Di Balik Terbitnya Keputusan Penghentian Penyidikan BLBI
Meski telah melalui kajian mendalam dan panjang, penghentian penyidikan KPK dalam kasus BLBI mendapat kritik tajam. Hal tersebut dinilai dapat berdampak pada citra buruk lembaga antikorupsi itu.
Tidak mudah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 untuk pertama kali pada pekan lalu. Selain proses kajiannya lama, KPK juga melibatkan ahli hukum pidana dari eksternal. Namun, pada akhirnya penerbitan SP3 itu berujung kritik dari masyarakat sipil. Langkah ini dinilai akan membuat citra KPK semakin memburuk.
Kamis (1/4/2021), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengumumkan penghentian penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan istrinya, Itjih.
Keputusan tersebut diambil setelah upaya hukum luar biasa peninjauan kembali yang diajukan KPK terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasasi terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ditolak.
Ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (7/4/2021), Alex mengungkapkan, berdasarkan putusan kasasi MA dalam perkara Syafruddin, KPK tidak mungkin melanjutkan proses pidana korupsi terhadap perkara BLBI. Sebab, MA memutuskan bahwa Syafruddin terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Namun, perbuatan Syafruddin bukan perbuatan pidana, melainkan perbuatan administratif atau perdata.
Baca juga : Kasus yang Sudah Di-SP3 KPK Dinilai Tetap Bisa Dibuka Kembali
Menurut Alex, penerbitan SP3 ini bukan hal yang luar biasa. ”Menjadi heboh karena baru pertama kali KPK melakukan. Yang penting dalam penerbitan SP3, harus bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menceritakan, proses penghentian penyidikan ataupun penuntutan oleh KPK tidak mudah dan seketika. Namun, perlu pertimbangan matang dan kajian yang mendalam terlebih dahulu.
Sebelum SP3 tersebut diterbitkan pada Rabu (31/3/2021), KPK telah melakukan kajian lebih dari setahun. Kajian tersebut tidak hanya dilakukan oleh internal KPK, tetapi juga melibatkan ahli hukum pidana dari eksternal.
Sebelum SP3 tersebut diterbitkan pada Rabu (31/3/2021), KPK telah melakukan kajian lebih dari setahun dengan melibatkan para ahli hukum.
Mereka adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno, serta Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM Eddy OS Hiariej sebelum menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM.
”Kajiannya bukan hanya KPK sendiri. Kalau KPK sendiri nanti subyektif. Ini juga melibatkan ahli-ahli dari eksternal. Itu jadi catatan penting. Tidak mudah menghentikan perkara di KPK. Perlu kajian dan pertimbangan matang,” tutur Ali.
Selain kajian, KPK juga melakukan tiga kali gelar perkara. Gelar perkara tersebut diikuti oleh penuntut umum, direktur dan deputi di penindakan, serta pimpinan KPK. Selain itu, ahli pidana juga menyampaikan pendapatnya secara daring.
Gelar perkara terakhir dilakukan pada Senin (29/3/2021) dan disepakati penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih dihentikan sebagaimana dua gelar perkara sebelumnya. Ali mengungkapkan, proses yang rumit tersebut menunjukkan keseriusan KPK dalam menangani kasus ini. Bahkan, mereka melakukan peninjauan kembali yang tidak pernah dilakukan oleh KPK sejak berdiri. Ia menegaskan, penghentian ini dilakukan murni karena aturan hukum.
Penghentian penyidikan ini dilakukan karena adanya putusan MA yang menyatakan perbuatan Syafruddin bukan pidana.
Dasar penghentian penyidikan ini bukan karena penyidikan tidak selesai dalam jangka waktu dua tahun atau kedua tersangka berstatus daftar pencarian orang (DPO) yang tidak ditemukan. Penghentian penyidikan ini dilakukan karena adanya putusan MA yang menyatakan perbuatan Syafruddin bukan pidana.
