Ada kekhawatiran polisi virtual justru menjadi polisi bahasa yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat di ruang maya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat dikhawatirkan terenggut oleh polisi virtual. Penyebabnya, belum ada kejelasan kriteria suatu unggahan atau konten melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Polisi virtual hadir berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor 2/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Mereka memantau aktivitas di media sosial hingga memperingatkan suatu unggahan atau konten berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Jika merujuk laporan Digital 2020 Indonesia Data Report oleh Hootsuite (We are Social), polisi virtual akan memantau 160 juta pengguna media sosial. Adapun waktu menggunakan media sosial selama 3 jam 26 menit.
Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Elsam, mengatakan, polisi virtual bisa jadi menguatkan efek ketakutan sehingga publik kian khawatir ketika akan berekspresi atau berpendapat di media sosial. Di sisi lain pemantauan secara masif tanpa landasan hukum yang jelas berpotensi melanggar privasi.
”Polisi virtual bisa berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Publik bisa berpikir jangan-jangan saya diidentifikasi. Jangan-jangan saya keliru atau salah dalam unggahan atau konten,” ujar Wahyudi ketika dihubungi Jumat (26/2/2021).
Wahyudi menyebutkan bahwa di beberapa negara pemantauan media sosial dilakukan oleh otoritas independen bukan penegak hukum. Australia, misalnya, dengan The Australian Communications and Media Authority atau ACMA. Salah satu tugasnya mengingatkan dan menghapus unggahan atau konten.
Polisi virtual bisa berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Publik bisa berpikir jangan-jangan saya diidentifikasi. Jangan-jangan saya keliru atau salah dalam unggahan atau konten
Contoh lainnya Jerman yang memerangi disinformasi melalui The Network Enforcement Act atau NetzDG sejak 1 Oktober 2017. NetzDG memantau penyedia platform media sosial dengan lebih dari 2 juta pengguna di Jerman; mengadopsi prosedur pengaduan yang transparan dan efektif terhadap aduan konten yang melanggar ketentuan hukum; menghapus atau memblokir akses terhadap konten; dan melaporkan penanganan aduan konten secara berkala kepada otoritas administrasi.
NetzDG berpedoman pada ketentuan hukum Jerman dalam menentukan ruang lingkup konten yang melanggar hukum. Penyedia platform pun berkewajiban menghapus konten atau menentukan konten harus dihapus atau tidak. Kegagalan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban itu akan berakibat pada sanksi denda hingga 50 juta euro.
”Problemnya UU ITE belum mengatur hal seperti itu. Ke depan perlu diperbincangkan lebih lanjut, lebih detail terkait tata kelola konten internet,” kata Wahyudi.
Wahyudi justru menyarakan melakukan peningkatan pada literasi digital atau literasi informasi dibandingkan polisi virtual, guna mewujudkan ruang digital yang bersih, sehat, dan produktif. Pemantauan sebaiknya juga dilakukan oleh penyedia platform media sosial karena sudah memiliki peraturan komunitas atau lembaga independen yang punya otoritas khusus.
Langkah-langkah polisi virtual
Sebelumnya pada Rabu (24/2/2021) lalu, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono menjelaskan cara kerja polisi virtual.
Polisi virtual memantau aktivitas di media sosial; melaporkan unggahan atau konten yang berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik; meminta pendapat para ahli, seperti ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE; serta mengirim pesan peringatan jika ada potensi melanggar hukum sebanyak dua kali.
Dengan langkah-langkah tersebut, harapannya pengguna mengoreksi atau menghapus unggahan yang berpotensi melanggar hukum. Dengan demikian tidak ada pihak yang merasa terhina atau melapor kepada polisi. Polisi pun akan mengedepankan mediasi jika ada laporan. Apabila mediasi buntu, proses hukum berjalan sesuai tahapannya.
Argo menyampaikan sejauh ini sudah ada tiga teguran kepada pengguna media sosial. Salah satunya akun yang mengunggah gambar beserta tulisan ”Jangan Lupa Saya Maling”.
Menanggapi unggahan tersebut, Argo mengaku kepolisian telah melayangkan surat teguran kepada pemilik akun. ”Virtual police alert. Peringatan 1. Konten Twitter Anda yang diunggah 21 Februari 2021 pukul 15.15 WIB berpotensi pidana ujaran kebencian. Guna menghindari proses hukum lebih lanjut diimbau untuk segera melakukan koreksi pada konten media sosial setelah pesan ini Anda terima. Salam Presisi,” bunyi surat teguran.
Upaya edukasi
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memandang bahwa kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat tidak selalu sejalan dengan kedewasaan dalam menggunakan media sosial. Dampaknya muncul banyak kasus saling lapor dengan tudingan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Di sisi lain, penyidik masih menggunakan hukum pidana sebagai upaya pertama. Akibatnya, ada banyak pengaduan ke kepolisian sehingga muncul kritikan adanya kriminalisasi.
Poengky Indarti, Komisioner Kompolnas, mengatakan bahwa Surat Edaran Kapolri Nomor 2/2021 sebagai panduan penyidik untuk mengedepankan tindakan preventif dan preemtif, yakni polisi virtual untuk mengedukasi masyarakat. Apabila ada pelaporan, penyidik harus mengupayakan mediasi dan penyelesaian masalah melalui restorative justice, pendekatan terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
”Kompolnas akan memantau pelaksanaannya dan optimistis polisi virtual akan berjalan baik, seperti patroli siber yang dilakukan untuk menjaga suasana kondusif saat pilkada dan pemilu,” kata Poengky.
Ia berharap Polri melatih dan melibatkan kelompok Bhabinkamtibmas untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kesadaran budaya beretika di ruang digital. Polri juga perlu bekerja sama dengan kementerian/lembaga, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ataupun tokoh masyarakat dan media massa. Dengan demikian, dapat terwujud ruang digital yang bersih, sehat, dan produktif.