Kepala BPKP: Peluang Penyimpangan Besar Saat Pandemi Covid-19
Dalam wawancara dengan ”Kompas”, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh menyampaikan besarnya potensi penyimpangan saat pandemi Covid-19. Pencegahan telah diambil, tetapi korupsi tetap terjadi. Apa penyebab dan solusinya?
Dua pekan terakhir ini, rentetan kasus korupsi terjadi. Korupsi masif berlangsung di tengah pandemi Covid-19 ketika masyarakat kesulitan menghadapi krisis ekonomi dan kesehatan akibat pandemi.
Tak hanya itu, korupsi berulang di tempat yang sama, seperti terjadi dalam penangkapan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna, Jumat (27/11/2020). Sejak wilayah tersebut menjadi daerah otonom pada 21 Juni 2001, tiga kepala daerahnya telah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengapa korupsi ini terus berulang? Apakah tidak ada sistem pencegahan yang dibangun?
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memiliki tanggung jawab besar dalam mengatasi persoalan ini, termasuk membangun sistem pencegahan korupsi di semua instansi. Lembaga yang tersebar di setiap provinsi ini seyogianya bisa menjadi gerbang terakhir sebelum penyimpangan ditindak aparat penegak hukum.
Untuk mendalami semua itu, Kompas mewawancarai Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh pada Rabu (2/12/2020) di Kantor BPKP, Jakarta. Berikut petikan wawancara kami.
Jadi, mengapa korupsi itu berulang?
Fokus kami pada pencegahan. Karena itu, kami masuk dari awal, mendampingi. Tetapi, ini, kan, tidak gampang. Kalau orang salah, kalau salahnya karena dia tidak tahu, bisa kami dampingi. Tetapi, kalau orangnya tidak mau, ya, kami dampingi seperti apa juga tidak akan bisa-bisa. Karena itu, tidak gampang.
Baca juga : Perberat Hukuman Koruptor Saat Pandemi Covid-19
Apakah sejauh ini sudah ada laporan dari BPKP daerah terkait indikasi korupsi yang terjadi di tengah pandemi?
Saat ini, setidaknya ada 12 pengaduan yang diterima oleh BPKP yang selesai ditelaah dan sedang ditindaklanjuti dengan audit, baik oleh BPKP pusat maupun perwakilan. Mengingat BPKP lebih mengedepankan upaya pencegahan daripada penindakan, dengan cepat BPKP memberikan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan, baik di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, sehingga kelemahan-kelemahan yang ada dapat segera diatasi dan tidak terjadi korupsi dalam penanganan pandemi Covid-19 ini.
Apakah indikasi korupsi itu masif? Jika iya, mengapa begitu masif?
Potensi terjadinya korupsi tentu ada di berbagai sektor. Apalagi, dalam penanganan pandemi Covid-19 ini, semua dituntut untuk segera bertindak cepat dan tepat agar kita bisa segera keluar dari pandemi ini.
Kalau sudah cepat itu, kan, pasti ada tekanan. Beli barang tak boleh lama. Yang mestinya lelang, jadi tidak lelang karena alasan barang susah dicari. Kalau ikut lelang, juga, kan, baru tiga bulan selesai. Karena dia cepat seperti itu, opportunity (kesempatan), kan, ada.
Apalagi, karena dilonggarkan peraturannya. Nah, kalau sudah longgar kayak begitu, peluang fraud, penyimpangan, ini besar. Kita bicara jangan korupsi, ya, fraud dulu, karena korupsi harus dibuktikan kerugian negaranya di mana.
Bukankah sistem pengadaan juga sudah dibangun agar tak terjadi penyimpangan?
Salah satu upaya kami mencegah korupsi memang dengan membangun sistem. Nah, kalau sistem sudah dibangun, tentu kecepatan berkurang, karena ada cek dan ricek. Tetapi, yang terjadi sekarang, kan, (pengadaan) langsung saja. Kalau sudah langsung begitu, siapa saja orang bisa masuk. Risiko itu ada. Jadi, risiko fraud itu meningkat. Karena tekanan beli barang harus cepat tadi, kan, ada, lalu kesempatan terbuka. Seolah-olah seperti dibenarkan, padahal tidak boleh. Semua ada aturannya.
Baca juga : Ketenangan Juliari dan Problematika Bansos
Lalu, apa upaya BPKP mengatasi persoalan itu?
Upaya BPKP lebih mengutamakan pencegahan dengan segera memberikan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan. Kami harapkan tindak korupsi tidak terjadi dalam penanganan pandemi Covid-19 ini.
Kami juga memerika setelah transaksi. Di dalam setiap kontrak itu, kan, di bagian terakhir disebutkan, apabila nanti setelah pemeriksaan bahwa harga tidak benar, dia bersedia mengembalikan uang. Di situ pencegahannya. Kalau harga tidak benar, disuruh kembalikan uangnya.
