Penolakan Penundaan Pemilu Menguat, Elite Politik Diminta Belajar dari Sejarah
Dalam sejarah, rekayasa politik yang melecehkan konstitusi selalu menimbulkan gejolak massa. Elite politik diminta belajar dari masa lalu agar tak mengulang kesalahan lewat gagasan penundaan pemilu.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan atas wacana penundaan pemilu kembali disuarakan, baik oleh partai politik maupun akademisi. Para elite diminta untuk belajar dari sejarah bahwa rekayasa politik yang melanggar konstitusi akan memicu gelombang penolakan.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, saat mengikuti agenda konsolidasi partai di Banda Aceh, Minggu (27/2/2022), kembali menegaskan penolakan terhadap wacana penundaan pemilu. Menurut dia, berpolitik harus setia pada konstitusi. Pihaknya juga tak ingin mengkhianati semangat reformasi yang telah memutuskan tentang pembatasan masa jabatan presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Bagi PDI-P, prioritas praktik kekuasaan saat ini adalah bersama rakyat mengatasi berbagai dampak pandemi serta bagaimana pemerintah fokus mengatasi kelangkaan minyak goreng, kenaikan harga kedelai yang berdampak pada industri rakyat, seperti tahu dan tempe, serta berbagai masalah penting lainnya daripada berimajinasi tentang penundaan pemilu,” kata Hasto melalui keterangan tertulis.
Ia menambahkan, tingginya kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah semestinya bisa menjadi bagian dari warisan Presiden Joko Widodo. Sebagai kader, PDI-P pun menginginkan Jokowi meninggalkan berbagai legacy, baik dalam pembangunan infrastruktur, kemajuan dalam seluruh aspek kehidupan, maupun kepemimpinan G-20.
Berpolitik harus setia pada konstitusi. Hasto Kristiyanto
Selain itu, kata Hasto, wacana penundaan pemilu salah satunya menggunakan argumentasi tentang biaya pemilu yang tinggi. Bagi PDI-P, hal itu terjadi akibat penerapan sistem proporsional terbuka. Untuk menghemat biaya pemilu sekaligus memberikan insentif bagi kaderisasi partai, sistem itu bisa diubah menjadi sistem proporsional tertutup.
”Belajar dari Pemilu 2004 dengan Pemilu Legislatif, Pilpres I, dan Pilpres II biaya hanya kurang lebih Rp 3,7 triliun,” ujarnya.
Sebelumnya, Hasto juga mengatakan, penundaan pemilu tidak memiliki landasan hukum. Pemilu merupakan aspek paling fundamental dalam politik yang memerlukan syarat kedisiplinan dan ketaatan terhadap konstitusi. Atas dasar konstitusi pula, pemilu diamanatkan untuk diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. ”Dengan demikian, tidak ada sama sekali ruang penundaan pemilu,” ucapnya.
Sikap PDI-P ini juga senapas dengan pernyataan Presiden Jokowi yang berkali-kali menegaskan penolakannya terhadap berbagai wacana yang bertujuan memperpanjang masa jabatan ataupun menunda pemilu (Kompas, 25/2/2022).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Jhonny G Plate mengatakan, sirkulasi demokrasi harus berlandaskan pada konsitusi dan konstitusionalitas pilpres merupakan dasar legitimasi pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Sejak UUD 1945 diamendemen, pilpres dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat untuk masa jabatan dua periode. ”Amendemen UUD 1945 bukan hal yang tabu dan sudah beberapa kali dilakukan karenanya payung legal konstitusional dalam UUD 1945 yang terlebih dahulu dilakukan jika ingin mengatur kembali periodisasi masa jabatan presiden,” katanya.
Ia menambahkan, keputusan politik pemerintah dan DPR saat ini adalah melaksanakan pilpres pada 14 Februari 2024. Nasdem pun fokus menyiapkan diri dalam pemilu serentak 2024.
Selain itu, lanjut Plate, Nasdem menyadari sepenuhnya bahwa kontinuitas pembangunan nasional yang sudah berada di jalur yang tepat perlu dilanjutkan, menghindari interupsi pembangunan, dan mencegah perubahan substansial atas arah pembangunan nasional yang saat ini sedang dilaksanakan. ”Kami (Nasdem) memperhatikan jalannya diskursus politik saat ini dan akan selalu melandaskannya pada asas konstitusionalitas UUD 1945,” ujarnya.
Wacana penundaan pemilu mencuat sepekan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) meluncurkan hari pemungutan suara Pemilu 2024. Gagasan itu salah satunya dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar lewat keterangan pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (23/2/2022). Muhaimin beralasan, penundaan pemilu merupakan masukan dari kalangan pengusaha serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang ditemuinya agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang (Kompas.id, 24/2/2022)
Wacana serupa pernah diungkapkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada Januari lalu. Saat itu, ia mengatakan, para pengusaha menghendaki penundaan Pemilu 2024.
Setelah dilontarkan Muhaimin, setidaknya ada lima dari sembilan parpol yang ada di parlemen menolak gagasan tersebut. Kelima parpol itu adalah PDI-P, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebanyak tiga parpol lain, yakni PKB, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN), mendukung penundaan pemilu. Sementara itu, Partai Gerindra belum menentukan sikap (Kompas.id, 25/2/2022).
Kami (Nasdem) memperhatikan jalannya diskursus politik saat ini dan akan selalu melandaskannya pada asas konstitusionalitas UUD 1945.
Pakar Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, mengingatkan para elite bahwa rakyat tidak bisa dibohongi. Jika rekayasa politik yang dibuat sudah terkait dengan pelecehan konstitusi, akan banyak pihak yang menentangnya. Elite hendaknya tidak terkecoh dengan tingginya popularitas politisi dan mayoritas publik yang diam.
”Sejarah politik Indonesia bertubi-tubi menunjukkan bahwa lokomotif perubahan di negeri ini selalu bermula dari minoritas kritis,” ucap Yudi.
Jika suara minoritas yang kritis sudah terhubung dengan nurani publik, tambahnya, protes massa tidak akan bisa dibendung. Oleh karena itu, para elite hendaknya tidak mengulangi kesalahan di masa sebelumnya.
”Mestinya setiap elite politik bisa belajar dari sejarah. Namun, bagi para keledai politik, satu-satunya pelajaran yang diambil dari sejarah adalah pelajaran melupakan sejarah,” ujar Yudi memberikan analogi keledai sebagai simbol pengulangan kesalahan.