Pola Jawaban KPU dalam Sengketa Hasil Pilkada Tak Banyak Berubah
Pola pembelaan KPU yang mengatakan permohonan tidak jelas cenderung banyak digunakan karena bisa menjadi celah bagi hakim MK untuk menolak permohonan sengketa calon di Pilkada 2020.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pola pembelaan yang disampaikan Komisi Pemilihan Umum atau KPU dalam sidang sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020 dinilai tak banyak berubah. Padahal, dalil yang diajukan pemohon lebih variatif dibandingkan sengketa pemilihan sebelumnya. Mahkamah Konstitusi dituntut lebih jeli memeriksa perkara sengketa hasil tersebut.
Selama sepekan terakhir, MK mulai memeriksa pokok perkara sengketa hasil pilkada. Agenda persidangan selama sepekan terakhir ini adalah mendengarkan keterangan termohon, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan pihak terkait.
Dari beberapa perkara yang menonjol, seperti sengketa hasil pilkada Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Kalimantan Selatan, KPU banyak mendalilkan pembelaan bahwa permohonan pemohon tidak jelas (obscuur libel). Ini lantaran alasan-alasan permohonan (posita) dianggap oleh KPU tidak sesuai dengan tuntutan (petitum). Dengan argumen seperti itu, bisa saja MK menilai bahwa gugatan pemohon kabur.
Kuasa Hukum KPU Sumatera Barat Sudi Prayitno dalam sidang awal pekan lalu, misalnya, mengatakan bahwa alasan pemohon Nasrul Abit dan Indra Catri dalam perkara tersebut lebih banyak mengungkapkan soal berbagai dugaan pelanggaran pemilihan yang menjadi kewenangan Bawaslu.
Permohonan tidak lebih banyak mempersoalkan penetapan perolehan suara hasil Pilgub Sumbar. Tuntutan pemohon untuk dilakukan pemilihan suara ulang (PSU) juga dinilai tidak didukung alasan yang menjadi dasar dilakukannya PSU.
”Berdasarkan ketentuan Pasal 156 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2015 beserta Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 yang menjadi obyek perkara dalam perselisihan hasil pemilihan adalah perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon terpilih,” kata Sudi.
Sementara itu, KPU Kalimantan Selatan yang bertindak sebagai termohon dalam sengketa hasil pilkada yang diajukan pasangan Denny Indrayana-Difriadi juga memakai pembelaan senada.
Kuasa hukum KPU, Ali Nurdin, mengatakan, permohonan pemohon dianggap tidak jelas. Alasan permohonan yang didalilkan memuat kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU Kalsel dan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. Namun, tuntutan justru memuat permintaan pembatalan penetapan hasil pemungutan suara yang dilakukan oleh KPU dan menetapkan penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
”Dalam permohonannya, pemohon sama sekali tidak mempersoalkan hasil penghitungan suara oleh KPU. Banyaknya variasi petitum menunjukkan bahwa permohonan tidak jelas, apa sesungguhnya yang diminta pemohon,” kata Ali.
Peneliti KoDe Inisiatif, Ihsan Maulana, saat dihubungi, Kamis (4/2/2021), mengatakan, dalil-dalil jawaban termohon (KPU) di sengketa hasil pilkada serentak 2018 dan 2020 tak jauh berbeda. Pola pembelaan KPU yang mengatakan permohonan tidak jelas cenderung banyak digunakan karena bisa menjadi celah. Sebab, jika mahkamah melihat petitum dan posita berbeda, MK bisa memutuskan permohonan kabur.
”Namun, seharusnya KPU bisa memberikan pola pembelaan yang lebih dari itu. Apalagi, ada dalil soal pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang seharusnya dapat dijawab dengan penjelasan komprehensif termohon,” kata Ihsan.
Dalam pemantauan persidangan sengketa hasil Pilkada 2020, Ihsan menilai sejumlah hakim konstitusi sudah menegur KPU karena tidak menjawab seluruh dalil permohonan. KPU justru melimpahkannya kepada pihak terkait.
Padahal, seharusnya dalam sengketa pilkada, termohon harus menjawab seluruh dalil yang ditujukan kepadanya. Jawaban termohon dan pihak terkait itu nantinya akan menjadi dasar bagi hakim MK untuk memeriksa dan mendalami apakah dalil pemohon terbukti atau tidak pada saat pemeriksaan pendahuluan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, pola pembelaan seperti itu cenderung digunakan KPU karena, sebagai penyelenggara pemilu, mereka merasa kinerjanya sudah baik.
Sengketa hasil di MK justru menjadi ajang pembuktian berbagai pihak untuk mendalilkan masalah dalam proses pemilu, seperti pendaftaran pemilih. Di sidang perselisihan hasil ini, MK akan membuktikan apakah kinerja KPU dalam menyelengarakan pilkada sudah sesuai prosedur atau belum.
”Majelis hakim seharusnya bisa mencermati sampai hal-hal yang detail. Hakim berhak meminta bukti yang dibutuhkan kepada pemohon maupun termohon,” kata Khoirunnisa.
Menurut dia, kejelian hakim dalam memeriksa sengketa hasil pilkada ini sangat penting dan menentukan. Sebab, MK akan melihat apakah dalil-dalil pemohon bisa dibuktikan atau tidak. Dalam perkara dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, misalnya, hakim memeriksa apakah pelanggaran itu berpengaruh pada hasil pilkada atau tidak. MK pun bisa memutuskan apakah diperlukan pemungutan suara ulang, membatalkan kemenangan paslon, atau menolak permohonan karena unsur pelanggaran TSM tidak terpenuhi.