RUU Perampasan Aset dinilai menguntungkan negara secara ekonomi. Sebab, berdasarkan RUU itu, aset milik pelaku kejahatan dapat disita untuk negara, bahkan ketika pelakunya meninggal dunia, melarikan diri, dan lainnya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dinilai lebih kuat dalam menyelamatkan aset negara dari para koruptor dibandingkan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ataupun UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah ada. UU Perampasan Aset akan sangat menguntungkan negara secara ekonomi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah mendorong agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang sudah diinisiasi penyusunannya sejak 2008 menjadi RUU Prioritas 2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae, Jumat (19/2/2021), mengatakan, ketentuan baru yang ada di RUU Perampasan Aset dan belum diatur dalam dua undang-undang lain adalah perampasan aset dilakukan kepada tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, dan tidak diketahui keberadaannya atau terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
”Selain itu, RUU Perampasan Aset juga mengatur kewenangan untuk merampas aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan atau telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas,” kata Dian.
Ia mencontohkan beberapa kasus korupsi di mana aset dari pelakunya tidak bisa dirampas apabila hanya menyandarkan pada konsep negara melawan pelaku kejahatan saja. Pada 2005, kasus korupsi bank Mandiri oleh ECW Neloe di mana nilai asetnya mencapai 5,2 juta dollar AS di Swiss.
Pada 2009, ada tiga kasus, yakni kasus penggelapan dana bank Global oleh Irawan Salim dimana nilai asetnya mencapai 9,9 juta dollar AS di Swiss, kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk bank Surya oleh Adrian Kiki yang nilai asetnya mencapai Rp 1,5 triliun, dan kasus BLBI oleh Hendra Rahardja yang nilai asetnya 9,3 juta dollar AS di Hongkong.
Pada 2006 ada kasus pembobolan bank BNI 46 dengan pengajuan 41 letter of credit (L/C) fiktif oleh Adrian Waworontu dan Maria Pauline Lumowa dengan nilai aset Rp 1,7 triliun di Amerika Serikat. Pada 2010, kasus korupsi Yayasan Supersemar oleh Soeharto dengan nilai aset Rp 4,4 triliun dan kasus anaknya, Tommy Soeharto, terkait pembekuan milik Garnet Investment Limited di Guernsey, Britania Raya, yang mencapai 36 juta euro.
Belum lagi kasus korupsi dana BLBI bank Century yang dilakukan oleh Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rifai, dimana nilai aset mencapai 156 juta dollar AS dan Rp 86 miliar. Ada juga kasus yang menimpa Robert Tantular pada 2013 dan 2015 yang nilai asetnya mencapai 177,6 juta dollar AS di tiga negara, yaitu New Jersey (AS), Swiss, dan Hongkong.
Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak semata-mata diukur dari banyaknya koruptor yang ditangkap dan dipenjara. Namun, juga berapa banyak aset hasil korupsi yang bisa dirampas oleh negara.
Setelah KPK menyambut positif PPATK yang mendorong RUU Perampasan Aset, Dewan Pengawas KPK pun memiliki pandangan serupa. Anggota Dewan Pengawas, Syamsuddin Haris, mengatakan, RUU Perampasan Aset sangat mendesak untuk dibahas dan diselesaikan oleh pemerintah serta DPR.
Menurut Syamsuddin, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak semata-mata diukur dari banyaknya koruptor yang ditangkap dan dipenjara. Namun, juga berapa banyak aset hasil korupsi yang bisa dirampas oleh negara.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, RUU Perampasan Aset dapat menguntungkan negara secara ekonomi. Sebab, para pelaku tindak pidana, seperti koruptor, akan mengembalikan kerugian negara dan aset-asetnya diambil negara.
Ia menuturkan, RUU Perampasan Aset merupakan kepanjangan tangan dari pembuktian terbalik. Jika ada pejabat publik atau penyelenggara negara memiliki harta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, negara bisa menyitanya dengan dasar RUU Perampasan Aset.
RUU Perampasan Aset merupakan kepanjangan tangan dari pembuktian terbalik. Jika ada pejabat publik atau penyelenggara negara memiliki harta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, negara bisa menyitanya.
Menurut Fickar, jika dibandingkan dengan UU TPPU dan UU Tipikor yang ada, RUU Perampasan Aset menjadi landasan yang khusus bagi perampasan aset yang tidak didasarkan pada proses hukum. Sebab, melalui TPPU, prosesnya tetap harus dilanjutkan ke pengadilan yang ujungnya putusan pengadilan tetap menjadi dasarnya.
Adapun RUU Perampasan Aset bisa menjadi dasar perampasan tanpa harus ada putusan pengadilan. Tidak semua aset bisa dirampas. Perampasan hanya dapat dilakukan pada aset yang tidak jelas perolehannya dan diduga terkait dengan tindak pidana yang bisa dimohonkan untuk dirampas.