RUU Perampasan Aset selalu masuk Prolegnas jangka menengah sejak 2015, tetapi tak pernah dibahas karena pemerintah dan DPR tak menganggapnya prioritas. Padahal, regulasi itu penting untuk menyelamatkan aset negara.
Oleh
RINI KUSTIASIH/PRAYOGI DWI SULISTYO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dianggap bukan prioritas untuk dituntaskan pemerintah dan sejumlah fraksi di DPR. Sekalipun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas jangka menengah sejak 2015, RUU itu tak kunjung masuk dalam Prolegnas tahunan sehingga tak kunjung dibahas. Padahal, RUU penting guna mengatasi keterbatasan regulasi dalam menyelamatkan aset hasil tindak pidana.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, di Jakarta, Selasa (16/2/2021), mengatakan, RUU Perampasan Aset sebetulnya sudah dimasukkan dalam Prolegnas jangka menengah, 2015-2019. Namun, setiap kali pembahasan prolegnas tahunan, RUU tersebut selalu kalah bersaing dengan RUU lainnya. Saat pembahasan Prolegnas jangka menengah, 2020-2024, RUU itu pun kembali dimasukkan di dalamnya. Hanya saja hingga kini belum masuk dalam Prolegnas tahunan.
”Tampaknya RUU belum dianggap prioritas, baik oleh pemerintah maupun sejumlah fraksi di DPR, sehingga akhirnya tidak masuk ke dalam Prolegnas tahunan sampai sekarang. Pemerintah, misalnya, lebih memilih RUU Hukum Acara Perdata,” katanya.
Padahal, RUU tersebut penting dalam melakukan penyelamatan aset yang merupakan hasil tindak pidana. Ini seperti disampaikan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae dalam kunjungan kerjanya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Senin (15/2/2021). Karena itu, ia mendorong RUU itu segera dibahas dan disahkan.
Menurut Dian, regulasi yang ada saat ini memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset yang merupakan hasil tindak pidana.
”Berdasarkan hasil pemantauan PPATK, diperoleh informasi bahwa upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal, khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan penetapan RUU Perampasan Aset,” paparnya.
Dian Ediana dalam keterangan tertulisnya menuturkan, RUU ini telah diinisiasi penyusunannya oleh PPATK sejak 2008 dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture dari negara-negara yang menganut common law.
RUU Perampasan Aset ini memuat tiga substansi utama. Pertama, unexplained wealth atau aset yang diperoleh dari pendapatan yang tidak seimbang dengan penghasilan dan perolehannya tidak dapat dibuktikan secara sah serta diduga terkait dengan aset tindak pidana. Kekayaan yang semacam ini merupakan salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara, Pasal 5 Ayat (1) huruf (b). Kedua, hukum acara perampasan aset (Pasal 7) sampai dengan Pasal 46. Ketiga, pengelolaan aset (Pasal 47 sampai dengan Pasal 57).
Arsul pun sependapat dengan pentingnya RUU tersebut. Ia bahkan berharap RUU bisa tuntas dibahas sebelum 2023. Menurut dia, paradigma pemberantasan korupsi saat ini harus mengarah kepada pemulihan kerugian negara, tidak lagi sekadar menghukum pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) dengan pidana penjara seberat-beratnya.
”Ikhtiar pemulihan ini, kan, selama ini hanya terfokus pada denda dan uang pengganti saja. Tetapi itu pun harus menunggu sampai dengan putusan pengadilan yang inkrah sehingga prosesnya menjadi lama. Ketika lama, nilai aset yang disita cenderung turun, terutama barang-barang bergerak. Akibat nilainya turun, hal itu memengaruhi pemulihan kerugian negara,” tutur Arsul.
Aspek keseimbangan
RUU Perampasan Aset ini, lanjut Arsul, sebenarnya menjadi salah satu jawaban untuk mengatasi problem-problem tersebut sehingga diharapkan pemulihan kerugian negara dalam kasus tipikor dan kasus-kasus pidana lainnya bisa lebih optimal.
