Atasi Problem Demokrasi yang Terus Terulang di Pilkada
Publik bisa kehilangan kepercayaan pada demokrasi jika politik dinasti, politik uang, dan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara terus berulang dan kian masif di pemilihan kepala daerah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Publik bisa kehilangan kepercayaan kepada demokrasi jika politik dinasti, politik uang, dan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara terus berulang dan kian masif di pemilihan kepala daerah. Sejumlah problem itu disebut tak terlepas dari permasalahan yang ada di partai politik.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo, dalam diskusi bertajuk ”Kekuatan Parpol dan Warna Politik dalam Pilkada Serentak 9 Desember 2020” yang digelar Lemhannas, di Jakarta, Kamis (11/2/2021), mengatakan, sejumlah persoalan demokrasi kembali terlihat saat pergelaran Pilkada 2020.
Persoalan tersebut di antaranya masih kuatnya dinasti politik, politik uang, dan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara. Dari sistem informasi dan rekapitulasi KPU, 55 kandidat dari 124 kandidiat atau 44 persen terafiliasi dengan dinasti politik, pejabat, dan mantan pejabat.
”Fenomena politik dinasti tersebut yang kemudian justru menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal,” kata Agus.
Hadir juga sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut, peneliti utama Litbang Kompas Bambang Setiawan; Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto; peneliti Centre for Strategic and International Studies Jakarta, Arya Fernandes; peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wawan Ichwanuddin; dosen politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani; serta pengajar Lemhannas RI, Cecilia Sumarlin.
Agus menegaskan, politik dinasti tersebut melemahkan institusionalisasi partai politik karena lebih mengemukanya pendekatan personal daripada kelembagaan. Akibatnya, perekrutan politik hanya dikuasai oleh sekelompok atau segelintir orang saja.
Fenomena lainnya yang masih terjadi adalah masih kuatnya praktik politik uang. Hal itu terlihat dari Badan Pengawas Pemilu yang menangani 104 dugaan politik uang yang tersebar di 19 provinsi.
Agus mengatakan, politik uang yang terus terjadi akan merusak budaya demokrasi Indonesia karena akan memengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional. Pemilih akan memilih untuk kesenangan sesaat berdasarkan materi uang jangka pendek dan tidak melihat pada visi-misi pembangunan jangka panjang.
Selain itu, indikasi adanya 21 kasus pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN), menurut Agus, berdampak jangka panjang. Sebab, akan memengaruhi pola manajemen PNS yang tidak lagi didasarkan pada profesionalisme, tetapi lebih pada kedekatan personal terhadap pejabat.
Agus menegaskan, segala penyimpangan yang terjadi pada pilkada harus diperbaiki untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Hal itu perlu dilakukan agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan pada demokrasi.
Partai politik
Persoalan yang terjadi pada pilkada tak bisa dilepaskan dari permasalahan yang ada di partai politik. Sri Budi Eko Wardani mengungkapkan, sejumlah persoalan yang masih terjadi pada partai politik, di antaranya, proses pencalonan dilakukan tertutup yang didominasi selera elite politik, mekanisme transaksional, serta sentralistik.
Biaya pencalonan juga dinilainya besar karena calon bukan tokoh populer, tidak mengakar, dan bukan kader partai. Mereka harus mengeluarkan biaya besar untuk pencitraan demi mendapat rekomendasi partai dan potensi elektabilitas.
Menurut Arya Fernandes, untuk memperbaiki kualitas calon kepala daerah, dibutuhkan standar minimal, seperti pengalaman di sektor publik. Perlu ada lembaga publik yang mengeluarkan sertifikasi untuk standar minimal kecakapan memimpin. Calon yang tidak mempunyai pengalaman di sektor publik untuk memimpin daerah perlu mendapatkan pelatihan oleh lembaga negara.