Korupsi Masih Menjadi Ancaman
Jajak pendapat Litbang ”Kompas” akhir November 2020 menunjukkan 78 persen responden menilai perilaku korupsi masyarakat di Tanah Air parah. Bahkan, hampir separuh di antara responden itu menilai kondisinya sangat parah.
Terus berulangnya kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik semakin menegaskan korupsi masih menjadi ancaman bangsa Indonesia. Sebanyak 78 persen responden jajak pendapat ”Kompas” menilai korupsi dalam tahap parah.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada akhir November 2020 menunjukkan 78 persen responden menilai perilaku korupsi masyarakat di Tanah Air parah. Bahkan, hampir separuh di antara responden itu menilai kondisinya sangat parah.
Selama satu bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap empat pejabat publik. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap atas dugaan suap perizinan ekspor benih lobster. Selang beberapa hari kemudian, KPK menangkap dua kepala daerah. Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna ditangkap atas dugaan suap perizinan RSU Kasih Bunda di Cimahi. Kemudian Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Wenny Bukamo ditangkap terkait suap proyek. Paling akhir, KPK, Minggu (6/12/2020) dini hari, mengumumkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap program bantuan sosial terkait pandemi Covid-19 di Kementerian Sosial.
Kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat publik itu semakin mematangkan stigma bahwa kementerian dan pemerintah kabupaten/kota menjadi lahan korupsi. Sejak 2004 hingga Juni 2020, berdasarkan data KPK, ada 367 kasus korupsi berasal dari kementerian dan 391 kasus berasal dari pemerintah kota/kabupaten. Pada 2016, misalnya, ada 39 kasus dari kementerian dan 21 kasus dari pemerintah kota/kabupaten. Jumlah itu naik signifikan pada 2018, yakni 47 kasus dari kementerian dan 114 dari pemerintah daerah.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi korupsi. Namun, yang jelas ada pemanfaatan jabatan publik untuk kepentingan pribadi dan orang-orang tertentu. Bagi publik, perilaku korupsi tidak lepas dari sisi ketamakan pejabat.
Baca juga: Korupsi Menenggelamkan Demokrasi
Hal ini tampak dari hasil jajak pendapat. Sebanyak 68,3 persen responden menilai perilaku korup kerap didorong keinginan mengumpulkan uang lebih untuk membiayai gaya hidup. Pendapat ini tak lepas dari fenomena pejabat publik yang terjerat korupsi kerap bersentuhan dengan gaya hidup mewah.
Kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat publik di atas semakin mematangkan stigma bahwa kementerian dan pemerintah kabupaten/kota menjadi lahan korupsi. Sejak 2004 hingga Juni 2020, berdasarkan data KPK, ada 367 kasus korupsi berasal dari kementerian dan 391 kasus berasal dari pemerintah kota/kabupaten.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap KPK sepulang dari Amerika Serikat. KPK menyita barang-barang mewah yang diduga dibeli dari uang hasil suap, seperti jam tangan Rolex; tas Chanel; tas, sepatu, dan koper Louis Vuitton; serta sepeda road bike Specialized S-Works.
Tentu, faktor gaya hidup tidak berdiri sendiri sebagai faktor pendorong seseorang korupsi. Tekanan lingkungan yang membuat seseorang berbuat korup ada. Sebut saja soal biaya politik yang mahal sehingga memancing pejabat publik terlibat korupsi untuk mendanainya. Tentu hal ini juga ditambah adanya kesempatan dan peluang sehingga memudahkan korupsi terjadi.
Perilaku korupsi
Penilaian responden dalam jajak pendapat bahwa perilaku korupsi masih parah sudah menjadi rahasia umum bagi publik. Narasi itu dikenal masyarakat dari berbagai latar belakang. Hal ini terekam dari jajak pendapat yang menunjukkan praktik korupsi yang dianggap parah di Indonesia berasal dari kelompok responden dengan kelas ekonomi bawah, menengah, dan atas.
