”Hippies”, Roman Made dan Peter di Bali
Made’s Warung ibarat personalisasi kondisi Bali. Ia jadi potret sosial, kultural, dan kemajuan ekonomi Bali.
Putu Ana Anandhi bertemu Douglas Macy di Made’s Warung Seminyak tahun 1997. Waktu itu Ana sedang membantu pengembangan Warung Made dari Kuta ke kawasan wisata ”baru” bernama Seminyak. Kawasan ini masih satu garis pantai dengan kawasan Kuta. Doug sudah beberapa tahun menetap di Bali dan berbisnis ekspor garmen. Sebagai seorang public relations, Ana diminta setiap saat menemani Doug apabila sedang ngopi atau makan di warung.
”Doug sekarang jadi suami saya,” kata Ana, Minggu (27/8/2023), dari Bali.
Kisah Bunda Ana, begitu perempuan Bali ini akrab disapa teman-temannya, serupa dengan kisah Ni Made Masih (69), pemilik Warung Made di Kuta. Pada akhir tahun 1960-an, Peter Steenbergen, lelaki Belanda, yang datang ke Bali seturut fenomena hippies, sering kali makan di Warung Made yang sederhana. Barangkali, warung yang mulai berdiri tahun 1969 itu menjadi satu dari sedikit warung di kawasan Kuta. Letaknya yang strategis di Jalan Pantai Kuta, dan hanya 500 meter dari pantai, membuatnya ramai didatangi para turis.
Saking seringnya makan bubur ketan hitam dan tipat cantok di Warung Made, diam-diam terjadi persentuhan emosional dan kultural antara Bu Made dan Peter. Menurut Bu Made, Peter sering kali mengajarinya memasak menu yang disukai para turis asing berikut cara penyajiannya. Setelah menu lokal seperti tipat cantok, bubur ketan hitam, kopi Bali, dan berbagai jenis camilan seperti kacang dan kerupuk, Bu Made mulai menambah menunya dengan jaffle, gado-gado, dan nasi goreng. Jaffle tak lain adalah roti bakar dengan isian pisang, yang sangat disukai para hippies dan juga para surfer yang kian banyak berdatangan ke Bali.
Baca juga : Seabad Lebih, Bali Memikat Turis Mancanegara
Persentuhan dengan Made membuat Peter terpesona. Ia berkata, ”Saya menemukan tempat bernama Warung Made di Kuta. Saya sedang duduk di sana dengan sedikit puding ketan hitam dan gado-gado. Di sana ada seorang gadis yang sangat cantik dengan rambut yang panjang…,” kata Peter seperti dalam wawancara dengan Expat (2012). Awal tahun 1970-an, usia Made baru 16 tahun. Saat membantu orangtuanya berjualan, Made selalu mengenakan kamen (kemben) batik dan baju kebaya sebagaimana umumnya perempuan muda di masa itu.
Rupanya, citra Bali yang eksotik dengan julukan sensasional ”Bali the Last Paradise” berpengaruh besar pada diri Peter dan kawan-kawan hippies-nya yang datang secara bergelombang dari Amerika, Eropa, dan Australia. Pengembaraan kaum hippy ke berbagai pelosok dunia didorong oleh kemuakan terhadap perang demi perang yang melanda dunia. Mereka berdemonstrasi untuk menentang keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam (1955-1975), yang telah membuat banyak anak muda Amerika tewas sia-sia.
Baca juga : Menelisik Bekas Zona Merah Perang Vietnam
Anak-anak yang berasal dari flowergeneration ini punya semboyan hidup baru yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, yakni ”make love not war!”. Penampilan mereka benar-benar anti-mainstream dengan hidup sederhana, menjalani laku vegetarian, menggalang persaudaraan dengan sesama manusia. Secara fisik tubuh mereka biasanya dibalut kaus dengan motif tie dye atau ikat celup, baju penuh rumbai, ikat kepala berwarna-warni, dan sandal jepit. Bahkan banyak di antara mereka tidak mengenakan alas kaki sama sekali.
Pada akhir tahun 1960-an, gelombang hippies sampai juga di Pantai Kuta, Bali. Mereka datang bergerombol-gerombol dan menjadi ”penghuni tetap” pantai, yang perlahan-lahan mulai dikenal dunia itu. Sebagai penghayat semangat nomaden, mereka biasanya hidup di dalam mobil Volkswagen Combi. Pantai Kuta yang baru saja beringsut dari desa nelayan mereka jadikan basis kebebasan baru. Tak urung, kehadiran kaum ini bertemu dengan cita-cita Bali mengembangkan industri pariwisata berkelas dunia.
Secara tak langsung pertemuan cita-cita persaudaraan dan kesederhanaan dari hippies dengan kelokalan (kalau tak bisa dicatat sebagai kenaifan) Bali melahirkan kosmopolitanisme baru. Dan Warung Made, yang berada di jantung Kuta, menjadi simpul penting kelahiran kosmopolitanisme baru itu. Orang-orang seperti Peter dan banyak lainnya hidup berbaur dengan masyarakat lokal. Mereka mengonsumsi segala jenis pangan lokal, termasuk magic mushroom, jamur yang ditemukan pada kotoran sapi atau kerbau.
