Revisi UU Mahkamah Konstitusi Berpotensi Memantik Kecurigaan Publik
DPR dan pemerintah mempercepat pembahasan revisi UU Mahkamah Konstitusi. Sejumlah perubahan tak diuraikan alasannya dalam naskah akademis revisi UU itu. Ini dapat memicu kecurigaan publik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Suasana rapat Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/7/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menyerahkan daftar inventarisasi masalah atas revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Penyerahan ini hanya berselang sehari sejak sikap pemerintah dan DPR dibacakan, Senin (24/8/2020). Rapat lanjutan pembahasan revisi pun akan segera dilakukan maraton mulai Rabu (26/8/2020) dengan agenda pembahasan daftar inventarisasi masalah dengan pemerintah.
Penyerahan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah itu dilakukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly kepada pimpinan Komisi III DPR yang diwakili Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Dalam rapat yang disiarkan secara daring tersebut, hadir pula Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo dan Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan Didik Kusnaini.
Rapat juga menyetujui pembentukan panitia kerja (panja) pembahasan revisi UU tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Panja tersebut selanjutnya yang akan melakukan pembahasan muatan materi revisi UU MK dengan pemerintah. Sesuai dengan jadwal, rapat pembahasan tingkat I RUU MK akan mulai dilakukan oleh panja, Rabu pukul 10.00 WIB.
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (28/4/2020).
”Kami mohon kepada sekretariat untuk mengirimkan surat hari ini kepada fraksi-fraksi dan segera memasukkan daftar nama anggota Panja RUU MK dari fraksi masing-masing,” kata Adies.
Adapun DIM dari pemerintah terdiri atas 121 poin. Dari jumlah itu, DIM tetap atau yang substansi materi muatannya tidak berbeda dengan materi muatan yang ada di dalam draf RUU MK inisiatif DPR ada 101 poin. Untuk DIM yang sifatnya redaksional ada 8 poin, yang menyangkut substansi 10 poin, sedangkan DIM yang merupakan substansi baru ada 2 poin.
Dalam rapat, DPR dan pemerintah langsung mengesahkan 101 DIM tetap sehingga hanya menyisakan pembahasan 20 DIM, yakni meliputi DIM substantif, koreksi redaksional, dan substansi baru usulan pemerintah.
Upaya DPR untuk membahas cepat RUU MK ini mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah. Pembahasan tingkat I RUU MK itu pun sejak awal dijadwalkan dengan agenda maraton. Adies mengatakan, Komisi III DPR berkomitmen untuk cepat menuntaskan pembahasan sejumlah RUU yang merupakan usulan komisi maupun pemerintah dan menargetkan 1 atau 2 RUU tuntas pembahasannya pada masa sidang ini.
Kompas/Wawan H Prabowo
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly
”Kami atas nama pemerintah menyampaikan terima kasih atas keputusan cepat yang kita lakukan, dan karena Mahkamah Konstitusi ini suatu lembaga yang sangat penting, lembaga yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar, barang kali pembahasannya tetap secara hati-hati. Walau kita telah mengajukan tanggapan dan substansi, manakala dalam perkembangannya nanti panja akan terus ikut serta dalam Komisi III untuk membahasnya dengan baik,” ungkap Yasonna.
Terkait dengan keinginan Komisi III DPR untuk cepat membahas RUU MK, Adies mengatakan, hal itu karena semangat anggota yang tinggi, dan Komisi III sudah lama tidak membahas undang-undang.
”Kami ingin pada masa sidang ini, mudah-mudahan, kami bisa menyelesaikan minimal satu atau dua RUU dari Komisi III bersama-sama dengan pemerintah yang dalam hal ini diwakili Pak Menkumham (Yasonna),” katanya.
Kedudukan strategis
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan, pemerintah dan DPR harus menimbang kedudukan strategis MK sebagai penerjemah konstitusi. Karena posisi strategisnya, pengaturan terhadap MK harus dipikirkan matang-matang. Tendensi politik dalam membahas RUU ini harus dikurangi.
Kompas/Wawan H Prabowo
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (Pilkada) di Gedung MK Jakarta, Rabu (26/2/2019).