”Tentu memang dalam pembahasan RUU ini nanti perlu dilihat juga aspek keseimbangan. Misalnya, kalau aset yang sudah telanjur dirampas dan dilelang ternyata, dalam kasusnya sendiri, terdakwa bebas murni, tentu harus ada perhitungan yang berbeda. Tentu negara harus bertanggung jawab atas kerugian dari pihak yang dirugikan dalam hal ini pemilik dan yang berkepentingan terhadap aset tersebut,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, mengatakan, jika RUU ingin dijadikan prioritas, pemerintah harus membuat naskah akademik yang jelas.
Sebab, RUU Perampasan Aset ini akan memiliki dampak panjang, termasuk dengan pembatasan transaksi keuangan tunai. Selain itu, jangan sampai substansi di dalamnya bertabrakan dengan aturan yang dirancang masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
”Harus kita lihat dulu bagaimana naskah akademiknya dibuat oleh pemerintah. Sebab, tujuan pemberantasan korupsi memang bukan untuk memenjarakan orang 10 tahun atau 20 tahun, tetapi bagaimana menyelamatkan keuangan negara. Itu yang harus dijabarkan oleh pemerintah. Misalnya, ketika ada uang pengganti, apakah nanti akan mengurangi hukuman atau bagaimana,” katanya.
Kegelisahan
Diakui oleh Trimedya, tarik-menarik kepentingan antarfraksi dalam pembahasan RUU Perampasan Aset ini cukup kuat. Hal itu pula yang membuat RUU ini mandeg bertahun-tahun.
”Harus duduk bersama secara informal dulu antara pemerintah dan DPR sebelum pemerintah menyampaikan kepada DPR poin-poinnya. Dengan begitu, DPR tidak perlu khawatir, masyarakat tidak perlu khawatir. Sebab, yang selama ini menjadi kegelisahan ialah jika ada orang terkena masalah hukum, uang atau aset mereka yang tidak terkait dengan hasil kejahatan juga diikutkan disebut sebagai hasil kejahatan itu,” tuturnya.
Uang atau aset hasil kejahatan seperti apa yang dapat dirampas negara, lanjut Trimedya, juga penting untuk didefinisikan di dalam RUU Perampasan Aset. Selain itu, dari sisi judul RUU juga perlu ditinjau kembali.
”Namanya saja seram, perampasan aset. Orang bisa berpikir asetnya akan dihabisi. Jadi, harus jelas dulu aset yang seperti apa yang dapat dirampas negara. Akan tetapi, spirit RUU ini memang baik demi optimalisasi pemberantasan korupsi dan mengembalikan keuangan serta aset negara,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, RUU Perampasan Aset belum termasuk dalam Prolegnas 2021 yang disepakati Baleg DPR dengan pemerintah, pertengahan Januari lalu. Namun, Prolegnas itu belum disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Karena itu, bisa saja terjadi perubahan Prolegnas dan RUU tersebut masuk di dalamnya. Hanya saja ia mengingatkan, usulan harus masuk dari pemerintah atau fraksi-fraksi di DPR.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto pun mendorong RUU Perampasan Aset diprioritaskan pemerintah dan DPR. Sebab, aset hasil tindak pidana korupsi sering kali tidak hanya disimpan di dalam negeri, tetapi juga banyak yang dilarikan atau disimpan di luar negeri.
Ia menegaskan, UU Perampasan Aset dapat menjadi landasan hukum yang jelas dan pasti bagi penegak hukum untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembalikan aset negara yang dikeruk para kriminal, baik aset yang ada di Indonesia maupun di negara lain.
”Pengembalian aset hasil kejahatan merupakan bagian dari rangkaian tindakan yang diperlukan untuk mencegah, melawan, dan menindak para kriminal yang menggarong kekayaan negara,” ujar Sigit.
Selain RUU Perampasan Aset, ia mendorong agar RUU Pembatasan Transaksi Tunai menjadi prioritas. Sebab, RUU ini dapat mencegah terjadinya transaksi tunai yang tidak terlacak. Kehadiran RUU tersebut diharapkan dapat memaksa masyarakat untuk masuk ke dalam satu sistem keuangan. Alhasil, pemantauan menjadi lebih jelas dan penyimpangan atau upaya-upaya melakukan kejahatan dengan transaksi tunai dapat dicegah serta dihentikan oleh penegak hukum atau pihak lain yang berkompeten, seperti PPATK.