Baca juga : Hippies yang Disanjung dan Diperangi
Seiring dengan perkembangan hippies dari sesuatu yang ”ideologis” menjadi semaian gaya hidup, banyak di antara mereka mengonsumsi jenis-jenis narkotika, termasuk ganja dan magic mushroom yang mudah didapat di Bali. Jamur liar yang mengandung zat psilosibin ini bisa menyebabkan pemakainya mengalami halusinasi tingkat tinggi. Celakanya, halusinasi seolah dibutuhkan oleh sebagian kaum hippies atas alasan proses kreatif seni. Proses ini nanti akan melahirkan aliran dalam seni rupa dan musik bernama psychedelic art. Dalam dunia sastra di Amerika dikenal dengan generasi beat, para sastrawan yang membutuhkan rangsangan halusinasi untuk menghasilkan karyanya.
Dalam tatanan kosmopolitanisme baru, Warung Made menempatkan semua konsumennya ”duduk sama rendah berdiri tinggi”. Para pembeli duduk bersama-sama di bangku panjang atau bahkan balai-balai, kenal atau tidak kenal, bersama-sama mereguk kesederhanaan dalam balutan eksotika Bali. Mereka juga mengonsumsi menu yang sama: kopi Bali, bubur ketan hitam, tipat cantok (sejenis gado-gado ala Bali), dan nyemil kacang serta kerupuk. Semua menu itu cukup dijembrengin di atas meja sehingga para konsumen bisa melihat langsung tampilannya.
Tak jarang mereka menonton Made yang mengulek kacang goreng, gula, garam, cabe, dan bawang putih sebagai saus dari ketupat (tipat), serta taburan sayuran seperti bayam dan kacang panjang rebus. (Kelak pemandangan semacam ini yang diekspos penjaja jajanan modern, seperti roti, di sejumlah mal sebagai marketing gimmick yang eksotik. Ya, kan?).
”Semua turis duduk di bangku panjang. Di mana pun kosong mereka duduk saja. Tadinya tidak kenal, sambil makan mereka berkenalan. Tak jarang yang kemudian dapat jodoh,” kata Made.
Berkat konsep bergaya warungan, pergaulan Made dengan Peter semakin akrab. Lelaki asal Amsterdam itu tak sungkan-sungkan membantu dan memberi masukan kepada perempuan Bali dengan tampilan lugu itu. Tahun 1974, keduanya memutuskan untuk menikah sebagai pasangan berbeda bangsa dan kultur. Ikatan sebagai suami-istri keduanya yang langgeng hingga hari ini tidak semata diikat oleh rasa cinta, tetapi lebih-lebih karena tumbuh bersama serta menjalani pasang surut Kuta sebagai destinasi wisata.
Made adalah representasi Bali yang ”naif” dalam perspektif orientalisme. Ia seolah menyeruak di tengah gemuruh kemuakan generasi muda Barat terhadap negara mereka yang doyan perang. Selain gelombang kedatangan kaum hippies dari berbagai penjuru dunia yang meneriakkan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, Bali juga sedang melirik pariwisata sebagai sumber hidup rakyat. Pertanian dengan kultur agraris di pulau yang kecil itu dinilai tak sanggup lagi menopang kebutuhan hidup rakyat yang kian kompleks dan beragam.
Baca juga : Bali Menatap Era Baru Pariwisata
Seiring dengan itu, pemerintah mengundang perusahaan konsultan asal Perancis bernama SCETO (Centrale Societe pour I’Equipement Toristique Outre-Mer) tahun 1970. Mereka diharapkan melakukan penelitian dan menyusun rencana awal pengembangan pariwisata Bali secara berkelanjutan. Hasilnya antara lain pengembangan sebuah resor wisata besar di kawasan Nusa Dua yang ”terpisah” dari kehidupan rakyat. Idenya, agar kultur yang dibawa oleh para wisatawan tidak serta-merta mengintrusi kebudayaan masyarakat lokal.
Pada masa awal, tak jarang kita melihat pantai-pantai di sekitar Nusa Dua dikuasai oleh hotel-hotel jaringan internasional. Ketika blokade area publik, terutama akses rakyat dalam melakukan upacara, diprotes, kebijakan itu kemudian dirombak total. Hotel tidak lagi memperoleh privacy untuk menguasai pantai karena kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan bebas akses.
Warung Made, yang kemudian dipatenkan dengan nama Made’s Warung tahun 1996 seiring pembukaan cabang pertamanya di Seminyak, perlahan-lahan juga tumbuh menjadi bagian dari kosmopolitanisme. Peter, sebagai ”otak” dari pergerakan warung, tetap mendesain restoran sebagaimana makna asalnya. Mereka yang datang ke warung adalah saudara dan setara. Bahwa ada perbedaan bangsa dan kultur, tidak berarti bermusuhan, sebagaimana perang yang dikobarkan negara-negara Barat.
