Polri Kedepankan Edukasi dan Mediasi Saat Tangani Kasus Ujaran Kebencian
Polri akan mengedepankan langkah edukatif dalam menangani kasus UU ITE. Pedoman penanganan kasus pun akan dikeluarkan. Penyidik pun diharapkan dapat membedakan hoaks, kritik, masukan, atau pencemaran nama baik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melalui Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, kepolisian memastikan akan menggunakan pendekatan edukatif jika menemukan indikasi ujaran kebencian di dunia maya. Penyidik pun juga akan dibekali pemahaman untuk tidak melakukan penegakan hukum jika terdapat laporan terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam jumpa pers, Selasa (23/2/2021), mengatakan, SE Kapolri Nomor 2/2021 menjadi pedoman jajaran penyidik bahwa dalam rangka menegakkan hukum yang berkeadilan, khususnya terkait UU ITE. Melalui pendekatan edukasi dan persuasif, diharapkan nantinya tidak terjadi lagi dugaan kriminalisasi terhadap orang atau pihak yang dilaporkan ke polisi.
”Di media sosial, seandainya ada suatu komunikasi kata-kata antara dua orang atau lebih yang menyinggung perasaan dan mengarah ke pidana, nanti akan kita beri edukasi, kita akan beri informasi bahwa kata-kata seperti ini tidak baik, melanggar pidana, dan ini diancam pasal sekian. Jadi, kita berikan edukasi dulu,” kata Argo.
Melalui pendekatan edukasi dan persuasif, diharapkan nantinya tidak terjadi lagi dugaan kriminalisasi terhadap orang atau pihak yang dilaporkan ke polisi.
Terhadap pihak yang bersengketa atau berseteru, lanjut Argo, penyidik akan memberikan ruang mediasi kepada kedua belah pihak. Demikian pula jika dalam sebuah perkara ternyata korban atau pelapor masih ingin meneruskan perkara secara pidana sementara tersangka sudah meminta maaf, penyidik tidak akan menahan terlapor dan tetap akan memberikan ruang untuk mediasi kembali.
Menurut Argo, penyidik harus bisa membedakan antara kritik, hoaks, pencemaran nama baik, atau masukan. Untuk itu, Badan Reserse Kriminal Polri sedang menyusun petunjuk teknis yang nantinya akan dibagikan kepada para penyidik.
Di sisi lain, para unsur pimpinan satuan atau atasan dari para penyidik akan mengawasi para penyidik dalam melaksanakan SE Kapolri Nomor 2/2021. Mereka, lanjut Argo, akan menilai para penyidik atau jajarannya, termasuk dengan memberikan ganjaran atau sanksi bagi mereka.
Secara terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpandangan, penyidik diharapkan benar-benar membedakan ujaran yang sebenarnya adalah kritik, penghinaan, atau pencemaran nama baik. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dilihat bahwa jika hal itu menyangkut kepentingan publik, hal itu bukan termasuk pencemaran nama baik.
Penyidik diharapkan benar-benar membedakan ujaran yang sebenarnya adalah kritik, penghinaan, atau pencemaran nama baik.
Menurut Asfinawati, SE Kapolri Nomor 2/2021 memiliki elemen yang sama dengan SE Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). SE yang diterbitkan Jenderal (Pol) Badrodin Haiti tersebut dinilai juga mengutamakan mediasi.
”Tetapi di lapangan tidak terjadi karena yang terjadi adalah pemilahan dan pemilihan kasus. Kalau yang kritis langsung kena (UU ITE), kalau yang membela pemerintah tidak. Jadi terbukti tidak efektif karena SE itu, kan, tidak bersifat mengikat,” kata Asfinawati.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu bersama Koalisi Masyarakat Sipil meminta agar pihak independen dilibatkan dalam tim kajian UU ITE. Pernyataan tersebut menanggapi Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian UU ITE yang disahkan 22 Februari 2021.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, pasal-pasal karet UU ITE lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kuasa, yakni penguasa, pengusaha, atau aparat, untuk memidana jurnalis, aktivis pembela HAM, akademisi dalam menyampaikan ekspresi.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, dengan tidak terlibatnya pihak independen seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perempuan, akademisi, korban UU ITE, dan lainnya, dikhawatirkan hasil kajian terhadap UU ITE tidak akan membuahkan hasil sebagaimana didambakan masyarakat. Sementara, pasal-pasal karet UU ITE menunjukkan lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kuasa, yakni penguasa, pengusaha, atau aparat, untuk memidana jurnalis, aktivis pembela HAM, akademisi dalam menyampaikan ekspresi
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, Kontras, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIpP, dan Walhi.