”Kedudukan strategis MK perlu ditimbang dan dipikirkan matang-matang saat akan menuangkannya ke dalam kebijakan. Soal syarat usia dan segala macamnya, itu, kan, soal teknis, yang bukan merupakan suatu kendala yang besar sehingga harus dibahas terburu-buru. Yang agak penting sebenarnya tentang hukum acara dan pengawasan hakim konstitusi. Hal-hal yang penting seperti ini sebaiknya tidak diputuskan buru-buru,” kata Fahmi.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Violla Reininda, mengatakan, revisi UU MK memang diperlukan untuk memperkuat kelembagaan dan kewenangan MK. Meski demikian, draf RUU yang ditawarkan DPR masih jauh dari harapan dan belum menjawab kebutuhan MK agar semakin prima menegakkan sendi-sendi konstitusi. Terlebih lagi, revisi UU MK malah berpotensi mencoreng independensi dan imparsialitas MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
KoDe Inisiatif menilai substansi RUU MK berkutat pada persoalan jabatan hakim konstitusi, mulai dari batas usia minimal menjadi hakim MK, yakni naik menjadi 60 tahun, perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, dan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun, yaitu 70 tahun.
”Sangat disayangkan, dalam naskah akademik yang disampaikan, DPR tidak menguraikan sama sekali alasan perubahan ketentuan ini sehingga sulit untuk memperdebatkannya secara akademis,” katanya.
Kompas/Wawan H Prabowo
Mahkamah Konstitusi menggelar Sidang Pleno Penyampaian Laporan Tahunan 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Tuai kecurigaan
Ketiadaan justifikasi akademis, menurut Violla, dapat memicu kecurigaan dan kekhawatiran publik terhadap revisi ini.
Pasalnya, banyak UU kontroversial yang diujikan di MK, seperti UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU KPK, dan UU Minerba. Selain itu, RUU Cipta Kerja yang saat ini sedang dibahas oleh DPR bersama pemerintah juga berpotensi diujikan ke MK.
”MK berpotensi menjadi perpanjangan tangan pembentuk UU di dalam kekuasaan kehakiman yang dibarter dengan aturan-aturan soal masa jabatan,” katanya.
MK berpotensi menjadi perpanjangan tangan pembentuk UU di dalam kekuasaan kehakiman yang dibarter dengan aturan-aturan soal masa jabatan.
Di sisi lain, revisi UU MK juga tidak menjawab kebutuhan penguatan kelembagaan dan kewenangan MK, misalnya tidak mengakomodasi perluasan wewenang MK untuk melakukan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) dan constitutional question (pertanyaan konstitusional). Padahal, hal ini dinilai lebih mendesak untuk dibahas oleh pembentuk UU.
Massa buruh turun ke jalan menuju ke depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, untuk berunjuk rasa, Selasa (25/8/2020). Mereka menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Revisi UU MK juga dinilai belum mengatur soal standar perekrutan hakim konstitusi sebab saat ini setiap cabang kekuasaan negara (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung) memiliki mekanisme tersendiri untuk menyeleksi dan menentukan calon hakim konstitusi.
”Pedoman ini penting agar terdapat keseragaman tata cara dan standar perekrutan dari tiap-tiap cabang kekuasaan negara, sehingga menghasilkan calon hakim konstitusi yang memiliki standar kenegarawanan, integritas, serta kualitas yang setara dan transparan,” kata Violla.
Sekretaris Jenderal MK M Guntur Hamzah mengatakan, MK menyerahkan pembahasan revisi UU MK itu kepada pembentuk UU. Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang menguji UU dengan batu uji konstitusi, MK berpotensi menguji revisi UU MK tersebut setelah disahkan menjadi UU.
”Kami tidak bisa berkomentar soal RUU MK ini, karena ketika menjadi UU, MK berpotensi mengujinya. Namun, MK selalu diundang untuk mengikuti pembahasan. Kami hadir untuk memastikan agar kami mengetahui original intent penyusunan RUU itu, sehingga manakala dibutuhkan oleh hakim MK dalam memutuskan suatu perkara terkait dengan UU MK, informasi tersebut dapat disampaikan,” ujarnya.