Pembukaan Made’s Warung di Seminyak menjadi penanda keterbukaan terhadap pengaruh menu-menu luar. Made kemudian tak hanya menjual kopi Bali, bubur ketan hitam, dan tipat cantok, tetapi mulai menyuguhkan masakan Jepang dan Thailand. Belakangan warung ini juga menyediakan menu-menu Barat, seperti Italia dan Turki, dan tak ketinggalan menu Nusantara.
Baca juga : Intrusi Air Laut Bisa Meluas di Bali
Keterbukaan terhadap masuknya menu luar itu berjalan seiring dengan keterbukaan Bali dalam menerima kunjungan para wisatawan mancanegara. Boleh jadi Made’s Warung menjadi potret sosial dan kultural pergerakan Bali dalam menerima pengaruh asing. Made tidak saja menerima Peter sebagai suaminya dalam tataran domestik, tetapi juga menjadikannya sebagai ”kawan dialog” antarbangsa untuk menciptakan vibrasi tatanan dunia baru.
Secara kebetulan pula, Made jebolan sekolah dasar yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena tuntutan hidup. Ia mewarisi warung kecil yang didirikan neneknya. Ibu tiri dan ibu kandungnya yang menjadi pengelola generasi kedua kemudian mewariskan warung itu kepada Made. Asal tahu, warung yang diwarisi Made adalah warung dalam pengertian sesungguhnya. Kondisinya sangat bersahaja dengan satu meja, balai-balai, dan bangku panjang, seperti warung-warung yang biasa terdapat di perdesaan Bali.
”Kuta masih desa nelayan kecil. Sepi dan susah cari hidup,” kenang Bu Made, demikian panggilan akrabnya.
Made pernah bekerja di Hotel Kayu Aya (kini Hotel Oberoi) yang baru berdiri di Seminyak sebagai waitress. Namun, lantaran merasa kurang betah bekerja di bawah orang lain, ia memutuskan berhenti, kembali membantu orangtuanya mengelola warung. Bukankah pada masa awal Bali sebagai entitas kultural harus magang di perusahaan asing seperti SCETO, sebelum akhirnya memutuskan mengembangkan pariwisata secara mandiri?
Baca juga : ”Rethinking” Pariwisata Bali
Made sejak remaja telah memiliki spirit wirausaha. Ia ingin bebas dan mandiri mengelola dan mengembangkan warungnya. Secara naluriah ia menangkap isyarat zaman. Bukan sebuah kebetulan ketika gelombang hippies yang bergerak dari Amerika, Eropa, dan Australia akhirnya tiba juga di Bali. Harus diakui, terlepas dari dampak negatifnya, gelombang kehadiran kaum hippies telah membuka katup peradaban Bali bagi masuknya kebudayaan luar.
Apalagi, jika dihubungkan dengan morat-maritnya perekonomian Bali setelah meletusnya Gunung Agung tahun 1963 serta tragedi kemanusiaan tahun 1965, kesadaran perlunya mencari sumber-sumber kehidupan baru seolah mendesak pemerintah. Pariwisata adalah pilihan paling masuk akal mengingat ”brand” Bali sebagai surga terakhir di dunia telah jauh hari didengungkan oleh para peneliti asing.
Peneliti pariwisata dari Universitas Udayana, Nyoman Darma Putra, mengatakan, Made’s Warung ibarat personalisasi kondisi Bali. ”Ia jadi potret sosial, kultural, dan kemajuan ekonomi Bali. Warung ini beranjak dari warung desa menjadi restoran berkelas dunia seperti kini ada di Jakarta dan Amsterdam. Bahkan, cabangnya ada di bandara-bandara. Bukankah itu seperti mengisahkan perjalanan sebuah pulau bernama Bali?” kata Darma.
Tanggal 26 Agustus 2023 yang baru lalu, Made’s Warung memperingati ulang tahun ke-54 dengan tema ”Flower Power Rendezvous”. Tema ini tak jauh-jauh dari pertemuan (generasi) bunga sebagai kekuatan untuk melampaui sekat-sekat bangsa, negara, ras, bahasa, asal-usul, dan kultur untuk menggapai tatanan dunia baru bernama kosmopolitanisme. Di dalamnya terdapat kesadaran akan kesamaan sebagai komunitas manusia universal yang membangun struktur politik global dan mengembangkan platform ekspresi budaya bersama dan toleransi.
Nanti, jika kau sempat nongki-nongki di Made’s Warung Kuta, cobalah duduk dengan orang yang tak dikenal. Dalam beberapa menit, niscaya orang yang duduk di sampingmu akan menjadi teman. Bukan tidak mungkin, bahkan menjadi pasangan hidupmu. Barangkali ini eksperimen sosial yang tak disadari Made sejak ia mewarisi warung dari leluhurnya.
Baca juga : Limbah Freon di Kawasan Nusa Dua, Bali, Dikelola