPAS - Aset dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI masih dapat dirampas, termasuk kasus yang sudah dihentikan penyidikannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemerintah sudah membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI untuk mengejar utang perdata BLBI yang jumlahnya lebih dari Rp 108 triliun.
Namun, upaya ini tidak mudah, salah satunya karena Indonesia belum memiliki UU Perampasan Aset. RUU Perampasan Aset selalu masuk prolegnas jangka menengah sejak 2015, tetapi tak pernah dibahas di DPR.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej mengatakan, aset dari perkara BLBI masih dapat dirampas, termasuk terhadap perkara yang penyidikannya dihentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
”Oiya, sangat mungkin. Apabila penyidik menganggap tidak ada unsur pidana, tetapi ada kerugian secara nyata, bisa diajukan gugatan perdata, kan, undang-undangnya begitu,” ujar Eddy di Jakarta, Jumat (9/4/2021).
Eddy menjelaskan, menurut Pasal 32 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ketika ada kerugian keuangan negara secara nyata, penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada jaksa pengacara negara untuk menentukan gugatan. Kejaksaan sebagai pengacara negara dapat mengajukan gugatan secara perdata.
Pemerintah juga dapat merampas aset dari BLBI yang berada di luar negeri tergantung bagaimana penelusuran aset tersebut. Untuk memburu aset di luar negeri, otoritas pusat ada di Kementerian Hukum dan HAM karena ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Meskipun demikian, kata Eddy, pengembalian aset tidak mudah. Selain membutuhkan waktu yang lama, jalannya juga berliku. Apalagi, Indonesia masih belum memiliki UU Perampasan Aset.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melalui cuitan di akun Twitter-nya, Kamis malam, mengatakan, setelah KPK menghentikan penyidikan terhadap pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih, fokus pemerintah adalah menagih dan memburu aset-aset terkait kasus BLBI. Menurut Mahfud, jumlah utang perdata terkait BLBI lebih dari Rp 108 triliun.
Untuk itu, lanjut Mahfud, pada 6 April, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
”Di Keppres tersebut ada lima menteri ditambah Jaksa Agung dan Kapolri yang ditugasi mengarahkan satgas melakukan penagihan dan pemrosesan semua jaminan agar segera jadi aset negara,” kata Mahfud.
Adapun kasus BLBI bermula dari kondisi kesulitan perbankan di Indonesia pada 1997. Saat itu likuiditas perbankan terganggu karena tekanan pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang diikuti pengambilan uang dari bank oleh masyarakat secara serentak. Dalam kondisi itu, pemerintah memutuskan memberikan bantuan likuiditas atau pinjaman kepada bank agar bisa memenuhi kebutuhan likuiditas.
Belakangan ditemukan ada penyimpangan, kelemahan sistem, serta kelalaian dalam mekanisme penyaluran dan penggunaan BLBI yang merugikan keuangan negara. Dari total BLBI yang dikucurkan Rp 144,5 triliun, terdapat potensi kerugian negara Rp 138,4 triliun atau 95,7 persen (Kompas, 25/5/2003).
KPK tidak masuk satgas
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkapkan, KPK tidak termasuk dalam Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI karena kewenangan melaksanakan hak tagih secara keperdataan adalah pemerintah, dalam hal ini jaksa pengacara negara.
Ia menegaskan, meskipun KPK tidak termasuk dalam satgas itu, KPK akan mendukung pihak-pihak yang ditunjuk dalam keppres tersebut dengan memberikan data terkait kasus BLBI yang pernah diperoleh dalam penyelidikan ataupun penyidikan yang sampai saat ini masih tersimpan rapi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, penagihan aset terkait BLBI penting. Namun, sebenarnya hal itu bisa dilakukan pemerintah melalui aparat penegak hukum, yakni kejaksaan.
”Jadi, seharusnya hal itu sudah dilakukan melalui mekanisme hukum saja. Keppres ini jangan hanya jadi gimik. Kalau tujuannya memulihkan kerugian keuangan negara, perlu diperjelas, hal itu dilakukan lewat mekanisme apa,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, yang justru menjadi masalah adalah keengganan penegak hukum melakukan penegakan hukum terhadap obligor. Jika pemerintah mau serius, lanjut Kurnia, semestinya sedari awal pemerintah melalui kejaksaan dapat mengajukan gugatan perdata kepada para obligor.
Menurut dia, kemunculan Keppres 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI menimbulkan kesan tiba-tiba atau latah setelah penyidikan kasus Sjamsul Nursalim dihentikan.