Komisi II DPR Serahkan Nasib RUU Pemilu kepada Bamus
Komisi II DPR akan mengikuti Tata Tertib DPR dalam hal penundaan pembahasan RUU Pemilu. Hal itu akan lebih dulu dibahas di Badan Musyawarah DPR, kemudian dibahas oleh pimpinan DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II DPR sepakat untuk menghentikan sementara pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu setelah melakukan rapat internal, Kamis (11/2/2021). Namun, untuk membicarakan soal keserentakan pemilu dan pilkada pada 2024, Komisi II DPR terbuka dalam memberikan dukungan, termasuk dalam desain tahapan, jadwal, dan penyesuaian waktu antara pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, mayoritas fraksi di Komisi II menyetujui untuk menunda pembahasan RUU Pemilu. Ada dua fraksi yang menginginkan RUU Pemilu itu tetap dibahas, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Namun, karena mayoritas fraksi menolak pembahasan RUU Pemilu, rapat memutuskan Komisi II meminta agar RUU Pemilu itu ditunda.
”Kami kemarin sepakat untuk tidak dulu melanjutkan, karena sampai sekarang prolegnas belum tuntas dan belum diputuskan di paripurna. Semua RUU ini, kan, di-hold dulu, bukan hanya RUU Pemilu, sembari menunggu keputusan paripurna soal Prolegnas Prioritas 2021. Itu yang menjadi latar belakang kami untuk menunda dulu. Apalagi ini drafnya sudah bukan di kami, tetapi ada di Baleg (Badan Lesgislasi) DPR,” tuturnya.
Mekanisme yang akan diambil Komisi II DPR terkait penundaan pembahasan RUU Pemilu, menurut Doli, akan tetap mengikuti ketentuan yang diatur di dalam Tata Tertib DPR. ”Kami serahkan kepada mekanisme di DPR. Nanti dibahas melalui Bamus (Badan Musyawarah) dulu, terus di pimpinan. Kalau, misalnya, terjadi perubahan, yakni RUU Pemilu dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2021, nanti bisa ada rekomendasi dari Bamus agar Baleg membicarakan ulang dengan pemerintah,” katanya.
Kendati demikian, Doli mengakui ada beberapa hal yang harus dibahas terkait dengan keserentakan pilkada dan Pemilu 2024. Tiga jenis pemilu dalam satu tahun yang sama tidak hanya membebani penyelenggara, tetapi juga memberatkan partai politik, calon kepala daerah, calon presiden, dan calon anggota legislatif. Oleh karena itu, menurut Doli, pihaknya akan membuka pintu konsultasi dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu terkait dengan desain keserentakan pilkada dan pemilu.
”Oleh karena itu, pada waktunya pasti kami akan bahas bersama penyelenggara bagaimana konsep atau format keserentakan itu bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.
Doli mengatakan, saat ini secara informal pihaknya juga tengah berbicara dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai simulasi dan desain keserentakan. Menurut dia, banyak hal harus dipikirkan, antara lain soal penjadwalan, pemutakhiran daftar pemilih tetap, serta kecukupan waktu pemilu dan pilkada.
”Banyak sekali yang harus dibicarakan, harus dibuat desain dan konsep yang detail. Nanti akan kita bicarakan bersama (dengan pemerintah dan KPU),” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luqman Hakim menuturkan, penghentian pembahasan revisi UU Pemilu dan pilkada bagi PKB semata karena pertimbangan situasi nasional yang membutuhkan konsentrasi pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya terhadap perekonomian nasional.
Menurut dia, partai-partai koalisi pemerintah yang lain tentu memahami situasi ini. Karena itu, mereka memberikan dukungan penuh agar agenda pemerintah ini berhasil sehingga kesehatan dan ekonomi rakyat dapat dipulihkan kembali.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat, Wahyu Sanjaya, mengatakan, fraksinya tidak menyetujui penundaan pembahasan RUU Pemilu. Di dalam rapat dengan seluruh kelompok fraksi DPR di Komisi II, Kamis lalu, fraksinya telah menyatakan sikap tegas untuk meminta meneruskan pembahasan RUU Pemilu.
”Sesuai arahan Ketua Umum DPP Demokrat dan Ketua Fraksi Partai Demokrat bahwa Revisi UU Pemilu adalah harga mati dan kami akan terus memperjuangkan itu di parlemen,” ujarnya.
Tidak hambat RUU lain
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, mengatakan, polemik RUU Pemilu dalam Prolegnas Prioritas 2021 seharusnya tidak menghambat pembahasan RUU lain. Fakta bahwa sejak ditetapkan di Baleg pada 14 Januari, sampai saat ini, daftar RUU Prioritas 2021 belum juga disahkan dalam rapat paripurna, menjadi tanggung jawab pimpinan sekaligus Bamus DPR yang bertugas menetapkan jadwal dan agenda paripurna.
”Penundaan tanpa alasan jelas agenda pengesahan daftar RUU prioritas oleh pimpinan DPR sulit dipahami mengingat pimpinan DPR seolah tak menghormati hasil keputusan Baleg. Pimpinan juga tampak tak bertanggung jawab untuk mendorong peningkatan kinerja legislasi jika atas kepentingan sepihak mereka, daftar prolegnas prioritas tak juga disahkan,” katanya.
Lucius menambahkan, daftar Prolegnas Prioritas 2021 itu disinyalir telah ”disabotase” karena polemik muncul setelah penetapan daftar RUU Prioritas 2021 di Baleg. Polemik itu bermula dari wacana yang dilemparkan PAN dan PPP yang tak menginginkan revisi UU Pemilu diteruskan. Artinya, revisi UU Pemilu yang sudah masuk daftar RUU Prioritas 2021 mesti dikeluarkan dari daftar yang akan disahkan paripurna sebagai daftar RUU Prioritas Prolegnas 2021.
Menurut dia, hal ini merupakan kekacauan proses, yang membuat masyarakat menjadi heran dengan DPR. ”Apakah sikap fraksi yang dibacakan pada saat pengambilan keputusan di Baleg di mana semuanya setuju dengan 33 RUU, termasuk RUU Pemilu, hanya tipuan belaka? Atau anggota fraksi di Baleg tak berkoordinasi dengan pimpinan partai? Kok bisa-bisanya mereka yang sudah setuju, hanya dalam satu dua hari tiba-tiba membantah sendiri sikap mereka,” katanya.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, sikap-sikap fraksi yang berubah dengan cepat itu menunjukkan kuatnya oligarki di internal parpol. Sebab, sikap mereka dilandasi bukan oleh kebutuhan publik, melainkan kepentingan politik besar dari para ketua umum dan elite. Sikap pimpinan parpol itu tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan elite di pemerintahan.