Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Mensos Juliari Batubara masih berkomentar soal OTT KPK. Juliari membenarkan adanya OTT KPK terhadap pejabat Kemensos. “Betul. Kami masih memonitor perkembangannya,” ujarnya.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Minggu (6/12/2020) sekitar pukul 02.50 dini hari WIB, Menteri Sosial Juliari Batubara mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia berjalan dari depan gedung KPK tanpa menggunakan mobil, tetapi dikawal petugas KPK, kepolisian, dan sejumlah staf dari Kementerian Sosial. Ia mengenakan topi, masker, dan jaket hitam, serta celana kargo cokelat.
Juliari tak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya melambaikan tangan kepada wartawan yang masih berada di gedung KPK.Dalam konferensi pers pimpinan KPK, Minggu petang, Juliari terlihat tenang. Ia sudah mengenakan rompi "oranye" tahanan KPK, dan "dipajang" saat jumpa pers bersama pejabat pembuat komitmen Adi Wahyono, tersangka lain yang juga menyerahkan diri beberapa jam setelah Juliari hadir di KPK.
Ketenangan juga ditunjukkan ketika Sabtu (5/12) pagi ia masih menjawab pertanyaan dari Kompas terkait operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) yang dilakukan KPK. Melalui pesan Whatsapp, Juliari membenarkan adanya penangkapan tersebut. “Betul. Kami masih memonitor perkembangannya,” ujar Juliari.
Juliari juga responsif dan tenang dalam merespons laporan pengaduan terkait bantuan sosial. Pada Agustus 2020, Kompas sempat menanyakan kepada Juliari tentang laporan dari Ombudsman RI terkait penanganan Covid-19, salah satunya soal bantuan sosial. Dari keterangan Ombudsman, penyaluran bantuan sosial selama pandemi Covid-19 paling banyak dilaporkan kepada Ombudsman.
Saat itu, Juliari menjawab, laporan dengan bukti yang akurat seperti lokasi, kronologi kejadian, dan waktu, pasti akan ditindaklanjuti. Juliari juga menceritakan, ia secara berkala bertemu KPK untuk menindaklanjuti pengaduan yang masuk ke KPK.
Sudah diingatkan KPK
Pertemuan secara berkala antara Juliari dengan KPK senada dengan apa yang diceritakan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam salah satu diskusi Minggu siang. Nawawi menceritakan, pimpinan KPK bersama Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan sudah mendatangi Juliari dan jajarannya dalam rangka tugas pemantauan.
Hal tersebut dilakukan setelah KPK mendapatkan informasi ada banyak model-model kerja yang berpotensi terjadi penyimpangan. Pahala Nainggolan menceritakan, KPK menemui Juliari setelah ada pengaduan terkait pengadaan barang dan jasa yang tidak ke produsen dan tidak spesifik. Ikut mendampingi Juliari, antara lain, sekretaris jenderal dan inspektur jenderal Kemensos.
“Kesannya percaya diri. (Juliari) menerangkan serapan anggaran oke. Tata kelola oke. Di lapangan oke. Kami sarankan gandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di bansos sembako karena BPKP punya personel di lapangan. Iya, iya katanya sambil tersenyum,” ungkap Pahala.
Dalam pertemuan itu, Juliari menceritakan banyak temannya yang menghubungi untuk pengadaan bansos. Dengan alasan mencari bahan susah, maka Juliari menggunakan jasa teman-temannya itu dengan cara penunjukan langsung.
Pahala menuturkan, KPK telah melihat adanya dugaan pelanggaran dalam proses itu. Sebab, dari informasi yang diperoleh KPK, ada margin yang besar antara pagu dengan realisasi pembelian bahan bansos. Namun, Pahala tidak bersedia menyebutkan berapa nilai keuntungan yang diperoleh penyedia bansos tersebut.
Problem bansos
Berdasar keterangan KPK, Juliari bersama dua pejabat pembuat komitmen diduga menyepakati fee Rp 10.000 per paket sembako senilai Rp 300.000 per paket bansos untuk wilayah Jabodetabek. Adapun paket bansos sembako di Kemensos memiliki nilai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode.
Pada pelaksanaan paket bansos periode pertama diduga fee yang terkumpul Rp 12 miliar. Juliari diduga menerima Rp 8,2 miliar. Pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, sejak Oktober sampai Desember 2020 terkumpul fee Rp 8,8 miliar. Uang tersebut diduga akan digunakan untuk keperluan Juliari.
Selain dugaan korupsi yang melibatkan Juliari, dugaan korupsi skala kecil juga diduga cukup marak terjadi. Hal ini seperti terlihat dari laporan yang masuk ke Tim Jaga Bansos KPK sejak aplikasi itu diluncurkan akhir Mei 2020.
Hingga 6 Desember, ada 151 penerima bansos yang mengadukan jumlah bantuan dana yang diterima, lebih kecil dari yang seharusnya. Ada pula 201 penerima bansos yang mengeluhkan bantuan tak dibagikan aparat. Di luar itu, ada pula 19 penerima bansos yang mengeluhkan buruknya kualitas bantuan yang diterima.
Menurut hasil telaah Tim Jaga Bansos KPK, biasanya modus pungutan yang dilakukan petugas, aparat atau kepala desa berkedok biaya pengurusan atau biaya administrasi. Padahal seharusnya tidak ada biaya apapun yang dikeluarkan untuk dapat penerimaan bansos.
Terkait dengan laporan yang masuk di Jaga Bansos, Pahala mengungkapkan, laporan tersebut terjadi di tingkat penerima bansos. Munculnya persoalan tersebut, biasanya disebabkan oleh masalah pendataan yang berujung pada konflik sosial. Karena itu, KPK sejak awal sudah mengingatkan agar ada perbaikan dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial.