Penerapan Pedoman Kapolri Soal Penanganan Kasus UU ITE Perlu Konsistensi
Kompolnas berharap agar pelaksanaan pedoman Kapolri terkait UU ITE disertai dengan edukasi kepada masyarakat. Anggota Polri di lapangan juga harus memahami pedoman dari Kapolri ini dengan baik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pedoman Kepala Kepolisian Negara RI mengenai penanganan kasus terkait Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dinilai dapat mengatasi sebagian masalah dalam implementasi UU ITE. Namun, penerapan pedoman itu memerlukan pemahaman dan konsistensi dari jajaran kepolisian.
Sebelumnya Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram mengenai Penanganan Tindak Pidana Kejahatan Siber. Surat itu tindak lanjut terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor 2/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, dikeluarkan 19 Februari.
Dalam SE tersebut, Kapolri memberikan panduan penegakan hukum dengan mengedepankan edukasi dan langkah persuasif. Penyidik diminta agar berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium) dan mengedepankan keadilan restoratif.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti, Selasa (23/2/2021), berpandangan, arahan dari Kapolri tersebut merupakan pelaksanaan dari arahan Presiden agar selektif menerapkan UU ITE.
Diharapkan, penyidik Polri di lapangan lebih mengedepankan tindakan preventif dan preemptif dalam menangani laporan terkait UU ITE. Selain itu juga mengedepankan mediasi dan keadilan restoratif dalam penegakan hukum.
"Tetapi memang untuk kasus yang berpotensi memecah-belah persatuan bangsa, kasus yang bersifat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), dan hoaks memang perlu dilanjutkan proses hukumnya agar ada kepastian hukum sekaligus memberikan keadilan," kata Poengky.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta Kapolri dan jajarannya agar lebih selektif memproses laporan pelanggaran UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Presiden pun meminta Kapolri membuat pedoman atas pelaksanaan pasal-pasal dalam UU ITE agar tidak multitafsir.
Selain itu, Presiden membuka kemungkinan revisi UU ITE jika regulasi itu tak mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Revisi terutama untuk menghapus pasal-pasal karet.
Poengky berpandangan, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti sebelumnya pernah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Dalam SE itu, satuan intelijen dan keamanan (intelkam) ditugaskan melakukan deteksi dini, sedangkan satuan pembinaan masyarakat (binmas) diminta memberikan edukasi kepada masyarakat.
Terkait dengan hal itu, Poengky berharap agar pelaksanaan pedoman dalam surat telegram tersebut disertai dengan pemberian edukasi kepada masyarakat. Semisal memberikan contoh bagaimana mengkritik secara konstruktif dan sebaliknya contoh ujaran kebencian yang termasuk tindak pidana siber.
Namun demikian, menurut Poengky, anggota Polri di lapangan juga harus memahami pedoman dari Kapolri ini dengan baik agar dapat mengambil langkah tepat ketika menerima sebuah laporan. Jika memang sebuah perkara dapat diselesaikan melalui mediasi, maka penyidik mesti mengutamakan langkah tersebut.
Di sini, kata dia, supervisi dari pimpinan masing-masing satuan sangat penting selain melakukan gelar perkara dengan melibatkan Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri.
"Memang mindset penyidik untuk melaksanakan penegakan hukum lebih kental ketimbang melakukan tindakan preventif dan preemtif. Saya berharap momentum ini digunakan Polri untuk lebih mengedepankan tindakan preventif dan preemptif, ketimbang penegakan hukum," ujar Poengky.
Secara terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati berpandangan, pedoman yang tertuang di SE Kapolri dapat mengurangi sebagian masalah terkait UU ITE karena penegakan hukum merupakan upaya terakhir kepolisian. Namun, Asfinawati melihat masih ada masalah terkait akurasi pelaksanaan di lapangan dan masalah aturan itu sendiri.
"Misalnya SE Kapolri tentang Hate Speech. Meski isinya juga mengedepankan mediasi, pada kenyataannya ada kasus yang langsung dimajukan penyidikannya," kata Asfinawati.
Menurut Asfinawati, pedoman dari Kapolri tersebut hanya menghapus sebagian masalah yang ditimbulkan UU ITE. Namun masih ada hal-hal mendasar yang tidak akan bisa diselesaikan.
Salah satu hal yang mendasar, kata dia, adalah terkait penghinaan dipidana dengan pidana penjara atau dengan hukuman yang lain, seperti denda atau meminta maaf secara publik. Sementara, Persatuan Bangsa-Bangsa mengerahkan persoalan terkait penghinaan diselesaikan secara perdata, bukan pidana.