Sementara itu, dalam dakwaan, Syafruddin bersama-sama dengan Sjamsul dan Itjih dalam satu peristiwa serta rangkaian perbuatan yang tidak bisa dipisahkan. Alhasil, jika satu orang sudah dinyatakan bukan tindak pidana, pelaku pesertanya pasti tidak bisa dilanjutkan.
Baca juga : Kisah Dua Dekade Sjamsul Nursalim
Selain itu, dengan bebasnya Syafruddin, syarat unsur adanya perbuatan penyelenggara negara tidak terpenuhi. Dalam dakwaan tersebut ada nama mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorojatun Koentjoro-Jakti. Namun, Dorojatun belum pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
KPK juga tidak dapat melakukan penyidikan terhadap Dorojatun. Sebab, ia dalam satu rangkaian perbuatan juga dengan Syafruddin.
”Ada peristiwa dan perbuatan itu benar, tetapi bukan tindak pidana. Otomatis seluruhnya bukan tindak pidana sehingga KPK tidak bisa melanjutkan. Kalau seperti ini, apakah harus menunggu dua tahun? Tentu tidak,” kata Ali.
Lapor ke Dewas
Sebelumnya, Alex menyatakan bahwa penerbitan SP3 terkait kasus BLBI telah disampaikan kepada Dewan Pengawas KPK. Namun, anggota Dewan Pengawas KPK, Albertina Ho, mengatakan, laporan SP3 tersebut dilakukan setelah SP3 diterbitkan, bukan sebelum terbit.
Dewan Pengawas juga tidak bisa ikut campur dalam penerbitan SP3 tersebut. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, penerbitan SP3 menjadi kewenangan KPK.
Meskipun demikian, sesuai dengan Pasal 40 Ayat (2), KPK harus melaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu sejak SP3 tersebut dikeluarkan. Saat dihubungi pada Rabu (7/4/2021), Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak H Panggabean mengatakan bahwa Dewas telah menerima laporan SP3 tersebut dan akan mempelajarinya. Namun, Dewas terbatas hanya mendapatkan laporan.
KPK dapat melakukan upaya hukum lainnya. KPK bisa melakukan gugatan perdata.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho membenarkan bahwa dirinya telah dimintai masukan oleh KPK. Ia diundang oleh KPK dalam forum diskusi sebagai tindak lanjut dari perkara Syafruddin.
Menurut Hibnu, secara aspek formal, perkara tersebut tidak mungkin lagi dilanjutkan karena Syafruddin sudah diputus lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag oleh MA. Meskipun demikian, KPK dapat melakukan upaya hukum lainnya.
Baca juga : Masih Ada Jalan Hukum
Hibnu menyarankan agar KPK melakukan gugatan perdata. Selain itu, KPK bisa melakukan persidangan in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa. Pilihan lainnya, KPK bisa membuat formula baru untuk mencari siapa yang menjadi penyerta dari penyelenggara negara.
Ia menegaskan, penghentian penyidikan ini sifatnya tidak abadi. Penghentian penyidikan ini dilakukan demi kepastian hukum. Sebab, seseorang tidak bisa menjadi tersangka sepanjang tahun.
”Penghentian ini untuk kepentingan hukum karena belum ada bukti yang mengarah ke sana. Karena itu, ini menjadi pekerjaan rumah KPK untuk membuktikan kembali terhadap perkara yang lain. KPK harus memulai lagi formulasi kasus supaya Sjamsul dan Itjih bisa dimasukkan,” kata Hibnu.
Adapun upaya yang bisa dilakukan masyarakat terhadap perkara yang sudah dihentikan penyidikannya adalah dengan melakukan praperadilan. Hibnu menuturkan, masyarakat bisa melakukan praperadilan dengan menunjukkan buktinya. Ketika gugatan praperadilan diterima, perkara tersebut dapat dibuka lagi dan KPK bisa melakukan penyidikan kembali.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan menempuh jalur tersebut. Koordinator MAKI Boyamin Saiman akan melakukan gugatan praperadilan melawan KPK agar membatalkan SP3 terhadap Sjamsul dan Itjih. MAKI berencana segera mengajukan gugatan praperadilan maksimal akhir April 2021.