Perbedaannya hanya pada penilaian tingkat keparahan korupsi. Kelompok responden dengan latar belakang ekonomi menengah atas cenderung lebih kritis dibandingkan kelompok responden menengah bawah dalam menilai perilaku korupsi. Kelompok responden menengah bawah cenderung hanya menilai korupsi kondisinya parah, sedangkan responden dari kelas ekonomi menengah atas cenderung menilainya sangat parah. Hal serupa juga terlihat dari latar belakang pendidikan responden. Praktik korupsi dipandang semakin parah oleh mereka yang berpendidikan menengah dan tinggi.
Meskipun demikian, penilaian tingkat keparahan korupsi ini relatif lebih baik dibandingkan jajak pendapat Kompas tiga tahun lalu. Pada jajak pendapat kali ini, 78 persen responden menilai korupsi parah. Persentase ini masih cenderung lebih rendah dibandingkan jajak pendapat Kompas pada Oktober 2017. Saat itu 93,8 persen responden menyatakan parahnya praktik korupsi. Hal ini mengindikasikan perlawanan terhadap praktik korupsi tetap berpeluang mengurangi persepsi publik dalam menilai tingkat keparahan korupsi.
Salah satu upaya perlawanan terhadap korupsi itu bisa melalui edukasi, yakni memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya praktik korupsi. Namun, upaya ini belum masif disosialisasikan kepada publik. Tak heran jika 72,1 persen responden menilai upaya ini belum berjalan optimal.
Tentu sikap responden ini bisa jadi catatan bagi penyelenggara pendidikan dan KPK. Apalagi, sejak 11 Desember 2018 sudah ada komitmen memperkuat pendidikan karakter dan budaya antikorupsi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Menteri Agama; Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Menteri Dalam negeri; dan KPK.
Pandangan responden ini menegaskan perlunya peningkatan kembali implementasi pendidikan dan budaya antikorupsi di sekolah.
Pengalaman masyarakat.
Peluang untuk itu tetap ada dengan semakin membaiknya Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang didapat dari survei persepsi dan pengalaman korupsi masyarakat. Survei ini mengukur perilaku korupsi, persepsi terhadap perilaku korup, dan pengalaman antikorupsi yang terjadi di masyarakat. Tahun ini nilai IPAK 3,84. Angka ini membaik dibandingkan 2018 (3,66) dan 2019 (3,70). Membaiknya angka ini menunjukkan masyarakat semakin berperilaku antikorupsi.
Mengoptimalkan edukasi bahaya korupsi tetap memberikan insentif bagi upaya pencegahan korupsi. Peluang untuk itu tetap ada dengan semakin membaiknya Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang didapat dari survei persepsi dan
pengalaman korupsi masyarakat. Survei ini mengukur perilaku korupsi, persepsi terhadap perilaku korup, dan pengalaman antikorupsi yang terjadi di masyarakat. Tahun ini nilai IPAK 3,84. Angka ini membaik dibandingkan 2018 (3,66) dan 2019 (3,70). Membaiknya angka ini menunjukkan masyarakat semakin berperilaku antikorupsi.
Baca juga: Korupsi Mengalir Sampai Daerah
Peluang lain lagi bisa dilihat dari membaiknya angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang merupakan indeks gabungan yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di sektor publik. Data yang digunakan merupakan kombinasi survei tatap muka dan 12 sumber data yang berasal dari institusi yang kredibel. Pada 2019 IPK Indonesia mendapatkan skor 40, naik dibanding setahun sebelumnya yang berada di skor 38. Dari skala 0-100, makin tinggi skor, makin dinilai bebas korupsi sebuah negara.
Survei serupa dari Global Corruption Barometer Asia 2020 oleh Transparency International Indonesia menunjukkan, 65 persen responden menganggap baik kinerja pemerintah di bidang pemberantasan korupsi. Survei ini menegaskan, ada kecenderungan kinerja pemerintah stagnan karena kenaikan angkanya hanya 1 persen dibanding survei sebelumnya.
Pandangan publik di Indonesia dan beberapa data indeks menunjukkan, di satu sisi ada perkembangan dalam melawan korupsi. Namun, korupsi tetap menjadi ancaman bagi bangsa ini. Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember menjadi momentum untuk meneguhkan kembali tekad bersama bangsa guna melawan korupsi.