Penyebaran berita hoaks dan perundungan siber yang masif menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat keadaban yang rendah di dunia maya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
KOMPAS/HANDINING
Ilustrasi tentang perilaku banal warga di media sosial.
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran berita hoaks dan perundungan siber yang tinggi menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat keadaban yang rendah di dunia maya. Literasi digital perlu terus diperbaiki.
Rendahnya tingkat kesopanan masyarakat Indonesia di dunia maya terekam dalam riset tahunan Microsoft mengenai interaksi pengguna internet yang berjudul ”Digital Civility Index (DCI)” yang dipublikasikan pada Februari 2021.
Riset edisi kelima itu dilakukan di 32 negara dengan 16.000 responden pada April dan Mei 2020. Sebanyak 503 responden berasal dari Indonesia.
Salah satu temuan di Indonesia adalah kemerosotan kesopanan bersosial di dunia maya oleh netizen dewasa dengan rentang usia 18-74 tahun. Tahun 2020, skor DCI netizen dewasa Indonesia memburuk 16 poin menjadi 83, sementara responden remaja usia 13-17 tahun stabil dengan skor 68 persen dibanding tahun lalu. Semakin rendah skor DCI, semakin baik tingkat kesopanan daring (online civility).
Secara keseluruhan, skor DCI Indonesia berada di posisi 76. Ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan. Di negara-negara Asia Pasifik, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura, Taiwan, dan Australia.
Faktor yang memperburuk skor DCI tahun 2020 adalah berita bohong atau hoaks dan penipuan di internet (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), dan diskriminasi (13 persen).
Perundungan di dunia maya bisa menimpa siapa saja. Hafidz Khoiri (30) pernah mengalami perundungan siber ketika aktif berkomentar di media sosial. Pengalaman tersebut dirasakan wiraswasta di Jakarta itu ketika ia menyampaikan keluhan mengenai banjir melalui akun Instagram Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, akhir pekan lalu.
Ia mengeluhkan banjir yang kini melanda rumahnya, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi. ”Komentar saya soal keluhan banjir itu diserang sejumlah akun-akun tidak dikenal. Ada yang bilang saya menyampaikan cerita bohonglah, saya golongan pembenci gubernurlah, sampai buzzer bayaran,” katanya ketika dihubungi Kamis (25/2/2021).
Hafidz mengaku, keluhan yang ia sampaikan di media sosial murni untuk menyampaikan aspirasi dan perhatian dari masyarakat, baik yang terdampak banjir maupun tidak. Namun, ia menyayangkan adanya kesalahpahaman atau serangan dari pengguna internet yang akhirnya membuatnya takut mengemukakan pendapatnya di internet.
Analis media sosial, Ismail Fahmi, yang dihubungi secara terpisah menjelaskan, perundungan siber dan penyebaran berita bohong di internet selalu muncul setiap ada peristiwa yang banyak menarik perhatian masyarakat. Hal ini, menurut dia, kerap terjadi di kalangan pengguna internet atau netizen dewasa yang mendominasi penggunaan internet.
Menurut laporan layanan manajemen konten HootSuite, dan agensi pemasaran media sosial We Are Social, pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini sebanyak 202,6 juta jiwa dari total 274, 9 juta jiwa penduduk.
Menurut Ismail, pendidikan etika berinternet perlu diajarkan sejak dini, bahkan sejak usia prasekolah. ”Cara agar civility kita bisa lebih baik adalah memulai dari pendidikan dini. Walau dari penelitian kesopanan berinternet anak muda masih bagus, untuk ke depan perlu dipikirkan. Kita harus punya digital citizenship atau pendidikan yang mengarah ke pembentukan masyarakat digital,” tuturnya.
Selama 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan 1.387 jenis hoaks yang teridentifikasi sejak pandemi Covid-19 pertama kali menyentuh Indonesia pada Maret 2020. Berita hoaks juga banyak mengiringi distribusi vaksin Covid-19. Sampai 23 Februari 2021, Kominfo mengidentifikasi 111 isu hoaks yang berkaitan dengan vaksin Covid-19.
Selain menghapus konten yang terbukti hoaks dari media sosial sebagai sumber penyebaran, berita yang sudah mengganggu ketertiban umum akan ditindaklanjuti dengan melibatkan penegak hukum.
Literasi digital
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Komunikasi dan Media Massa Henry Subiakto, yang dihubungi Kompas, berpendapat, kontribusi netizen dewasa dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian terjadi karena rendahnya literasi digital.
Hal ini semakin diperparah dengan terjadinya polarisasi politik. ”Tahun politik pada 2014, 2017, dan 2019 punya andil dalam pembentukan polarisasi politik khususnya di media sosial. Ini jadi contoh buruk untuk generasi muda, yang menurut survei, lebih sopan dalam berinternet,” ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah dan politisi berperan memunculkan keteladanan di dunia maya dengan menghadirkan interaksi dan komunikasi yang lebih sopan. Sikap bijak dalam berinteraksi di internet juga perlu lebih disadari oleh pengguna internet. Apalagi, jejak digital yang mudah ditemui kerap menentukan persepsi dan karakter pribadi seseorang.
”Kita semua, masyarakat dan pemerintah, perlu meningkatkan literasi digital dengan memanfaatkan internet secara sopan, sehat, dan produktif,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah terus berupaya dan berbenah untuk memerangi hoaks dan perundungan siber melalui kerja sama dengan penegak hukum. Perangkat hukum, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menurut dia, juga perlu didukung dan disempurnakan untuk memperbaiki perilaku masyarakat di dunia maya.
Selain itu, ia juga menyoroti peran media konvensional. Media diimbau agar tidak menggunakan war journalism atau jurnalisme perang yang hanya memperpanas konflik. ”Media harus bisa memetakan konflik, kenapa terjadi konflik, dan melihat konteksnya dari berbagai sisi, agar masyarakat lebih paham,” imbuhnya.
Peran pendidikan juga dinilai penting untuk membentuk masyarakat yang melek digital dan sopan di dunia maya.