Berapa pengembalian yang sudah diselamatkan BPKP?
Banyaklah.
Triliun?
Ya, iya, masa angka segitu cuma dapat ratusan juta.
Jadi, tidak sampai dihukum?
Ya, jangan dihukum dulu. Kalau dihukum, kan, kita proses yang satu, habis tenaga. Karena itu, pendekatannya pencegahan. Kan, semua ini terus bergulir. Kalau kami fokus pada yang satu, akhirnya yang lain bisa lepas. Yang penting, uang negara terselamatkan.
Seberapa kuat personel BPKP untuk mengawal itu?
Kuatlah, sekuat-kuatnya. Karena itu, gerakin juga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Kami koordinasikan APIP itu, inspektur di provinsi, kabupaten, dan kota. Kalau sendiri, tidak bisa. Kami juga bekerja sama dengan kejaksaan tinggi seluruh perwakilan. Mereka, kan, sampai kabupaten dan kota, sedangkan kami hanya provinsi. Kepolisian dan KPK juga ikut bergabung. Ya, kita sama-sama menjaga negara ini. Tidak bisa sendiri.
Jadi, sekarang seluruh aparat penegak hukum sudah bergabung di tim satuan tugas. Semua ikut dalam pembahasan. Jika tidak dibereskan, akan berurusan dengan aparat penegak hukum. Kalau sudah begitu, kan, mending dibereskan.
Sejauh mana level kapabilitas APIP sekarang? Dari level sekarang, apakah sudah cukup optimal dalam pengawasan?
Saat ini, level kapabilitas APIP pemerintah pusat dan daerah sebagian besar pada level 3, yaitu 61,62 persen. Untuk pemerintah pusat sebanyak 60 dari 86 kementerian/lembaga, sedangkan pemerintah daerah 327 dari 542 pemda.
Dengan kapabilitas APIP level 3, mereka mampu menilai efisiensi, efektivitas, dan ekonomi suatu program/kegiatan serta mampu memberikan konsultasi pada tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern.
Apakah ada juga instansi yang meminta asistensi kepada BPKP?
Iya, kan, tergantung permintaan. Sejauh ini, banyak permintaan. Artinya bagus, kan, ada kesadaran. Saya melihatnya, itu, kan, berarti takut dia, tak mau sembarangan. Kalau dia cuek, kan, tidak bakal datang ke kami.
Baca juga: Korupsi Masih Menjadi Ancaman
Misal, ada kejadian korupsi di suatu instansi. Setelah itu, ada tidak dari BPKP turun ke instansi itu untuk membangun sistem pencegahan dengan inspektorat daerah agar korupsi tak terulang?
Ya, kan, tergantung jenis korupsinya. Kita mesti melihat korupsinya seperti apa. Kalau korupsi dari sistem, kan, bisa kami benahi. Misal, pengadaan barang dan jasa, ya, pasti kami benahi, otomatis.
Jika suap?
Bagaimana jaganya? Dia ketemu di luar, kan, tak masuk sistem.
Padahal, suap sering terjadi lho?
Iya, lihat saja temuan di KPK, yang paling banyak apa. Kan, memang itu masalahnya.
Lalu, apa solusinya?
Kan, sudah dibuat pedoman antisuap. Tetapi, sebenarnya solusi utamanya itu pembangunan budaya antikorupsi. Membangun budayalah. Dari kecil harus mulai disadarkan, dididik. Di sini, kan, juga mulai disadari oleh KPK. Makanya, dibangun ada unit pendidikan di KPK. Promosi terus, membangun culture (budaya) antikorupsi. Di kami (BPKP) juga ada, masyarakat pembelajar antikorupsi. Itu dalam rangka membangun budaya. Jadi, semua tak bisa instan dan sendirian. Mana ada suatu negara mengurus itu, tetapi bisa melalui penanaman nilai dan budaya.
Apa masukan Kepala BPKP agar pencegahan potensi korupsi lebih baik ke depan, terutama di tengah pandemi?
Kementerian/lembaga/pemda harus lebih mendayagunakan APIP dan BPKP. Belanja penanganan dampak pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional harus dilaksanakan secara cepat, namun tetap akuntabel. Di situlah peran APIP dan BPKP, untuk tetap menjaga akuntabilitas pelaksanaan kegiatan.
BPKP tersebar di semua provinsi di Indonesia. Apabila dalam melaksanakan kegiatan ada keraguan terkait potensi korupsi, jangan ragu untuk datang berkonsultasi dengan BPKP, baik BPKP pusat maupun perwakilan. Kami membuka layanan secara online ataupun melalui contact person di semua perwakilan BPKP.
Baca juga : Indikasi Korupsi Terjadi di Banyak Tempat