Kuasa hukum Sjamsul dan Itjih, Otto Hasibuan, mengapresiasi KPK atas keputusannya mengeluarkan SP3 terhadap kliennya. Ia menilai keputusan ini sangat tepat dan sesuai dengan hukum. Berdasarkan putusan kasasi MA yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak ada basis legal untuk meneruskan penyidikan terhadap kliennya.
Ia mengungkapkan, kasus ini telah berlangsung lebih dari 20 tahun sehingga secara hukum pun seharusnya telah kedaluwarsa. Kliennya beberapa kali telah dinyatakan selesai memenuhi kewajibannya oleh Pemerintah Indonesia, tetapi masih terus dipermasalahkan sehingga tidak ada jaminan kepastian hukum.
Menurut Otto, keputusan KPK ini memberikan angin segar dalam penegakan hukum oleh KPK di Indonesia, khususnya dalam memberi jaminan kepastian hukum.
Kontroversi
Keputusan KPK yang tidak mudah dalam mengeluarkan SP3 tersebut mendapatkan kritik tajam dari masyarakat sipil. Bahkan, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, ikut menyoroti SP3 yang dilakukan KPK dalam kasus BLBI ini.
Menurut Mardani, SP3 tersebut tidak mencerminkan pemihakan pada keadilan. Apalagi, Sjamsul dan Itjih pergi ke luar negeri serta menjadi buron KPK.
Sementara itu, menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, putusan lepas yang dijatuhkan MA terhadap Syafruddin keliru dan diwarnai kontroversi. Sebab, kesimpulan majelis hakim yang menyebutkan perkara yang menjerat Syafruddin bukan perbuatan pidana bertentangan dengan fakta persidangan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
Pengadilan tingkat pertama dan banding secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa. Selain itu, perdebatan perihal pidana atau perdata seharusnya sudah selesai ketika permohonan praperadilan Syafruddin ditolak oleh pengadilan negeri. Waktu mengajukan permohonan praperadilan, Syafruddin melalui kuasa hukumnya juga membawa argumentasi yang sama.
Penerbitan SP3 dalam kasus BLBI ini akan berdampak buruk terhadap citra KPK.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, dan peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai, penerbitan SP3 ini akan berdampak buruk terhadap citra KPK.
Seperti diketahui, indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2020 berada di skor 37 atau turun tiga poin dibandingkan dengan 2019. Jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada pertengahan tahun lalu juga menunjukkan penurunan citra KPK.
Revisi Undang-Undang KPK menjadi salah satu faktor yang dinilai menjadi penyebab penurunan tersebut. Adapun KPK memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3 merupakan salah satu dampak dari revisi tersebut.
ICW berharap, kewenangan itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi saat menguji konstitusionalitas undang-undang tersebut agar tidak ada lagi perkara yang dihentikan oleh KPK. Apalagi, kewenangan tersebut bertentangan dengan putusan MK pada 2004. Kala itu, MK menegaskan, KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 untuk mencegah KPK melakukan penyalahgunaan kewenangan.
Mengutip pernyataan Ketua KPK 2011-2015 Abraham Samad dalam opininya di harian Kompas yang berjudul ”KPK (Terancam) Lumpuh” pada 9 September 2019, KPK menjadi satu-satunya lembaga negara yang keberadaannya tidak disenangi banyak pihak. Mereka yang tidak menyukai KPK adalah orang-orang yang tidak sejalan dengan agenda antikorupsi yang dijalankan KPK.
Untuk melumpuhkan KPK, salah satu siasatnya adalah memberikan kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. ”KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3,” tulis Abraham.